Menuju konten utama

Kisah Pilu Keluarga Dokter Nainggolan

Bagaimana seorang perwira cemerlang dari Batak bernasib tragis di tengah pusaran pemberontakan dan meninggal secara misterius?

Kisah Pilu Keluarga Dokter Nainggolan
Masa akhir pemberontakan PRRI, 1961. tirto.id/Teguh Sabit Purnomo

tirto.id - Keluarga Dokter F.J. Nainggolan adalah keluarga terpandang pada 1930-an. Dokter Nainggolan dikenal salah satu pendiri Museum Zoologi di Kebun Binatang Pematang Siantar.

Dalam Sedjarah Si Singa Mangaradja I-XII (1967) yang disusun Adniel Lumbantobing, pendapat Nainggolan—sebagai seorang terpelajar—di koran Parsaoran dikutip: “Sisingamangaraja adalah satu-satunya pribadi yang umum diabdi dan dipuja dengan segala kemuliaannya [...] sama kedudukannya dengan Paus pada abad pertengahan untuk penduduk Eropa."

Berhubung hidup di zaman kolonial, anggota keluarga keluarga Kristen Batak Toba ini "suka kepada gaya hidup Belanda dan sering berkeliling Brastagi di dataran tinggi Karo sambil mengenakan pakaian penunggang kuda berwarna-warni,” tulis Takao Fusayama dalam Cinta dan Benci dalam Perang Pembebasan (1995).

Anak laki-laki tertuanya, Bob, seorang dokter militer. Adik Bob, Boyke, juga bergabung di militer sebagai tentara sukarela (Gyugun) pemerintahan pendudukan Jepang. Cap keluarga sang dokter boleh saja kebelanda-belandaan. Tapi, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, keluarga ini berpihak kepada Republik. Beberapa buku sejarah mencatat bahwa dokter Nainggolan adalah salah satu pimpinan dari Pasukan Lima.

Fusayama, saat itu perwira Jepang di Sumatera Utara, melihat bagaimana dr. Nainggolan memakai lencana Merah-Putih bertuliskan PSI-PV di dadanya. PSI maksudnya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan PV adalah Pasukan Lima. Ia biasa naik mobil berpelat PV yang disupiri seorang Batak Toba berkulit hitam. Jabatannya pada Pasukan Lima adalah wakil komandan.

Nainggolan dianggap orang yang berotak tajam dan terpelajar dan disegani. Anak-anak sang dokter semula termasuk anggota kelompok intel. Di mata Fusayama, anak-anak Nainggolan lebih terbuka ketimbang sang ayah.

Sayangnya, revolusi Indonesia diwarnai juga dengan revolusi sosial yang cukup kejam. Keluarga-keluarga yang terkait dengan pemerintah Belanda jadi sasaran amuk revolusi, tak terkecuali keluarga Nainggolan.

Suatu malam, jelang tahun baru 1946, dr. F.J. Nainggolan dan istrinya didatangi orang-orang bersenjata ketika tidur di vila mereka di Brastagi. Anak-anak perempuannya juga di sana. Merasa terteror, istri sang dokter menelepon anak laki-lakinya yang berada di Medan. Tetapi sambungan telepon terputus. Kedua anak laki-lakinya baru mendengar kabar esok pagi soal apa yang dialami oleh ibu mereka setelah telepon tersambung. Kabar yang mereka terima: ayah mereka diculik.

Di malam yang sama, komandan tertinggi Pasukan Lima, Sihite, menginap di Hotel Matahari. Menurut Ny. Nainggolan, para penyerang vila mereka adalah laki-laki mirip serdadu Jepang. Seperti dokter Nainggolan, Sihite juga menghilang. Dua anak dokter Nainggolan pun segera mencari ayah mereka. Meski demam, Boyke berkeras ikut. Dua kawan mereka juga ikut serta. Fusayama memberi bensin dan surat jalan. Ayah mereka kemudian bebas.

Namun amuk revolusi tetap menghantui keluarga dr. F.J. Nainggolan. Pada satu peristiwa, istri Nainggolan dan anak-anak perempuannya terbunuh oleh orang-orang militan dari golongan Pesindo di dataran tinggi Karo. Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi sebagai Politik Luar Negeri (1997) memperkirakan bahwa kelompok Ginting bertanggungjawab atas kematian anggota keluarga Nainggolan.

Meski ibu dan saudara-saudara perempuannya dihabisi pengacau-pengacau revolusi yang mengaku pendukung Republik, Boyke tetap membela Republik. Ia menjadi letnan dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Setelah pembunuhan keluarganya, Boyke ikut bergerilya, bahkan hingga ke Aceh.

Sementara itu, dr F. J. Nainggolan ditarik ke dalam sebuah negara federal yang berdiri di Sumatera Timur, berposisi sebagai menteri kesehatan. Ketika menjadi anggota Dewan Negara Sumatera Timur, “Nainggolan sudah berusaha menggagas Negara Batak Tapanuli pada 1948 ,” tulis Suprayitno dalam "Federasi Sumatera sebagai Gagasan Kaum terpojok" dalam buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an (2011).

Infografik HL Indepth PRRI

Nasib Tragis Perwira Cemerlang Boyke Nainggolan

Posisi ayah Boyke sebagai pejabat Negara Sumatera Timur, menurut Takao Fusuyama (1995), "bisa membuatnya dituduh sebagai Agen NICA, meski keberpihakan Boyke kepada Republik tak tergoyahkan.

Boyke trauma pada daerah dataran tinggi Karo tempat ibu dan saudari-saudarinya terbunuh. Ketika pasukan Republik harus mundur ke daerah Karo karena digempur tentara, Boyke lebih memilih mundur hingga ke Aceh, meski harus sendirian.

Tak lama di Aceh, ia pergi ke Tebing Tinggi. Setelah 1948, Boyke ditangkap tentara Belanda. Ia bertemu lagi dengan ayahnya yang jadi orang berpengaruh di Negara Sumatra Timur. Boyke lalu dibebaskan, bahkan berkat ayahnya, Boyke pun dikirim belajar militer ke Negeri Belanda. Setelah penyerahan kedaulatan 1949, ayahnya tak lagi jadi pejabat dan hanya jadi dokter biasa.

Boyke pulang kembali ke Indonesia setelahnya dan akhirnya bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia. Perwira dengan NRP 121196 ini jadi komandan batalyon di Medan ketika Kolonel Maludin Simbolon jadi Panglima Bukit Barisan.

Pada awal tahun 1956, menurut Abdul Haris Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua (1984:15), Boyke Nainggolan yang sudah jadi mayor dan memimpin Batalyon 131 di Medan melaporkan Mayor Ramli dan Mayor Junus Samosir untuk diperiksa. Dan beberapa hari setelahnya, keduanya ditahan. Di tahun yang sama pula, Boyke diberangkatkan lagi untuk belajar di luar negeri ke sekolah staf dan komando Angkatan Darat Amerika di Fort Leavenworth.

Pulang ke Medan, Boyke menjadi perwira penting di Bukit Barisan. Dalam kemelut PRRI di Sumatera, Boyke dikenal karena aksinya pada 15 Maret 1958. Ia mengkudeta komandan pro-Jakarta di Medan, Letnan Kolonel Djamin Ginting yang harus menyingkir hingga ke Tanah Karo. Maka, terlibatlah Boyke Nainggolan ke dalam petualangan PRRI/Permesta. Ia pernah menjadi penasehat militer Divisi Pusuk Buhit.

Achmad Tirtosudiro dalam memoarnya, Jenderal dari Pesantren Legok (2002), yang sama-sama berangkat ke Fort Leavenworth bersana Boyke Nainggolan, menulis bahwa Boyke adalah "laki-laki yang labil terkait kisah lalu nan sedih keluarganya."

Keterlibatannya dengan gerakan makar PRRI membuat karier militernya terhenti. Ia diampuni oleh pemerintahan Sukarno dan dikaryakan ke perusahaan pemerintah.

Boyke Nainggolan bekerja di Pertamina cabang Sumatera Timur di Medan tetapi gagal mengembangkan relasi yang baik dengan atasannya. Kematiannya diliputi misteri: mayatnya ditemukan di bawah menara radio dekat perumahan pertamina di Medan. Ada yang menduga ia bunuh diri, tetapi desakan ayahnya agar menyelidiki kematian putranya tersebut dihalangi oleh pemerintah.

Dokter F.J. Nainggolan rupa-rupanya larut dalam kesedihan atas kematian itu, dan sang ayah pun meninggal pada masa-masa duka.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Humaniora
Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam