Menuju konten utama
Mozaik

Kisah Hilangnya Michael Rockefeller di Tanah Papua

Hilangnya Michael Rockefeller di Papua pada 1961 meninggalkan misteri. Sejumlah dugaan muncul: tenggelam, dibunuh, atau memilih hidup bersama suku Asmat.

Kisah Hilangnya Michael Rockefeller di Tanah Papua
Header Mozaik Michael Rockefeller. tirto.id/TIno

tirto.id - Di bawah langit biru dan matahari tropis, perahu mereka perlahan membelah air sungai yang tenang. Hutan hujan tampak begitu perawan. Pohon-pohon menjulang, berbagai jenis tumbuhan begitu subur di sepanjang tepian sungai.

Sesekali mereka berpapasan dengan perahu-perahu kecil milik penduduk setempat yang membawa hasil kebun atau ikan tangkapan. Mereka kerap menyempatkan diri untuk berinteraksi dan bertukar sapa dengan ramah, meskipun terkadang terkendala perbedaan bahasa.

Tujuan utama perjalanan mereka adalah mengumpulkan ukiran seni dan artefak berharga dengan mengunjungi desa-desa terpencil yang tersebar di sepanjang sungai.

Ditemani dua pemandu lokal, suasana alam yang mereka hadapi menggambarkan keindahan sekaligus tantangan di salah satu wilayah paling misterius di dunia.

Sungai-sungai yang mereka lalui, seperti Sungai Eilanden dan Sungai Asewet, berwarna cokelat kehijauan akibat endapan lumpur dan vegetasi yang terurai. Airnya mengalir tenang, namun di balik itu tersembunyi bahaya seperti buaya dan arus yang tak terduga.

Nasib nahas menimpa saat arus air begitu deras di dekat muara sungai. Cuaca hari itu tiba-tiba memburuk, membuat kapal mereka terbalik dan terapung selama dua hari.

Di dekat Laut Arafura, salah satu korbannya, Michael Rockefeller, dinyatakan hilang dan tidak pernah ditemukan jasadnya hingga hari ini.

Ekspedisi ke Papua

Pada tahun 1961, Michael Rockefeller, seorang antropolog muda, melakukan ekspedisi ke Papua, wilayah yang saat itu masih dikenal sebagai Nugini Belanda. Ia hendak mempelajari dan mengumpulkan artefak budaya dari suku-suku asli, khususnya suku Asmat, yang terkenal karena seni ukir kayu dan tradisinya yang unik.

Ekspedisi ini merupakan bagian dari upaya Michael untuk mendokumentasikan dan melestarikan budaya suku-suku yang terancam punah akibat modernisasi dan kolonialisme.

Papua pada masa itu masih wilayah yang terpencil dan asing, belum banyak terjamah oleh dunia luar. Bagi Michael Rockefeller, ini adalah kesempatan untuk menjelajahi dunia yang belum banyak diketahui dan sebagai upaya untuk berkontribusi pada ilmu antropologi.

Michael Clark Rockefeller lahir pada 18 Mei 1938, anak dari Nelson Rockefeller, seorang politikus terkemuka dan Gubernur New York. Pada 1974, ayahnya menjabat Wakil Presiden mendampingi Presiden Gerald Ford dari Partai Republik hingga tahun 1977.

Sedangkan ibunya adalah Mary Todhunter Clark, mantan perawat di Manhattan. Keluarga Rockefeller merupakan salah satu keluarga terkaya dan paling berpengaruh di Amerika Serikat. Kekayaan mereka dikenal lewat industri minyak, Standard Oil Company.

Meskipun berasal dari keluarga yang kaya raya, Michael memilih mengejar minatnya di bidang antropologi dan seni, sekaligus menciptakan identitasnya sendiri di luar bayang-bayang keluarga.

Ia menempuh pendidikan sejarah dan ekonomi di Harvard University. Ketertarikannya pada budaya asli dan seni primitif membawanya ke Papua. Ia berharap dapat mengumpulkan koleksi artefak yang akan dipamerkan di Museum of Primitif Art di New York yang didirikan oleh ayahnya.

Ekspedisinya didanai oleh Museum Peabody Harvard untuk melakukan penelitian di antara suku Dani di wilayah Baliem, Papua Barat sekarang. Bersama Robert Gardner, ia memproduksi sebuah film dokumenter berjudul Dead Birds yang dianggapnya bukan hanya sebuah pertualangan pribadi, tetapi juga upaya untuk berkontribusi pada pemahaman dunia tentang budaya yang hampir punah.

Selama ekspedisi, Michael bekerja sebagai teknisi suara dan fotografer. Keduanya menghasilkan dokumentasi penting tentang seni dan budaya suku Dani. Tetapi ekspedisi itu ternyata tidak bebas dari kontroversi.

Beberapa pejabat Belanda mengeluhkan bahwa para ilmuwan Amerika memprovokasi suku Dani untuk memulai perang suku demi mendapatkan rekaman untuk film dokumenter.

Robert Fisher dalam jurnal Australian Geographer menilai, dalam mengejar seni "primitif," Michael Rockefeller hanyalah salah satu dari sekian banyak pelancong Barat yang bersentuhan dengan masyarakat asli dalam kerangka kolonial.

Dalam penelitian itu, Fisher berhasil mengeksplorasi isu-isu seperti kolonialisme dan kisah antropofagisme (kanibalisme) dalam konteks budaya Papua.

Hilang dan Upaya Pencarian

Setelah proyek film dokumenter berakhir pada November 1961, Michael Rockefeller dan seorang antropolog Belanda, René Wassing, melakukan perjalanan kembali ke Nugini Belanda. Mereka menggunakan perahu kecil dari Desa Agats menuju Desa Otsjanep di wilayah pedalaman Asmat.

Nugini Belanda, khususnya wilayah Asmat, dikenal karena alamnya yang sangat eksotis dan menakjubkan. Hutan hujan tropis yang membentang luas menciptakan kanopi hijau yang lebat, dihuni oleh beragam flora dan fauna yang unik dan melimpah.

Lanskap Asmat juga didominasi oleh pasang surut Laut Arafura, menciptakan lingkungan berawa dengan daerah bakau yang luas. Hanya ada satu landasan pacu dan tidak ada menara seluler di luar kota utama Agats, menekankan keterpencilannya.

Budaya Asmat mencerminkan pandangan dunia dualistik: kehidupan dan kematian saling terhubung melalui ritual. Kepercayaan mereka mencakup praktik kompleks seperti penghadapan kepala yang baru dipenggal dan seni upacara untuk menenangkan roh leluhur.

Pada 17 November 1961, perahu mereka mengalami masalah teknis dan terbalik di tengah arus air yang deras, tak jauh dari muara Sungai Betsj dan Laut Arafura. Michael dan Wassing berusaha bertahan, keduanya berpegangan pada perahu yang terbalik, tetapi cuaca semakin memburuk.

Sementara itu, dua pemandu lokal mampu keluar dan berusaha mencari pertolongan pada malam harinya.

Setelah belasan jam terapung, Michael memutuskan untuk berenang ke daratan, yang diperkirakan berjarak sekitar 19 kilometer ke bibir pantai. Pada 19 November pagi itu, ia meyakinkan Wassing bahwa ia mampu berenang dan akan mencari bantuan.

“Saat itu pukul delapan pagi. Air pasang sedang tinggi. Dia mengenakan celana dalam katun putih dan kacamata berbingkai hitam tebal. Dia memiliki dua kaleng bensin kosong yang diikatkan ke ikat pinggangnya yang berselaput, bergaya militer,” tutur Carl Hoffman dalam buku Savage Harvest: A Tale of Cannibals, Colonialism and Michael Rockefeller's Tragic Quest for Primitive Art (2014).

Satu kaleng ia peluk dengan erat dan mulai berenang, lalu menendang kaleng yang satunya lagi ke arah pantai, yang garis abu-abu yang kabur. Dia memperkirakan posisinya saat itu berada lima hingga sepuluh mil dari pantai.

Michael terus menendang perlahan kaleng itu dan mulai berhitung. Satu mil per jam dan dia akan sampai di sana dalam sepuluh jam. Setengah mil per jam dan dia akan mencapai pantai dalam dua puluh jam.

Namun, setelah Michael berenang hendak menuju bibir pantai, ia tidak pernah terlihat lagi. Wassing, yang tetap bertahan di perahu, akhirnya diselamatkan oleh tim pencari keesokan harinya.

Upaya pencarian Michael dilakukan secara besar-besaran oleh Pemerintah Belanda, Angkatan Laut Amerika Serikat, relawan lokal, dan keluarga Rockefeller. Ayah dan ibu Michael mendarat di Merauke beberapa hari kemudian dengan Boeing 707.

Pencarian tanpa henti melibatkan helikopter, kapal, dan tim darat yang menyisir wilayah Asmat. Setelah beberapa minggu, tidak ada hasil dan tanda-tanda keberadaan jejaknya. Pada 19 November 1961, pencarian resmi dihentikan dan Michael Rockefeller dinyatakan hilang.

Carl Hoffman menulis bukunya berdasarkan pengamatan langsung di lapangan saat ia mendarat di Otsjanep pada 2014. Ia membaur dengan suku lokal dan memulai misi untuk mencari tahu keberadaan Michael Rockfeller.

Teori-Teori Hilangnya Secara Misterius

Hilangnya Michael Rockefeller menjadi salah satu misteri terbesar abad ke-20. Berbagai teori telah muncul untuk menjelaskan apa yang mungkin terjadi padanya, mulai dari diculik hingga dimakan oleh para pemburu kepala. Kisah-kisah ini mengubah cerita Michael menjadi sebuah mitos, menginspirasi berbagai narasi budaya, termasuk drama dan acara televisi.

Teori pertama menyebutkan bahwa ia tenggelam di sungai atau laut. Teori ini menyatakan bahwa Rockefeller tenggelam saat berenang menuju daratan. Arus sungai yang deras dan kondisi Laut Arafura yang tidak menentu membuat kemungkinan ini cukup masuk akal.

Teori kedua yang banyak diperdebatkan adalah Michael Rockefeller dibunuh oleh suku Asmat. Spekulasi ini berkembang karena Michael menghilang di dekat Otsjanep, yang memicu lahirnya dugaan tentang pembunuhannya dan kanibalisme oleh suku-suku setempat.

Beberapa laporan menyebutkan bahwa Michael mungkin telah dianggap sebagai ancaman atau musuh, terutama karena kedatangannya yang tiba-tiba dan minatnya untuk mengambil artefak suci. Warna kulitnya yang putih sering diduga sebagai orang Belanda.

Beberapa saksi, termasuk misionaris Belanda, Jan Smit, melaporkan bahwa mereka melihat seorang suku lokal mengenakan celana dalam Michael, yang memperkuat dugaan bahwa ia mungkin telah dibunuh. Smit menjelaskan bagaimana Michael ditembak dan kemudian dimakan oleh suku lokal.

Meskipun ada beberapa bukti dan kesaksian yang mendukung teori ini, kebenarannya tetap menjadi misteri yang belum terpecahkan.

Delapan tahun usai Michael dinyatakan hilang, seorang jurnalis bernama Milt Machlin melakukan penyelidikan lebih lanjut dan menemukan bahwa ada kemungkinan Michael dibunuh oleh suku lokal sebagai balas dendam.

Machlin menjabarkan temuannya dalam buku The Search for Michael Rockefeller (1972). Dia juga kerap mempertanyakan apakah suku-suku lokal masih bermusuhan dengan otoritas Belanda.

Sementara pihak berwenang Belanda memilih teori hilangnya Michael akibat tenggelam di laut daripada mengakui bahwa ia mungkin dibunuh oleh suku lokal. Ini berhubungan dengan citra kolonial dan kontrol atas wilayah tersebut.

Lalu ada teori lainnya yang mengatakan wilayah Asmat dipenuhi oleh buaya dan hiu, yang membuat beberapa orang berspekulasi bahwa Michael mungkin menjadi korban serangan hewan. Namun, seperti teori tenggelam, tidak ada bukti fisik yang mendukung klaim ini.

Ada juga teori yang menyatakan bahwa Michael Rockefeller selamat dan memilih untuk hidup di antara suku Asmat, meninggalkan kehidupan lamanya. Namun, teori ini dianggap tidak mungkin karena tidak ada bukti atau saksi yang mendukungnya.

Baca juga artikel terkait ORANG HILANG atau tulisan lainnya dari Ali Zaenal

tirto.id - News
Kontributor: Ali Zaenal
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi