Menuju konten utama

KKP Kaji Regulasi Pengelolaan Ikan Tuna Guna Atasi Eksploitasi

Pada 2012 hingga terakhir 2016, ekspor ikan tuna mengalami penurunan baik dari volume dan nilainya.

KKP Kaji Regulasi Pengelolaan Ikan Tuna Guna Atasi Eksploitasi
Nelayan membongkar muat ikan tuna hasil tangkapannya di pesisir pantai Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Jumat (29/9/2017). ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

tirto.id - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah mengkaji regulasi pengelolaan tuna. Sekretaris Jenderal KKP, Rifky Effendi Hardijanto mengatakan regulasi ini sangat penting karena adanya eksploitasi berlebih terhadap ikan tuna.

"Saat ini tuna-tuna di dunia over explored, apa yang diambil di alam lebih banyak dari pada kemampuan alam untuk meregenerasi," ujar Rifky di kantor KKP Jakarta, Senin (20/11/2017).

Beberapa yang akan diperhatikan di antaranya, jumlah rasio tonase kapalnya. Nantinya, pemerintah akan menghitung seperti apa kebutuhannya, sehingga bisa menemukan sebuah tonase yang pas untuk mengelola potensi secara maksimal dan tidak terjadi eksploitasi berlebih.

"Saat ini lebih berfokus ke nelayan-nelayan kecil. Industri besar harus difasilitasi. Ini kan in beetwen investasi tetap tumbuh, tapi enggak berlebihan eksploitasi sumber daya alam. Ini kan perlu waktu," ucapnya.

Salah satu dampak adanya eksplorasi berlebihan, kata dia, yakni tidak terpenuhinya kontrak Perum Perikanan Indonesia (Perindo) untuk penangkapan ikan cakalang, satu familia dengan ikan tuna, yang sebanyak 3 ribu ton sebulan. Namun, realisasinya kurang dari 100 ton sebulan.

Selanjutnya yang perlu diperhatikan, terkait pembinaan nelayan agar kualitas tangkapan tetap terjaga dan memberikan manfaat maksimal bagi nelayan. Pusat riset sumber daya ikan menyebutkan bahwa saat ini Indonesia masih mendominasi di grade ketiga dengan penghasilan Rp20 ribu per kilogram (Kg) tuna.

Sedangkan pada grade kedua, bisa mencapai Rp35 ribu per kg dan Rp50 ribu di grade pertama. Rifky menginginkan nelayan Indonesia bisa mencapai kualifikasi grade pertama.

"Dengan tonase yang sama dan pelatihan yang proper itu akan berikan pendapatan nelayan lebih maksimal. Juga sistem logistik rantai dingin harus bisa menjamin tuna yang ditangkap tidak menurun kualitasnya. Ini harus disiapkan infrastruktur rantai dingin," ungkapnya.

Kemudian terkait kebijakan alih muatan atau transhipment, dikatakan Rifky tetap dilarang. Pasalnya, hasil tangkapan ikan itu berpotensi untuk diselundupkan. Sekalipun telah ditempatkan petugas keamanan.

"Begini ya, selama 10 tahun ini transhipment itu kontrolnya sangat lemah, itu persoalannya. Kesempatan yang lebih luas katakanlah dengan menambah kapal yang melakukan transhipment ini potensi bocornya pasti besar. Begitu ini bocor yang menikmati siapa," jelasnya.

Berdasarkan data Asosiasi Tuna (Astuin) ekspor tuna Indonesia pada 2016 menduduki peringkat sembilan dari sebelumnya keenam di dunia. Peringkat pertama diduduki Papua Nugini dengan volume mencapai 872.744 ton.

Indonesia dari 2012 hingga terakhir 2016 mengalami penurunan baik dari volume dan nilainya. Pada 2012 sebesar 158.782 ton dengan nilai 314,488 juta dolar AS.

Pada 2013 turun menjadi 166.782 ton dengan 312,036 juta dolar AS. Kemudian, 2014 turun menjadi 159.004 ton dengan nilai 234,128 juta dolar AS. Pada 2015, 142.382 ton menjadi 202,452 juta dolar AS dan menurun menjadi 115.953 ton dengan nilai 174,357 juta dolar AS pada 2016.

Baca juga artikel terkait KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto