Menuju konten utama
Pemilu 2024

Koalisi Sipil Minta PKPU Rugikan Keterwakilan Perempuan Direvisi

Jika Bawaslu tak memberikan rekomendasi kepada KPU selama 2x24 jam, koalisi sipil akan menempuh upaya hukum demi memulihkan hak politik perempuan.

Koalisi Sipil Minta PKPU Rugikan Keterwakilan Perempuan Direvisi
Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan memberikan pernyataan pers di Bawaslu usai mediasi buntut Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di tiap dapil sebagai syarat pengajuan bakal calon legislatif, Senin (8/5/2023). (Tirto.id/ Fransiskus Adryanto Pratama)

tirto.id - Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menolak keras Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tentang keterwakilan perempuan minimal 30 persen di tiap dapil sebagai syarat pengajuan bakal calon legislatif. Mereka menilai beleid itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20217 tentang Pemilu.

Salah satu perwakilan Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Ida Budiarti mengatakan beleid itu tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam beleid itu, khususunya pada Pasal 8 Ayat 2 menyebutkan dalam hal perhitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari lima puluh hasil perhitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sebaliknya, jika 50 atau lebih, hasil perhitungan dilakukan pembulatan ke atas.

"Kalau pembulatan ke bawah maka terjadi pelanggaran hak politik perempuan. Kalau UU tadi menyebutkan paling sedikit, kalau paling sedikit itu paling kurang. Kalau lebih, lebih bagus kalau begitu," kata Ida di Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).

Menurutnya, ketentuan itu sangat berdampak pada hak politik perempuan. Sebab, kata dia, regulasi itu akan berdampak pada hilangnya hak politik perempuan.

Oleh karena itu, Ida dan kawan-kawan mengadu ke Bawaslu yang mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan dan penindakan serta mengingatkan KPU bahwa peraturan itu telah menghilangkan hak politik perempuan dan tidak sesuai dengan mandat undang-undang.

"Kami melihat bahwa yang dilakukan oleh KPU hari ini tidak saja melanggar Undang-undang, tetapi juga melanggar sumpah janji serta melanggar sumpah jabatannya," tutur Ida.

Ida mengatakan Bawaslu punya instrumen hukum rekomendasi. Mereka berharap Bawaslu bisa menerbitkan rekomendasi untuk mengingatkan KPU agar memperbaiki, merevisi ketentuan Pasal 8 Ayat 2 yang mengkamputasi hak politik perempuan.

Ida dkk pun melayangkan sejumlah pernyataan sikap. Pertama, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menyatakan menolak Pasal 8 Ayat (2) PKPU 10/2023 karena melanggar UUD NRI Tahun 1945 dan UU Pemilu dan mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.

Kedua, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam. Sesuai kewenangannya, Bawaslu harus menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi beleid itu.

Ketiga, jika dalam waktu 2x24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, maka Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA).

Respons KPU dan DPR

Dalam keterangan terpisah, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan dalam proses legal drafting, beleid mengenai tahapan penyelenggaraan pemilu itu, semuanya dikonsultasikan di DPR sesuai Pasal 75 Ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

"Mengenai pengaturan yang terdapat di dalam Pasal 8 Ayat 2 huruf a dan huruf b Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023, itu sebenarnya turunan teknis dari apa yang terdapat dalam Pasal 246 Ayat 2 UU Nomor 7 tahun 2017," papar Idham di KPU.

Idham mengatakan ketika dilakukan pembulatan secara matematika murni, maka 0 sampai dengan 4 itu dibulatkan ke bawah, sedangkan dan 0,5 atau pun lebih dibulatkan ke atas.

"Ini, kan, standarnya standar matematika, bukan pembulatan hal yang baru dalam dunia matematika," kata Idham.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan beberapa anggota legislatif memiliki masalah untuk memenuhi kuota.

"Buat saya itu masih dalam range, atas bawah, masih memenuhi syarat. Toh, bahwa teman-teman perempuan pengen itu dibulatkan ke atas, kan, misal begini, kalau 0,5 ke satu 0,2 ke 0. Itu tafsir saja," kata Mardani di KPU, Senin (8/5/2023).

Ia mengatakan PKS mendukung keputusannya bahwa perempuan harus didorong, tetapi tidak mempersoalkan beleid PKPU yang menuai kritik publik itu.

"Buat PKS tidak ada masalah. PKS enggak komplain. Karena PKS siap. Bahkan, kalau dilihat calegnya kita siap perempuannya lebih banyak di banding 30 persen," pungkas Mardani.

Baca juga artikel terkait KETERWAKILAN PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fahreza Rizky