tirto.id - Omar Dani sedang makan di restoran Cina di sekitar Champ du Ellysse, Paris. Tiba-tiba muncullah kawan lamanya. Kawan satu geng dari zaman SMA di Solo, waktu zaman Jepang. Kala mereka masih ugal-ugalan. Kawan Omar yang satu ini jago main piano dan terampil dalam utak-atik mesin otomotif. Ayah si kawan ini adalah walikota Salatiga di zaman Jepang.
Waktu revolusi 1945, Omar Dani dan kawannya ini tak mau ketinggalan. Mereka berdua ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Salatiga. Namun setelahnya, keduanya bersimpang jalan. Omar jadi staf tak resmi Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta, pernah jadi penyiar RRI, belakangan menjadi laksamana madya Angkatan Udara (kini marsekal madya), dan terakhir menjadi Menteri Panglima Angkatan Udara (Menpangau). Sementara si kawan yang bernama Nichlany Soedardjo masuk Corps Polisi Militer (CPM).
Saat mereka berdua bertemu di Paris, Omar Dani sudah jadi Menpangau. Sementara Nichlany masih letnan kolonel dan perwira intel di Direktorat Polisi Militer.
Di restoran itu mereka bicara panjang lebar. Acara ngobrol lalu pindah ke kamar hotel tempat Omar Dani menginap. Kepada Omar, Nichlany mengaku diberi dana perjalanan dinas yang lumayan banyak, unlimited travelers cheque. Dengan uang itu, Nichlany mengajaknya bersenang-senang di Paris.
Dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (2001: 186) yang disusun Benedicta A. Surodjo dan J. M. V. Soeparno disebutkan, tawaran itu "ditolak oleh Omar Dani, sehingga mereka cukup berbincang-bincang di kamar hotel Omar Dani".
Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk bertemu di Jerman Barat pada 23 Januari 1966. Namun, rencana itu tak terlaksana. Omar Dani sendiri sudah berada di Phnom Penh, Kamboja. Kala itu, ia sudah kena masalah. Keterlibatan oknum Angkatan Udara dan lokasi Lubang Buaya yang tak jauh dari pangkalan Angkatan Udara dalam G30S membuatnya jadi pesakitan. Dia Menpangau yang dianggap dekat dengan Sukarno, bahkan dituduh membantu PKI dalam G30S. Dalam surat bertanggal 27 Januari 1966, Nichlany menyarankan kepada Omar Dani agar tidak pulang ke Indonesia.
Omar Dani pun berkirim surat ke Nichlany pada 31 Januari 1966. Ia menulis, “selama aku berada di Phnom Penh ini, aku telah menerima surat resmi beserta pertanyaan-pertanyaan yang ditandatangani oleh Pak Nas (Jenderal Abdul Haris Nasution). Surat ini telah kujawab dengan kusertai dengan surat pribadi halal-bihalal kepada Pak Nas.”
Dalam surat itu pula, Omar Dani mengaku pada Nichlany bahwa dirinya disarankan Sukendro (yang disebut sebagai Mas Kendro) agar tidak pulang dulu ke Indonesia.
Keduanya kemudian bertemu kembali di Phnom Penh. Berkali-kali, Nichlany menemui Omar Dani di ibu kota Kamboja itu, antara 8 hingga 12 Februari 1966. Di Phnom Penh, Nichlany mengaku kepada Dani jika kantongnya menipis. Padahal beberapa minggu sebelumnya, kantongnya masih tebal.
“Omar Dani menduga hal itu hanya sekedar taktik Nichlany untuk mengetahui apakah Omar Dani mendapat bantuan dari pihak tertentu,” tulis buku Pledoi Omar Dani.
Omar pun menawari Nichlany untuk tinggal di rumah yang dikontraknya di Phnom Penh atau mengongkosi hotel untuk kawannya itu. Nichlany memilih tinggal di hotel. Di Kamboja, mereka berbincang soal G30S—yang menurut Nichlany karena kesalahan PKI, tetapi menurut Omar itu belumlah terbukti.
Belakangan, Omar Dani tahu bahwa Nichlany berada di luar negeri karena tugas dari Soeharto dan Nasution. Sejak Desember 1965, beberapa bulan setelah kudeta gagal G30S, Nichlany dicomot dari Seskoad dan diperintahkan menguntit Omar Dani ke luar negeri. Nichlany memang menjalankan tugasnya sebagai perwira yang ikut perintah atasannya, tapi ia juga memperlihatkan diri sebagai kawan yang baik bagi Omar Dani.
"Berharaplah yang terburuk"
Setelah Omar Dani pulang ke Indonesia, pada 20 April 1966, dia kemudian diadili Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) di Gedung Bappenas, Jakarta. Selama ditahan di Cibogo, Bogor, Nichlany pernah menjenguknya. Ketika Omar Dani hendak dipindahkan ke Nirbaya, sebelah selatan Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 23 Mei 1966, Nichlany juga yang menjemputnya dari Cibogo. Omar Dani, bersama Komodor Udara Soewondo dan Nichlany, naik Mercy milik Soewondo. Dengan Nichlany yang doyan otomotif sebagai supirnya.
Setelah melewati Cibinong, Nichlany yang sedang menyetir ditanyai Omar Dani. “Nich, nanti kira-kira vonis apa ya?”
Nichlany pun menjawab dalam bahasa Belanda, “Verwacth maar het ergste”—berharaplah yang terburuk.
“Hukuman mati ya?” tanya Omar Dani memastikan.
Dan Nichlany pun bilang “ya.”
Tak heran jika pada 15 Desember 1966, hari penentuan nasib Omar Dani oleh Mahmillub, sang marsekal tidak kaget soal vonis yang akan dijatuhkan padanya. Mati pun dia sudah pasrah. Meski belakangan eksekusi mati untuk Omar Dani tak pernah terlaksana sama sekali. Ia malah bebas pada 1995 dan baru mengembuskan napas terakhir pada 2009. Sementara Soeharto sudah mendahului tahun sebelumnya.
Dalam telegram diplomatik Duta Besar Amerika untuk Indonesia Marshall Green kepada Sekretaris Negara Amerika di Washington tanggal 18 Oktober 1965, yang terangkum dalam arsip Jakarta Embassy Files [RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 38 (Dummy Box), Folder 3], disebutkan bahwa ada usul dari Raden Mas Sutarto, asisten Menteri Penerangan Ruslan Abdulgani: “Omar Dhani harus berhenti atau kita bunuh dia.”
Tak hanya Dani, empat perwira tinggi AURI lainnya—Sri Muljono Herlambang, Suryadi Suryadarma, Abdoerachmat, dan satu perwira yang diketahui namanya—harus dicabut juga nyawanya. Kemungkinan nama yang tidak diketahui adalah Ignatius Dewanto, yang kala itu menjabat Direktur Intelijen AURI.
Seorang Intel Sejati
Setelah 1966, Nichlany sudah jadi Asisten 1 (Intelijen) dari Direktur Polisi Militer. Pangkatnya naik lagi jadi kolonel. Menurut catatan Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD (1988: 316-317), antara 1968 hingga 1972, Niclany adalah Wakil Direktur Polisi Militer. Selain itu, dia juga merangkap Deputi 1 (Intelijen) dari Kepala Badan Koordinasi Intelejen Negara (BAKIN) sejak 1970 hingga 1972. Di Bakin, dia kemudian menjadi Deputi II (Operasi).
Setelah 1973, Nichlany menjadi atase di Washington DC, Amerika Serikat. Menurut catatan David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal Orba: Rezim Militer Indonesia 1975-1983 (2010: 44), dia dikirim ke Amerika Serikat setelah 48 jam berdebat dengan Mayor Jenderal Ali Moertopo. Lebih dari enam tahun Nichlany bertugas di sana.
Jabatan sipil penting yang pernah diembannya adalah Direktur Jenderal Imigrasi, dari 1980 hingga 1982. Dia mundur setelah dua tahun dua bulan jadi dirjen. Dia kemudian buka bengkel mobil bernama Nickbers. "Cuma bidang montir ini yang saya kuasai betul," ujar Nichlany seperti dikutip dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia (1986).
Belakangan dia juga menjadi Direktur Eksekutif Perhimpunan Persahabatan Indonesia Amerika (PPIA)—yang kemudian menjadi Lembaga Indonesia Amerika (LIA). Pangkat terakhirnya di militer adalah mayor jenderal.
Nichlany dikenal sebagai jenderal yang menyangkal bahwa Amerika Serikat memberikan data-data dalam penumpasan PKI 1966. "Mereka sama sekali tak melakukan apa-apa. Mereka sama sekali tak menyediakan data-data apa pun. Sebaliknya, orang-orang Amerika sungguh-sungguh kagum bahwa Indonesia mampu membasmi partai komunis terbesar di Asia,” kata Nichlany seperti dikutip M.R. Siregar dalam Menentukan nasib sendiri versus imperialisme (2000: 176).
Sepanjang kariernya di Polisi Militer, Nichlany pernah menjadi komandan polisi militer di Palembang dan Jakarta pada 1950-an. Di masa Revolusi, pada 1948, dia adalah komandan polisi militer di Karanganyar, Jawa Tengah. Pada tahun itu, Karanganyar menjadi tempat eksekusi mati Amir Sjarifuddin, tokoh Peristiwa Madiun dan mantan Perdana Menteri.
Editor: Ivan Aulia Ahsan