tirto.id - Santum cuma seorang kuli. Saban hari ia akrab dengan sampah-sampah semacam kertas bekas, sisa makanan, sisa minuman, kantung plastik berisi muntahan, kondom, dan berlaksa benda yang tak lagi dianggap berguna. Tapi hari itu, Selasa, 15 Agustus 2017, ia tahu tidak akan berurusan dengan sampah. Kali ini ia berurusan dengan barang-barang bernilai triliunan.
Dua minggu sebelumnya, sang bos memberitahu Santum untuk tidak bekerja di hari Senin. Ini karena polisi mendatangi tempat kerja Santum—sebuah ruangan serupa gudang yang bikin gerah orang-orang di dalamnya. Mereka mendirikan tenda megah di sekitar gudang. Katanya, esok ada hajatan.
Sampah-sampah yang biasa diakrabi Santum terpaksa ditahan di Bandara Soekarno-Hatta. Kalau hari biasa, dua truk pengangkut sampah mengantar ampas-ampas penumpang ke tempat kerja Santum. Itu adalah sampah dari 700 penerbangan yang dilayani Bandara Soekarno-Hatta setiap hari.
"Paling mulai baru jam dua," kata Santum, resah. Matanya terlihat lelah.
Tak lama, seseorang memerintah Santum untuk mencari kayu lagi. Dua tungku pembakaran raksasa di gudang itu butuh konsumsi kayu lebih banyak.
“Woi, cari kayu lagi!” teriak Santum, berkelakar. Ia tertawa, lalu pergi mencari kayu bersama kolega kerjanya yang lain.
Santum, lelaki 52 tahun asal Rawa Bokor, Tangerang, Banten. Cucunya delapan. “Anak saya lima kalau enggak salah,” katanya, ragu, lalu menyebutkan nama anaknya satu per satu. Setelah Rawa Bokor terkena penggusuran karena proyek pembangunan bandara, ia pindah ke Kresek. “Ini besok kayaknya mau kena gusur lagi.”
Sudah 20 tahun ia bekerja di tempat pembakaran sampah milik PT Angkasa Pura II. Bersama kuli-kuli lain, ia bekerja dari pukul 8 atau 9 pagi sampai pukul 4 sore. Untuk lima hari kerja dalam seminggu, mereka diupah Rp150 ribu per hari.
Tak lama setelah Santum dan kuli lain kembali, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian keluar dari tenda hajatan. Ia dikawal ketat. Tampak pula Budi Waseso alias Buwas yang menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Setelah melangkah ke gudang, seluruh kamera menatap Tito. Anggota polisi yang lain mengangkat gawai untuk merekam video dan mengambil foto. Gudang seluas 25 x 10 meter tersebut terasa makin gerah.
Gudang pembakaran punya tiga tungku. Namun hanya dua yang bisa dipakai. Keduanya tersambung dengan cerobong asap di atap gudang. Tito dan Buwas berdiri di samping tungku, tepat di tengah gudang.
Santum dan kuli-kuli lain berdiri di dekat pintu. Mereka tampak seragam, mengenakan kemeja biru berlapis rompi jingga. Sepatu bot dan helm proyek tak lupa dipakai.
Semua kamera membidik ke arah Tito. Pintu tungku dibuka. Nyala api sepanas 660 derajat celcius terlihat menjilat-jilat. Tito mengambil sepaket sabu-sabu. Ia tersenyum sejenak ke arah kamera, lalu melemparkan sabu-sabu ke dalam tungku. Buwas dan beberapa pejabat lain melakukan hal serupa.
Paket-paket narkoba lain kemudian menyusul. Ada sabu-sabu seberat 1,4 ton, ganja 2,7 ton, dan 36 ribu butir ekstasi. Semuanya mesti dibakar, dimusnahkan.
“Agar tidak ada suara-suara minor, ‘Jangan-jangan barang bukti narkoba dijual lagi oleh polisi,’” ujar Tito, mantap.
Tito mengatakan, anggota-anggota polisi yang berjasa dalam pengungkapan kasus narkoba, akan mendapat kenaikan pangkat.
Kapolri lantas undur diri. Dari luar gudang, asap hitam tebal mengepul tinggi. Ini ulah Santum dan teman-temannya—para kuli yang diupah Rp150 ribu per hari, bekerja menghanguskan barang bukti narkoba senilai Rp2 triliun.
Tak seperti para polisi yang dianggap berjasa mengungkap kasus narkoba, Santum tidak akan dapat kenaikan pangkat. Santum harus bekerja hari ini, besok, lusa, sampai entah berapa lama lagi. Kembali mengakrabi sampah-sampah semacam kertas bekas, sisa makanan, sisa minuman, kantung plastik berisi muntahan, kondom, dan sebagainya. Ya, namanya juga cuma kuli.
Baca laporan mendalam Tirto tentang upaya pemberantasan narkoba:Ironi Pemberantasan Narkoba Era Jokowi
Penulis: Satya Adhi
Editor: Jay Akbar