tirto.id - Terkait temuan PPATK tentang ribuan anak terlibat judi online (judol), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebut bahwa anak-anak tersebut umumnya mengakses judol yang berkamuflase seolah-olah gim daring.
Modusnya, menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Usman Kansong, penerbit online game itu meminta pemain gim (termasuk anak-anak) untuk melakukan top up terlebih dahulu sebelum bermain dan menawarkan keuntungan yang menjanjikan.
"Jadi, berdasarkan identifikasi yang kita lakukan, anak-anak ini bermain judol umumnya melalui game online. Judol yang berkamuflase game online. Ada yang seperti itu," kata Usman di kantor Kemenkominfo, Jakarta Pusat, Jumat (26/7/2024).
Terkait upaya untuk melindungi anak-anak dari paparan judol, kata dia, Kominfo sudah mengeluarkan Peraturan Kementerian Kominfo Nomor 2 Tahun 2024. Dalam Permenkominfo tersebut, terdapat aturan bahwa gim tidak boleh mengandung judol untuk klasifikasi usai berapa pun.
"Jadi, langkah yang dilakukan Kominfo pertama-tama adalah menciptakan, menerbitkan regulasi. Itu regulasi sudah ada sejak Februari 2024, sudah diundangkan. Bahkan sebelum satgas terbentuk," ucap Usman.
Jurus lainnya, kata dia, Kominfo bekerja sama dengan sejumlah stakeholder, misalnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA). KPPA dilibatkan dalam tim penindakan Satgas Judol.
"KPPA punya program SAPA, semacam program ramah anak. Di situ, anak-anak diminta untuk speak up, berani bicara. Tapi, tentu umumnya melalui orang tua dulu, baru orang tuanya yang melaporkan ke SAPA," tutur Usman.
Usman juga mengatakan bahwa KPPA juga siap memberikan konsultasi psikologis alias rehabilitasi kepada anak-anak yang terlibat judol. Kominfo juga mendorong para orang tua untuk betul-betul mengawasi anaknya agar tidak terpapar atau terlibat judol.
"Kita bisa rehabilitasi kalau ada orang tuanya yang melaporkan anaknya," tutur Usman.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat 1.160 anak berusia di bawah 11 tahun melakukan transaksi judol di sepanjang 2024.
"PPATK menemukan data anak bertransaksi judol berdasarkan usia. Kalau di bawah 11 tahun, sekali lagi ini data yang terakhir yang terjadi tahun 2024, itu 1.160 orang anak. Angkanya sudah menyentuh Rp3 miliar lebih, frekuensi transaksinya 22 ribu," kata Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, di Kantor KPAI, Gondangdia, Jakarta Pusat, Jumat (26/7/2024).
Tidak hanya itu, data PPATK juga menunjukkan bahwa 4.514 anak usia 11-16 tahun juga melakukan transaksi judol. Angka transaksinya mencapai Rp7,9 miliar.
"Yang paling banyak most populasi itu adalah usia 17-19 tahun. 17-19 tahun angkanya 191.380 orang, transaksinya sampai Rp282 miliar," ucap Ivan.
Berdasarkan sebaran wilayah, Provinsi Jawa Barat adalah yang paling banyak dengan temuan 41 ribu anak yang melakukan judol. Nilai transaksinya mencapai Rp49,8 miliar.
Sementara itu, bila berdasar kota/kabupaten, Jakarta Barat merupakan kota paling banyak terdapat anak melakukan judol. Totalnya mencapai 4.300 anak dengan nilai transaksi Rp9 miliar.
"Kalau dilihat dari kota atau kabupaten, yang paling banyak itu adalah kota administratif Jakarta Barat. Ada 4.300 anak terpapar ya. Angka transaksinya Rp9 miliar sekian, jumlah transaksinya 68 ribu," tutur Ivan.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fadrik Aziz Firdausi