tirto.id - Pada masa revolusi, di Jawa Timur terdapat tiga divisi tentara, yaitu Divisi Naratomo (meliputi Keresidenan Kediri, Surabaya, dan Madura); Divisi Suropati (meliputi Keresidenan Malang dan Besuki); serta Divisi Ronggolawe (meliputi Keresidenan Bojonegoro dan Pati).
Dalam buku Pancawarsa Kologdam VII Brawijaya (1977:31) disebutkan bahwa divisi-divisi itu kemudian diubah menjadi beberapa brigade: Divisi Ronggolawe menjadi Brigade 1, Divisi Narotama menjadi Brigade 2, dan Divisi Suropati menjadi Brigade 4. Sementara Brigade 3 adalah peleburan dari Brigade 29 yang isinya terdiri dari sejumlah laskar. Semua brigade di Jawa Timur kemudian berubah lagi menjadi Divisi I. Personel divisi ini tak hanya diisi oleh orang Jawa Timur, tapi juga dari daerah lain.
Para veteran pertempuran Surabaya 10 November 1945 menjadi elemen penting divisi ini. Ketika Perdana Menteri Mohammad Hatta melakukan rasionalisasi terhadap tentara pada 1948, jumlah personel angkatan darat di Jawa Timur bertambah. Hal itu karena sejumlah kombatan laskar dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) dimasukkan ke dalam angkatan darat.
Proses penggabungan itu tidak berjalan mulus. Salah satu imbasnya adalah pelbagai insiden bersenjata di Solo hingga peristiwa Madiun 1948. Anggota TLRI yang terlibat dalam peristiwa tersebut di antaranya Letnan Kolonel Dachlan dan Letnan Kolonel Ahmad Jadau.
Setelah Perang Kemerdekaan, seperti terdapat dalam Pancawarsa Kologdam VII Brawijaya (1977:37-39), Divisi I Jawa Timur menjadi Tentara dan Teritorium V (TT V) yang berpusat di Malang. Lalu sejak 17 Desember 1951 nama Divisi Brawijaya mulai digunakan dan wilayah teritorialnya adalah seluruh Jawa Timur termasuk Madura.
Ketika masih bernama Tentara dan Teritorium V, panglima pertamanya adalah Kolonel Bambang Sugeng yang pernah dijadikan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ketika Nasution diskors Presiden Sukarno.
Pasukan TT V banyak dikirim dalam pelbagai operasi militer. Salah satu batalionnya, yaitu Batalion 711 yang dipimpin Mayor Abdullah bahkan tidak kembali ke markas mereka di Jawa Timur. Setelah operasi militer di Makassar dan Maluku yang menyebabkan terbunuhnya komandan batalion, pasukan ini tersebar di Sulawesi sebagai batalion organik dari TT VII Wirabuana.
Panglima TT V sempat juga dijabat oleh Kolonel Raden Haji Soedirman—ayah Basofi Sudirman (mantan Gubernur Jawa Timur)--dan kemudian digantikan oleh Kolonel Sarbini. Ketika Sarbini jadi panglima, pelbagai pergolakan terjadi di luar Jawa. Pengganti Sarbini adalah Kolonel Soerachmad yang ikut menyikat komunis pada 1948-1949 di Jawa Timur. Bawahan dari Soerachmad dianggap bertanggungjawab atas kematian Tan Malaka pada awal 1949.
Terlibat Operasi Trisula
Komando Tentara dan Teritorium yang jumlahnya tujuh kemudian dikembangkan menjadi 16 Komando Daerah Militer (Kodam). Tentara dan Teritorium V Brawijaya menjadi Kodam VIII Brawijaya. Menurut Ulf Sandhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI (1986:25), Kodam ini termasuk Kodam yang homogen: mayoritas orang Jawa dan para perwiranya banyak yang mantan PETA.
Pada zaman Jepang, memang banyak orang Jawa yang terserap sebagai perwira militer yang hanya mengakar di daerah asalnya di mana tangsi PETA berada.
Saat Orde Baru berkuasa, Kodam Brawijaya terlibat dalam operasi pembersihan sisa komunis di Blitar Selatan. Saat itu Pangdam Brawijaya dijabat oleh M. Jasin. Akibat operasi tersebut, seperti ia tuturkan dalam M. Jasin: Saya Tidak Pernah Minta Ampun Pada Soeharto (1998), ia dimusuhi oleh sebagian pihak di Jawa Timur yang masih menginginkan Sukarno berkuasa.
Ia menambahkan bahwa operasi itu juga sempat membuat marah koleganya di TNI karena kakaknya yang menjadi asisten Wedana di Probolinggo ikut disikat. Meski M. Jasin berjasa bagi Orde Baru, namun akhirnya karier militernya tak terlalu gemilang karena berseteru dengan salah satu pembantu daripada Soeharto.
Pengganti M. Jasin sebagai Pangdam Brawijaya yang cukup terkenal di antaranya adalah Wahono--pernah menjadi Gubernur Jawa Timur dan Ketua Umum Golkar. Selanjutnya Witarmin--yang memimpin operasi Trisula di Blitar Selatan dan pernah menjadi komandan jenderal korps baret merah, dan Raden Hartono yang sempat menjadi Menteri Dalam Negeri. Belakangan ada pula Gatot Nurmantyo yang karier militernya sampai Panglima TNI.
Tahun 1985, Ketika Benny Moerdani menjabat sebagai Panglima ABRI dan melakukan perampingan Kodam yang semula 16 menjadi 10, Kodam Brawijaya tidak ikut dipecah atau dibekukan, hanya nomornya saja yang berganti dari VIII menjadi V. Keberadaan dan wilayah teritorialnya tetap dipertahankan.
Editor: Irfan Teguh