Menuju konten utama

Klarifikasi Jaksa Agung soal Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tidak Dibui

Jaksa Agung berpendapat penanganan perkara korupsi di bawah Rp50 juta cukup mengembalikan kerugian keuangan negara.

Klarifikasi Jaksa Agung soal Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tidak Dibui
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022).ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

tirto.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin membuka ruang diskusi atas pernyataannya tentang korupsi di bawah Rp50 juta tidak perlu dipidana dipenjara, tetapi cukup mengembalikan kerugian keuangan negara.

"Apakah perkara tersebut harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana penjara atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain. Misal, tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar dengan nilai Rp2.200.000, apakah pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi?” ujar dia dalam keterangan tertulis, Selasa (8/3/2022).

Burhanuddin menilai penanganan perkara korupsi dari proses penyelidikan sampai eksekusi tidaklah murah. Negara menanggung biaya hingga ratusan juta rupiah untuk menuntaskan sebuah kasus rasuah, yang menurut dia biaya operasional dengan hasil korupsi tidak sebanding. Dia berpendapat fakta ini seperti "besar pasak daripada tiang."

"Maraknya pungli itu sangat meresahkan masyarakat, dan dalam rangkaian panjang seringkali berdampak timbulnya biaya ekonomi tinggi pada sektor industri ataupun sektor produksi, namun demikian pemberantasannya pun sedapat mungkin juga tidak menimbulkan beban finansial pada keuangan negara,” terang dia.

Burhanuddin mencontohkan, penanganan perkara rasuah di daerah yang letak geografisnya sangat sulit membutuhkan akomodasi cukup besar. Sementara obyek perkara yang ditangani nilainya lebih kecil ketimbang ongkosnya.

“Dalam hal ini saya justru berpandangan bahwa penanganan perkara tindak pidana korupsi yang memiliki nilai kerugian relatif kecil adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal,” imbuh Burhanuddin.

Hal lain yang perlu dipahami adalah menyamakan kasus korupsi Rp50 juta dengan pencurian Rp5 juta. Dua hal ini jelas berbeda. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara.

Burhanuddin berpendapat, negara sebagai korban tindak pidana korupsi berkapasitas menghukum pelaku dengan menerapkan mekanisme lain di luar sanksi kurungan badan, misalnya instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis.

Alih-alih ingin mengembalikan kerugian, negara justru merugi karena mengeluarkan biaya lebih besar dalam penanganan perkara rasuah 'kelas teri.' Karena itu, dirinya mengusulkan agar kasus korupsi di bawah Rp50 juta dapat menggunakan instrumen penegakan hukum lain demi efisiensi, berbiaya ringan dan fokus pada pengembalian kerugian negara.

Baca juga artikel terkait KORUPSI atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Fahreza Rizky