tirto.id - Pernyataan bersama usai persamuhan antara Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Xi Jinping di Beijing, Cina, berbuntut panjang. Kunjungan luar negeri perdana Prabowo sebagai presiden RI itu dinilai berakibat fatal. Lawatan pada Sabtu, 9 November 2024 lalu, tersebut melahirkan pernyataan bersama Indonesia-Cina yang dinilai kontroversial.
Dalam poin ke-9 pernyataan bersama tersebut, Indonesia dan Cina disebut mencapai satu kesepahaman penting untuk kerja sama dan melakukan pengembangan di wilayah-wilayah yang klaimnya tumpang tindih (areas of overlapping claims). Frasa wilayah “tumpang tindih” dipandang pengamat hubungan internasional dan hukum internasional, jelas mengacu pada Laut Cina Selatan.
Selama ini, Indonesia tidak pernah punya klaim atas wilayah Cina. Sebaliknya, Beijing terus mengklaim mayoritas wilayah Laut Cina Selatan yang mengacu pada sembilan garis putus (nine dash line) berdasarkan wilayah tangkapan tradisional nelayan Cina.
Klaim itu termasuk wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara. Indonesia sejauh ini tidak pernah mengakui klaim Cina sebab nine dash line tidak dianggap oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Indonesia dan Cina sendiri merupakan negara yang meratifikasi UNCLOS. Kendati begitu, Cina tetap bersikukuh mempertahankan klaim soal Laut Cina Selatan. Akibatnya, Cina juga membuat klaim serupa di beberapa wilayah dekat perairan negara ASEAN lain. Sembilan garis putus yang diklaim Cina menjorok ke beberapa negara lain seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, hingga Malaysia.
Pengamat Hubungan Internasional dari Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja, memandang pernyataan bersama antara Prabowo dan Xi Jinping sebagai hal yang tidak lumrah. Kunjungan luar negeri pemimpin negara sebetulnya sudah menunjukkan sikap bahwa suatu bangsa menghormati eksistensi dan hubungan diplomatik dengan negara tuan rumah. Agenda itu cukup dilengkapi dengan pernyataan di hadapan awak media terkait topik umum pembicaraan dua pimpinan negara.
Lawatan luar negeri perdana presiden Prabowo ke Cina justru melahirkan pernyataan bersama. Terlebih, butir ke-9 pernyataan tersebut dinilai seolah-olah Indonesia mengakui adanya klaim tumpang tindih wilayah dengan Cina. Sikap ini seakan membenarkan adanya klaim Cina selama ini soal tumpang tindih Laut Cina Selatan di wilayah perairan Natuna.
“Join statement bukanlah produk hukum. Tetapi karena fungsinya muncul sebagaimana resmi bersama, berarti ini dianggap sebagai pernyataan yang melekat,” kata Dinna kepada reporter Tirto, Kamis (14/11/2024).
Menurut Dinna, jika pernyataan bersama itu hanya meliputi secara tegas kerja sama maritim antara Indonesia dan Cina, tentu tidak akan menjadi masalah. Namun yang jadi masalah, ada pada kalimat “kesepahaman bersama” pada wilayah yang diklaim “tumpang tindih”. Ini merupakan kalimat yang janggal, sebab Indonesia tidak pernah punya masalah klaim soal wilayah tumpang tindih selama ini.
Dinna menilai pemerintah Indonesia seolah melangkahi negara-negara ASEAN lain yang wilayah mereka juga ikut diklaim oleh Cina dalam nine dash line. Frasa klaim tumpang tindih dalam pernyataan bersama Prabowo dan Xi Jinping dinilai sangat sensitif, sebab tidak lebih dulu dibicarakan atau meminta pendapat negara ASEAN lainnya.
“Sekarang dengan adanya klaim, maka Tiongkok bisa bilang itu juga wilayah kita loh,” kata Dinna.
Kementerian Luar Negeri RI sempat membantah bahwa pernyataan bersama usai Prabowo Subianto ke Beijing sebagai pengakuan atas klaim sepihak Cina di Laut China Selatan. Lewat pernyataan tertulis, Kemlu menyebut bahwa pernyataan bersama akan dilaksanakan berdasarkan koridor konvensi internasional di bidang maritim, perjanjian bilateral, dan ketentuan undang-undang dan peraturan nasional.
“Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim ‘sembilan garis putus-putus’ (Nine-dash line), dan Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” tulis Kemlu RI.
Kendati demikian, Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai pernyataan bersama Indonesia-Cina pastinya sudah mengecewakan negara-negara anggota ASEAN.
Terutama negara yang ada dalam pusaran konflik Laut Cina Selatan. Ekspektasi negara ASEAN, kata Edwin, pasti berharap Indonesia lebih tegas dan menjadi garda terdepan dalam menghadapi Tiongkok.
“Dengan Indonesia juga punya klaim tumpang tindih wilayah maritim dengan Tiongkok. Kepercayaan negara-negara claimants ini tentu akan tergerus,” kata Edwin kepada reporter Tirto, Kamis (14/11/2024).
Sikap ini menunjukkan ada pergeseran prioritas dalam pemerintahan. Apabila pemerintahan Jokowi memberi perhatian besar pada dinamika di regional, pemerintahan Prabowo memiliki ambisi global untuk menegaskan Indonesia sebagai middle power yang disegani.
“Ambisi ini tidak akan bisa dikalahkan oleh ikatan-ikatan emosional dan tradisional yang sebelumnya sudah terjalin dengan ASEAN,” terang Edwin.
Adanya pernyataan bersama yang menegaskan eksistensi klaim tumpang tindih wilayah dengan Cina, memberi kesan kuat bahwa Beijing dan Jakarta ‘mencuri start’ mengelola bersama wilayah perairan yang selama ini diakui sepihak oleh Cina. Wilayah perairan yang dimaksud adalah perairan yang masuk di ZEE Indonesia dan juga diklaim oleh Tiongkok sebagai wilayah penangkapan ikan tradisional dari nelayannya.
Namun, kata Edwin, kita juga harus cermat membaca bahwa keseluruhan pernyataan dalam poin 9 dikunci dengan pernyataan: "Both sides reaffirmed their commitment to the full and effective implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC), and early conclusion of a code of conduct (COC) on the basis of consensus building, so as to jointly safeguard peace and stability in the South China Sea."
Kalimat itu mencerminkan bahwa Cina dan Indonesia tidak akan gegabah. Adapun kerja sama maritim yang disebutkan dinilai Edwin hanya sebagai "cek kosong" yang tidak mudah diimplementasikan saat ini. Mengingat Cina dan Indonesia sama-sama terikat dalam Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea.
“Parties yang dimaksud di sini adalah seluruh pihak yang terikat dengan deklarasi, yaitu negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok,” ucap Edwin.
Ancaman Kedaulatan?
Dalam survei terbaru yang dikeluarkan Center of Economic and Law Studies (Celios) soal persepsi publik terhadap hubungan Indonesia-Cina, menyebut bahwa 40 persen responden menilai Cina sudah mengambil langkah yang tepat dalam konflik Laut Natuna Utara. Hanya 21 persen responden yang menilai Cina bersikap salah langkah dalam menangani isu Laut Natuna Utara dengan Indonesia. Sebanyak 28 persen responden menolak berkomentar.
Sebagai catatan, survei ini tidak berhubungan dengan pernyataan bersama antara Prabowo dan Xi Jinping. Survei ini dirilis pada November 2024 dan menangkap jawaban dari 1.414 responden secara daring dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi yang berbeda-beda di Indonesia.
Peneliti Celios, Muhammad Zulfikar Rakhmat, menilai hasil bagian survei terkait isu konflik di Laut Natuna Utara mencerminkan persoalan ini belum jadi perhatian masyarakat Indonesia secara luas. Hal ini diakibatkan diskursus hubungan Indonesia-Cina rata-rata berfokus pada sektor ekonomi.
Padahal, kata dia, isu soal Laut Cina Selatan atau konflik di perairan Natuna amat penting agar dikawal publik. Pasalnya, isu tersebut merupakan bagian dari hak berdaulat dan hukum kedaulatan Indonesia. Zulfikar menilai yang dilakukan Prabowo dalam pernyataan bersama sangat berbahaya karena seolah memberikan dukungan moral pada klaim Cina soal Laut Cina Selatan.
“Sangat penting saya kira, karena isu kedaulatan sehingga publik perlu tau dan publik perlu jadi semacam pihak yang memonitor langkah yang diambil pemerintah. Contohnya soal yang dilakukan Pak Prabowo yang menurut saya langkahnya cukup berbahaya,” ucap Zulfikar saat ditemui reporter Tirto di Hotel Morrissey, Jakarta Pusat, Kamis (14/11).
Kehadiran publik yang kritis pada isu Laut Cina Selatan diharapkan menjadi penyeimbang narasi pemerintah. Selama ini, kata Zulfikar, publik cukup kritis terhadap isu ekonomi antara Indonesia-Cina. Misalnya terkait kebijakan pekerja migran Cina yang masuk ke Indonesia.
Menurut Zulfikar, isu kedaulatan dengan Cina dapat melebar ke persoalan lain. Ia menilai pemerintah harus tegas dalam isu kedaulatan, termasuk pada persoalan Laut Cina Selatan. Ada hal-hal prinsip yang sebaiknya tidak dikompromikan Indonesia dengan negara lain.
“Kalau bagi Indonesia, saat kita tunduk pada isu ini, bisa jadi kita tunduk pada isu lain,” ucap Zulfikar.
Direktur Eksekutif Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Mas Achmad Santosa, menilai tidak ada tumpang tindih klaim wilayah maritim antara Indonesia dan Cina karena klaim nine-dash line Pemerintah Cina telah dinyatakan tidak sah oleh the Permanent Court of Arbitration (PCA) pada tahun 2016. Saat itu, Cina berkonflik dengan Filipina dalam kasus klaim wilayah di Laut Cina Selatan.
PCA menegaskan bahwa UNCLOS menggantikan segala hak kesejarahan atau hak berdaulat lain atau yurisdiksi yang melampaui batas-batas yang diatur di dalam UNCLOS.
IOJI menilai, pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri pada tanggal 11 November 2024 juga sudah menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS. Artinya, pernyataan bersama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.
“Pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri RI juga perlu ditindaklanjuti Pemerintah dengan tidak melanjutkan pembahasan joint development in areas of overlapping claims. Hal ini menimbang bahwa joint development dimaksud merujuk pada “areas of overlapping claims” yang sama sekali tidak memiliki basis dalam hukum internasional,” kata Achmad dalam rilis tertulis IOJI, Kamis (14/11/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto