tirto.id - Sebuah mobil De Soto buatan pabrik Chrysler Corporation, Amerika Serikat, terparkir di depan Hotel Des Indes, Jakarta. Hari masih terlalu pagi dan suasana begitu lengang ketika dua pemuda mengendap-endap mendekatinya. Mereka berhasil masuk dan menghidupkan mesin mobil. De Soto itu mereka bawa kabur ke luar Jakarta menuju Salatiga.
Awal tahun 1942 adalah hari-hari sibuk pemerintah Hindia Belanda yang makin terjepit oleh serbuan Jepang. Mobil yang dicuri dua pemuda itu adalah milik Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Kekalahan perang dari Jepang membuat mereka tak sempat mencari mobilnya yang hilang.
Kisah itu diceritakan oleh Nichlany Soedardjo, salah satu pemuda tersebut, kepada Matra edisi Mei 1990.
Nichlany punya minat khusus pada mobil. Sedari kecil, ia sudah belajar memahami mesin mobil. Ayahnya yang bernama Raden Soedardjo dan bekerja sebagai pamongpraja adalah pemilik mobil Fiat 503 keluaran 1926. Pada zaman Jepang, Raden Soedardjo menjadi Walikota Salatiga.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Nichlany baru sempat menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah tinggi. Di sekolah, ia berkawan dengan Omar Dani. Dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (2001: 186) yang disusun Benedicta A. Surodjo dan J. M. V. Soeparno disebutkan, ketika pecah Revolusi 1945, Nichlany dan Omar Dani bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Salatiga.
Pencurian mobil di Hotel Des Indes bukan satu-satunya yang dilakukan oleh Nichlany. Pada 1945, seperti dikisahkan kepada Matra, ia juga mencuri mobil di Stasiun Tugu, Yogyakarta. Kali ini mobil yang ia curi adalah milik komandan Kempeitai (polisi Jepang) Yogyakarta yang sedang menjemput tamunya. Bermodal tang dan obeng, ia beraksi dengan mengenakan seragam PETA.
”Pada zaman Perang Kemerdekaan, saya berhasil mencuri 5 mobil milik Belanda dan Jepang,” ucapnya kepada Matra. Mobil curian itu kemudian ia serahkan kepada BKR.
Soal pencurian mobil pada zaman Jepang dan era Revolusi, Nichlany tak sendirian. Dalam Saya Ingin Membayar Utang kepada Rakyat (1999:42), Romo Mangunwijaya juga menceritakan bahwa ia dan kawan-kawannya pernah mencuri mobil-mobil milik Jepang.
Selain Romo Mangunwijaya, ada juga kisah pencurian mobil yang dilakukan oleh Sudiro (kakeknya Tora Sudiro). Dalam buku kumpulan tulisannya yang bertajuk Pelangi Kehidupan (1986:547), ia menceritakan bahwa mobil yang ia curi dari parkiran kantor Perhubungan itu kemudian menjadi salah satu mobil kepresidenan.
Setahun setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk, Nichlany mendapat pangkat Letnan Satu. Ia mengaku pernah menjadi supir pribadi Panglima Besar Sudirman selama tujuh bulan pada tahun 1946.
Nichlany pernah mengikuti latihan Opsir Polisi Militer di Sarangan. Ia kemudian menjadi Letnan Polisi Tentara (Polisi Militer). Menurut Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 316-317), pada 1948 Nichlany menjabat sebagai komandan polisi militer di Karanganyar, Jawa Tengah. Pada 1950-an, ia pernah menjabat sebagai komandan polisi militer di Palembang dan Jakarta.
Ketika Omar Dani--kawannya semasa sekolah--menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau), Nichlany masih berpangkat Letnan Kolonel Polisi Militer. Setelah peristiwa G30S, Nichlany mendapat tugas untuk mengintai Omar Dani yang tengah berada di luar negeri karena dianggap terlibat dalam peristiwa berdarah tersebut.
Dalam sebuah wawancara dengan Tirto (17/06/2019), Kolonel Purnawirawan HW Sriyono mengatakan bahwa Nichlany pernah menjadi komandan Tim Pemeriksa Pusat (Tiperpu). Polisi militer memang banyak berperan dalam operasi pembersihan setelah G30S.
Setelah tahun 1966, Nichlany menjadi Asisten 1 (Intelijen) dari Direktur Polisi Militer. Lalu pangkatnya naik lagi jadi kolonel, kemudian Brigadir Jenderal, dan akhirnya Mayor Jenderal.
Ia dikenal sebagai jenderal yang menyangkal bahwa Amerika Serikat memberikan data-data dalam penumpasan PKI 1966.
"Mereka sama sekali tak melakukan apa-apa. Mereka sama sekali tak menyediakan data-data apa pun. Sebaliknya, orang-orang Amerika sungguh-sungguh kagum bahwa Indonesia mampu membasmi partai komunis terbesar di Asia,” kata Nichlany seperti dikutip M.R. Siregar dalam Menentukan Nasib Sendiri versus Imperialisme (2000: 176).
Dari tahun 1968 hingga 1972, Nichlany adalah Wakil Direktur Polisi Militer. Selain itu, ia juga merangkap Deputi 1 (Intelijen) dari Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin) sejak 1970 hingga 1972. Di Bakin, ia kemudian menjadi Deputi II (Operasi).
Setelah 1973, Nichlany menjadi atase di Washington DC, Amerika Serikat. Menurut catatan David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (2010: 44), Nichlany dikirim ke Amerika Serikat setelah berdebat selama 48 jam dengan Mayor Jenderal Ali Moertopo. Di sana, ia bertugas lebih dari enam tahun. Dari tahun 1980 sampai 1982 ia menjabat sebagai Direktur Jenderal Imigrasi.
Nichlany yang sejak kecil gandrung mobil, disebut-sebut sebagai orang yang membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang dilakukan oleh Robby Tjahjadi dan kawan-kawan.
Setelah tak bekerja pada pemerintah, Nichlany membuka bengkel yang dinamai Nickbers. Selain itu, ia juga menjadi Direktur Eksekutif Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA)—yang kemudian menjadi Lembaga Indonesia Amerika (LIA).
Nichlany tutup usia pada 21 Desember 1990 setelah berjuang melawan kanker paru-paru yang dideritanya sejak 1989. Ia dimakamkan di TMP Kalibata.
Editor: Irfan Teguh