Menuju konten utama

Koalisi Belum Satu Suara dan Tegas Soal RUU Permusikan

Koalisi merekomendasikan agar naskah akademik yang telah beredar dikaji dari awal.

Koalisi Belum Satu Suara dan Tegas Soal RUU Permusikan
RUU permusikan. Instagram/Rarasekar

tirto.id - Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan belum menentukan sikap tegas terkait langkah yang bakal diambil setelah mengusulkan agar naskah akademik tersebut dikaji dari awal.

Sebab, hingga saat ini, masih ada perbedaan pandangan di antara para anggota koalisi terkait penolakan tersebut. Sebagian anggota mengusulkan agar draf tersebut ditolak sepenuhnya dan dibatalkan, namun ada pula yang menolak RUU tersebut hanya pada beberapa Pasal yang dianggap merenggut kebebasan berekspresi.

"Sejujurnya kami masih rembukin kalau soal itu," kata Wendi Putranto, pegiat industri musik yang tergabung dalam koalisi, di Ruang Selatan, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (6/2/2019).

Meski demikian, koalisi merekomendasikan agar naskah akademik yang telah beredar dikaji dari awal dengan melibatkan perwakilan pekerja musik dari berbagai latar belakang. Termasuk, kata Wendi, keterlibatan musisi independen, tradisi, musisi daerah, hingga musisi jalanan.

"Hal itu agar rancangan aturan yang terbentuk sesuai dengan amanat UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," kata pria yang juga menjadi manajer Band Seringai tersebut.

Kajian ulang naskah akademik tersebut dinilai perlu sebab proses penyusunan RUU yang sudah berjalan dianggap tak transparan dan bertentangan dengan asas keterbukaan Pasal 5 Undang-Undang 12/2011 yang mengatur Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Padahal, menurut dia, inisiatif pembentukan draf RUU tersebut telah muncul sejak lama. "Ini bisa dilihat dari draf RUU yang selesai 15 Agustus 2018 namun baru bisa diakses dan ramai di publik Februari 2019," tuturnya.

Pengusulan revisi RUU dinilai akan sia-sia. Sebab, pasal-pasal yang telah ditelisik oleh koalisi tidak mencerminkan tujuan untuk membuat ekosistem musik Indonesia semakin baik. Untuk, kata Wendy, "jika diubah, maka semua proses harus diulang dari awal, agar dihasilkan naskah akademik yang menyeluruh, mendalam, serta benar-benar merefleksikan kebutuhan dan daya guna RUU ini."

Tak hanya itu. Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga menyampaikan, rancangan beleid itu tak memenuhi kaidah hukum yang berlaku. Sebab, dalam sejumlah pasal di RUU tersebut, tindakan yang berpotensi dipidana tidak dirumuskan secara eksplisit.

"Karena pasal yang saya jelaskan tadi punya ancaman pidana orang bisa dipidana karena itu asas hukum setiap pasal harus jelas, jadi misal kalau kita bilang pencurian, pencurian itu ada definisinya yaitu mengambil milik orang lain," ujarnya dalam kesempatan yang sama.

Ia mencontohkan misalnya, poin d pasal 5 RUU tersebut melarang tiap musisi melakukan penistaan, pelecehan dan penodaan agama dalam proses kreatifnya.

Namun, tak disebutkan secara eksplisit bentuk-bentuk penistaan hingga penodaan agama tersebut sehingga berpotensi menjadi pasal karet yang membahayakan kebebasan berekspresi.

"Harusnya hadir di bagian penjelasan tetapi juga ada kata-kata tertentu yang tidak mungkin didefinisikan misalnya permusikan batasannya itu seluas apa, jadi mesti ada kaidahnya," tutur Asfinawati.

Baca juga artikel terkait RUU PERMUSIKAN atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Hukum
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Alexander Haryanto