tirto.id - Senin (22/10/2018) siang, alun-alun Kecamatan Limbangan, Garut, sempat ramai. Para santri berkumpul memeriahkan Hari Santri Nasional. Di sela-sela parade, muncul sedikit keriuhan karena terjadi pembakaran bendera dan ikat kepala hitam bertuliskan kalimat tauhid. Pelaku pembakaran adalah sejumlah anggota Banser (Barisan Ansor Serbaguna) Gerakan Pemuda Ansor yang berinduk organisasi kepada Nahdlatul Ulama.
Peristiwa itu menyulut kemarahan sejumlah organisasi massa di Kabupaten Garut. Sehari berselang, tepatnya Selasa 23 Oktober 2018, 22 organisasi yang mengatasnamakan diri Aliansi Umat Islam Bela Tauhid menggelar aksi damai yang terpusat di alun-alun Kabupaten Garut.
Aksi berlangsung sekitar pukul 1 siang hingga pukul 4 sore dan berlangsung kondusif. Mula-mula ribuan massa berkumpul di Tugu Simpang Lima lalu bergerak dan memusatkan aksinya di alun-Alun Garut.
Dalam aksinya, mereka menyampaikan beberapa pernyataan sikap, yakni: mengutuk pembakaran bendera, menuntut aparat penegak hukum segera menyeret pelaku, menuntut pelaku secara personal dan kelembagaan meminta maaf, menyerukan umat Islam tetap tenang, dan mengajak umat Islam istiqamah memperjuangkan tegaknya kalimat tauhid Laa ilaha illaAllah Muhammadar Rasulullah.
Saat saya temui di Masjid Besar Kecamatan Tarogong, Garut, Kamis (25/10) kemarin, Cep Eka selaku koordinator aksi menyampaikan, ia dan rekan-rekannya tidak terafiliasi dengan ormas tertentu dan tidak ikut dalam peringatan Hari Santri Nasional di alun-alun Limbangan. Namun, ia diminta sejumlah ormas untuk memimpin aksi untuk merespon peristiwa tersebut.
"Kami murni adalah warga Garut, kaum Muslimin Garut, itu aja," ucapnya.
Mulanya, menurut Eka, aksi yang ia pimpin akan diadakan di alun-alun Limbangan, tempat terjadinya pembakaran bendera, tapi akhirnya aksi digelar di alun-alun Garut agar berjalan kondusif.
"Karena yang kami upayakan [aksi berjalan] kondusif, jangan sampai kami ke sana menghampiri [tempat kejadian jadi] runyam, tambah runyam," ujarnya.
Sampai saat saya wawancarai, Eka menyebut, pihak Banser Garut belum memberikan tanggapan apa pun. Eka mengaku, hubungannya dengan anggota Banser dan GP Ansor terbilang baik meski mereka kerap berbeda pendapat dan beradu argumen ihwal banyak hal.
"Kultur orang Garut, orang Priangan itu someah [ramah], dengan siapa pun dia akan dekat. Kecuali kalau diarahkan atau terprovokasi menerima informasi yang salah, nah itu lain lagi persoalannya," imbuhnya.
Setelah pembakaran bendera dan aksi massa yang digelar di alun-alun Garut, menurut Eka, tidak ada pengepungan atau penyerangan terhadap sekretariat GP Ansor. Lebih lanjut, ia menyatakan aksi yang digelar beserta ribuan massa lainnya ditekankan untuk bersikap santun.
"Kita boleh mengutarakan pendapat ataupun ketidaksukaan atau protes apa pun, tapi dengan cara yang syar’i," ungkapnya.
Terkait bendera yang dibakar, Eka menyebut, bendera itu bukan bendera HTI. Namun, bendera itu diperkenalkan secara intens kepada umat Islam Indonesia oleh HTI. Bendera hitam yang bernama ar-Rayah itu bukan hanya boleh dipakai HTI, tapi juga seluruh umat Islam karena bendera tersebut merupakan panji Rasulullah.
"Hizbut Tahrir memang yang intens yang memperkenalkan kepada umat Islam tentang a-Rayah dan al-Liwa ini, tapi bukan berarti itu bendera Hizbut Tahrir, mereka hanya mendakwahkan saja," sambungnya.
Peristiwa pembakaran bendera tauhid kini resonansinya telah begitu membesar dan sejumlah pengamat politik diprediksi menjadi bahan bakar dalam persaingan politik nasional. Bahkan sehari setelah kejadian, di beberapa daerah di Pulau Jawa terjadi unjuk rasa mengutuk pembakaran bendera tersebut.
Jumat (26/10/2018) hari ini, berpusat di Pusat Dakwah Islam (PUSDAI) Jawa Barat, ribuan masa dari pelbagai elemen masyarakat Muslim rencananya menggelar aksi serupa dalam skala provinsi. Ini tak mustahil akan terus berkembang dan bergulir menjadi isu politik nasional yang akan mengerahkan massa yang lebih besar.
Menanggapi rencana aksi itu, Cep Eka dan rekan-rekannya justru berharap kasus pembakaran bendera tauhid ini tidak terus berakumulasi dan berlarut-larut. Mereka berharap polisi segera menuntaskan proses hukum bagi para pelaku pembakaran.
"[Kalau soal politik] tergantung isu ini dibawanya ke mana. Oleh pihak siapa. Tapi bagi kami hal ini tidak diniatkan dibawa ke arah sana [politik], karena kami berdiri di sini juga tanpa ada beking-bekingan hal-hal seperti itu. Tanpa ada keterkaitan dengan partai politik kontestan pemilu," tegasnya.
Pada akhir pembicaraan, Cep Eka menegaskan, situasi Garut tiga hari pascapembakaran bendera sangat kondusif, tak ada gesekan, dan ia berharap situasi tersebut tetap terjaga. "[Sampaikan] salam untuk teman-teman Ansor ya," ujarnya saat saya pamit.
Saya lantas mendatangi sekretariat GP Ansor Kabupaten Garut yang terletak di Jalan Ciateul, Garut. Salah seorang pengurus menyarankan saya untuk datang langsung ke kantor Pimpinan Cabang NU Garut yang beralamat di Jalan Suherman, Tarogong Kidul. Jaraknya sekitar 100 meter dari sekretariat GP Ansor.
Di kantor NU, saya bertemu dengan salah seorang pengurus bernama Jejen. "Kami saat ini diperintahkan oleh pusat untuk tidak memberikan pernyataan apa pun kepada media, takut ada pernyataan yang berbeda dengan yang disampaikan pusat," ujar Jejen.
Ia hanya memberikan rilis resmi yang dikeluarkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang berisi lima pernyataan sikap. Berbeda dengan yang disampaikan Cep Eka selaku koordinator aksi yang mengutuk pembakaran bendera, rilis dari PBNU menyebut bendera yang dibakar sebagai bendera HTI.
Dalam penyataan itu, NU mengatakan segala bentuk usaha yang mengarah kepada tindakan makar harus ditindak tegas. NU pun mengidentifikasi ada pemasangan bendera HTI pada Hari Santri Nasional 2018 terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa Barat yakni Sumedang, Kuningan, Ciamis, Banjar, Bandung, Tasikmalaya, dan lain-lain.
"Namun yang terjadi di Garut, anggota Banser menjadi korban dari provokasi dan infiltrasi dengan melakukan pembakaran bendera HTI di luar SOP yang sudah ditentukan," tulis PBNU.
Selanjutnya, PBNU menyayangkan aparat keamanan yang kecolongan dan tidak melakukan tindakan terhadap pengibaran bendera HTI. Poin keempat dan terakhir, PBNU menegaskan bahwa tindakan anggota Banser Garut didasari oleh rasa cinta tanah air, dan mereka meminta semua pihak terutama warga Nahdliyin untuk menjaga ketenangan dan tidak terprovokasi.
"Di Garut sih kondisinya kondusif, tidak ada penyerangan ke kantor kami, meskipun beberapa hari ke belakang sempat ada penjagaan di kantor ini oleh anggota kami," imbuh Jejen.
Kondusifitas ini juga diakui Rivan Pardiansyah, warga Wanaraja, Garut. Rivan ikut dalam aksi menentang pembakaran bendera, pada Selasa lalu. Namun, menurutnya, warga Garut tidak terprovokasi isu yang sempat beredar pasca-pembakaran bendera tersebut.
"Aksi berjalan lancar, meskipun di ujung acara pimpinan aksi menginformasikan bahwa beredar kabar yang tidak diketahui kebenarannya, yang isinya adalah tantangan dari Banser Limbangan kepada massa yang tengah berunjuk rasa di alun-alun Garut," ujarnya.
Menurutnya, sebagian massa sempat terpancing dan menyerukan untuk bergerak ke Limbangan menjawab tantangan itu. "Tapi berhasil diredam dan akhirnya saat aksi selesai sekitar pukul empat sore massa membubarkan diri dengan tertib,” imbuhnya.
Baik Cep Eka maupun Rivan Pardiansyah menyatakan mereka mendapat undangan dari Bandung untuk menghadiri aksi serupa pada hari ini di PUSDAI Jawa Barat, tapi keduanya belum memutuskan untuk ikut hadir atau sebaliknya.
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Mufti Sholih