tirto.id - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai revisi Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dapat menjawab kebutuhan instrumen hukum untuk memberikan sanksi berat terhadap pelaku penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia (illegal fishing).
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) KKP, Sjarief Widjaja mengatakan setelah revisi UU tersebut rampung, sanksi bagi pelaku illegal fishing dapat diperberat.
"Hukumannya akan diperberat dan denda nya akan diperbanyak," kata Sjarief di Jakarta pada Kamis (27/12/2018).
Sjarief mengatakan saat ini sanksi yang diberikan kepada pelaku illegal fishing masih tergolong ringan. Misalnya, pelanggar hanya dipenjara 6 bulan. Dia menambahkan hukuman denda bagi pelaku juga perlu diperbesar.
Sjarief juga membenarkan bahwa KKP berharap revisi UU Perikanan bisa memperberat hukuman bagi korporasi pelaku illegal fishing maupun tindak pidana perikanan lainnya. "Ya itu ada arah ke sana," ucap dia.
Revisi UU Perikanan, kata Sjarief, juga penting untuk membenahi sistem pengawasan dan penindakan terhadap penangkapan ikan ilegal.
Selain itu, kata dia, revisi UU tersebut juga perlu dilakukan untuk membenahi tata kelola perikanan. Ia mencontohkan pemerintah perlu mengatur jumlah stok ikan di suatu daerah. Hal ini agar keberadaan ikan yang hidup di habitatnya berkelanjutan. Pengaturan seperti itu bisa dilakukan dengan penerbitan izin mengenai jumlah kuota ikan yang boleh ditangkap.
Proses pembahasan revisi UU Perikanan telah dimulai pada awal 2018 di DPR RI. Salah satu poin utama yang diusulkan KKP dalam revisi itu ialah penutupan akses asing dalam pemanfaatan sumber daya perikanan. Disamping itu, KKP juga meminta sanksi penenggalaman kapal dapat diatur dalam UU Perikanan.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom