tirto.id - Indonesia dalam tiga tahun sedang ramai dengan perhelatan politik. Pilkada serentak misalnya, berlangsung susul menyusul dengan melibatkan daerah yang cukup banyak.
Hingga 2019 ini perhelatan politik akan ditutup dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang juga berlangsung secara bersamaan.
Sejumlah peristiwa penting seiring dengan dimulainya perlombaan politik turut pengaruhi iklim kebebasan pers di Indonesia.
"Bahkan banyak perkembangan yang terjadi di bidang jurnalisme dan media, meski secara keseluruhan situasinya belum sepenuhnya menggembirakan dalam soal situasi kebebasan pers dan profesionalisme jurnalis dan media di Indonesia," kata Sasmito Madrim, Ketua Divisi Advokasi AJI Indonesia, dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (5/4/2019).
Mengacu pada Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, pada tahun 2018 menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara.
Dengan peringkat yang sama dengan tahun lalu itu, maka posisi Indonesia berada di papan bawah.
Dengan posisi ini, Indonesia memang masih lebih baik dari Filipina yang berada di peringkat (133), Myanmar (137), Kamboja (142), Malaysia (145), Singapura (151), Brunei (153), Laos (170), dan Vietnam (175). Namun Indonesia masih berada di belakang Timor Leste yang ada di peringkat 93.
Dalam pemeringkatan yang dilakukan Reporter Without Borders, ada tiga aspek yang menjadi tolak ukur dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara.
Masing-masing: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Iklim hukum menyoroti aspek regulasi sebuah negara terhadap kebebasan pers.
Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan yang berdampak terhadap kebebasan pers. Termasuk dalam bagian ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Iklim ekonomi menyorot lingkungan ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers.
Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI Indonesia, mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik.
Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata.
Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.
"Sebagian kasus kekerasan maupun pemidanaan jurnalis terkait langsung dengan kontestasi politik, baik di level nasional maupun di daerah. Selain itu, kondisi kekerasan yang terus meningkat diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum oleh aparat kepolisian," kata Sasmito.
Menyadari hal itu ditambah besarnya potensi kekerasan di masa;masa mendatang, maka diperlukan sinergitas dan kolaborasi.
Inisiatif yang muncul dari seluruh masyarakat pers dan bersama stakeholder untuk menyelesaikan dan mencegah kekerasan Jurnalis.
AJI dan sejumlah lembaga serta didukung oleh Internasional Media Support (IMS) menginisiasi kolaborasi dalam penanganan kasus kekerasan pers dan Jurnalis.
Pada hari ini, Jumat 5 April 2019, KOMITE Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di gedung dewan pers Jakarta sebagai wujud dari kolaborasi bersama menangani kasus kekerasan.
Komite Keselamatan Jurnalis ini diinisiasi dan beranggotakan antara lain, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Safenet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesti International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).
Secara khusus Komite ini bertujuan untuk menangani kasus kekerasan jurnalis dengan menyediakan skema pendanaan atau safety fund journalists.
Para inisiator dan pendiri komite telah menyusun Standar Operasional prosedur (SOP) yang akan menjadi pedoman dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan jurnalis dan pekerja media agar tidak terulang kembali.
Editor: Agung DH