tirto.id - Pada satu sesi makan malam bulan lalu, Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir berseloroh soal nasibnya yang berubah 180 derajat. Saat memimpin Bank BRI, Sofyan dengan bangga menakhodai salah satu perusahaan pemberi kredit terbesar di Indonesia. Namun, setelah menjadi orang nomor satu di PLN, ia malah harus memimpin perusahaan dengan utang maha besar. Sebuah tantangan Sofyan sebagai bankir.
Baca juga:Seberapa Buruk Kondisi Keuangan PLN
Sofyan Basir yang sudah makan asam garam sebagai bankir. Ia pernah berkarir di Bank Duta, Bank Bukopin hingga akhirnya ditunjuk sebagai Direktur Utama Bank BRI. Selama 9 tahun masa jabatan, ia sukses menjadikan BRI sebagai bank papan atas di Indonesia.
Kesuksesan Sofyan memimpin BRI dianggap jadi modal Sofyan memimpin BUMN setrum itu. Posisi Sofyan di PLN sempat menjadi kontroversi dikarenakan tidak memiliki latar belakang teknik dan kelistrikan. Namun, kehadiran Sofyan di PLN diharapkan bisa menata keuangan PLN. Sayangnya, di bawah Sofyan, hingga kuartal III-2017 PLN mencatatkan laba bersih sebesar Rp3,05 triliun, turun 72 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Penyebabnya karena beban usaha PLN yang meningkat dan akibat tertekan selisih kurs mata uang.
Kisah bankir seperti Sofyan yang harus menangani BUMN non bank bukan cerita masa kini saja, pada 1998, hal serupa terjadi dengan Garuda Indonesia. Adalah Robby Djohan, eks bankir Citibank dan Bank Niaga yang ditunjuk Menteri BUMN Tanri Abeng kala itu untuk memimpin perusahaan yang tengah mengalami masa sulit. Penunjukan Robby disebut-sebut sebagai upaya yang di luar dari kebiasaan. Saat itu, Robby dihadapkan pada segudang masalah. Pada masa itu, Garuda dikenal sebagai maskapai dengan armada tua yang kerap penerbangannya delay.
Secara bisnis Garuda juga terbebani kondisi keuangan yang sulit. Meski hanya menjabat selama enam bulan (Juni-November 1998), Robby sempat melakukan berbagai kebijakan penting, seperti menutup rute-rute yang tak menguntungkan, meningkatkan ketepatan waktu, hingga menurunkan jumlah utang perusahaan meski hanya 25 persen.
Tradisi masuknya para bankir menangani BUMN non bank, berlanjut ke era setelahnya. Pada era menteri BUMN di bawah Dahlan Iskan, ada model dan wadah pencarian profesional BUMN melalui program talent pool. Program tersebut telah ditetapkan dengan Peraturan Menteri BUMN No.16 Tahun 2012 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi BUMN.
Intinya mengumpulkan bakat terbaik dalam setiap BUMN, supaya pada saat membutuhkan orang dengan kualifikasi tertentu perusahaan sudah memiliki database yang cukup kuat. Sehingga, jenjang karier profesional BUMN tidak mentok di satu BUMN.
Setelah era Robby di Garuda, sosok bankir lain seperti Emirsyah Satar dipercaya memimpin Dirut Garuda sejak 2005. Emirsyah sebelumnya menjabat sebagai Wakil Direktur Utama Bank Danamon. Ia juga pernah menjadi auditor di kantor akuntan Pricewaterhouse Coopers.
Di bawah komando Emirsyah, pada periode 2010 hingga 2012, Garuda sempat mencetak pertumbuhan laba bersih yang signifikan, dari $39 juta meningkat menjadi $64 juta, dan puncaknya pada 2012 menjadi $110 juta. Setelah itu, Garuda mulai mengalami penurunan kinerja, pada 2013 laba bersih perusahaan justru tergerus hingga 89 persen menjadi $11 juta. Alasan Emirsyah, laba bersih merosot tajam akibat pengaruh gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Di jelang tutup tahun 2014, atau beberapa bulan sebelum genap dua periode memimpin Garuda, Emirsyah mundur.
Saat ini, Garuda dipimpin oleh Pahala N. Mansury, yang juga seorang bankir. Pahala merupakan eks Direktur Keuangan Bank Mandiri. Sejauh ini, Garuda mampu membukukan laba bersih sebesar $61,9 juta sepanjang triwulan III-2017. Namun, secara keseluruhan, Garuda masih mencatatkan rugi bersih sekitar $222 juta atau sekitar Rp3 triliun sepanjang periode Januari-September 2017.
Baca juga: Turbulensi Keuangan Garuda yang Tak Kunjung Reda
Kerugian ini membengkak 404,53 persen, padahal pada periode sama tahun lalu kerugian perusahaan hanya $44 juta. Alasannya, kerugian muncul akibat adanya alokasi pengeluaran untuk amnesti pajak dan denda bisnis di Australia.
Kisah Djohan dan Emirsyah Satar di Garuda hanya contoh saja. Ada nama Ignasius Jonan yang pernah terbukti sukses memajukan PT KAI (Persero), yang kini menjadi Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Di tangan Jonan, KAI berhasil meningkatkan kinerja keuangan dan pelayanan.
Dalam waktu lima tahun, Jonan berhasil membawa banyak perubahan, nilai laba-rugi perusahaan dari yang sebelumnya minus menjadi surplus. Bahkan keuntungan pada 2014 bisa mendekati Rp1 triliun. Tren positif tersebut terus berlanjut hingga sekarang meski tanpa Jonan. Pada semester I-2017, KAI berhasil meraup laba bersih sebesar Rp750 miliar dari target Rp1 triliun sepanjang 2017.
Jonan sebelumnya pernah menjabat sebagai Direktur Citigroup dan Direktur Utama Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, BUMN yang bergerak di bidang investment banking, venture capital dan asset management.
Bankir lainnya yang saat ini masih dipercaya memimpin BUMN non bank adalah adalah Asmawi Syam, Sunarso, dan Budi Gunadi Sadikin.
Eks Bos Bank BRI, Asmawi Syam dipercayai Menteri BUMN Rini Soemarno untuk memimpin PT Askrindo (Persero) pada Juli 2017 lalu. Bankir organik Bank BRI ini pernah menduduki posisi Kepala Divisi Consumer Banking BRI. Di Askrindo, Asmawi ditugaskan untuk memperkuat peran perusahaan dalam hal kredit UMKM dan KUR.
Jebolan Bank BRI lainnya yang dipercaya memegang kendali BUMN lain antara lain Djarot Kusumayakti dan Sunarso. Djarot sebelumnya Direktur Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Bank BRI, Djarot dipercaya memimpin Perum Bulog sejak 2015. Sementara Sunarso, Direktur Utama Pegadaian yang baru dilantik bulan lalu ini merupakan eks Wakil Direktur Utama Bank BRI. Sebelum berkiprah di BRI, Sunarso pernah menjabat sebagai Direktur Commercial and Business Banking Bank Mandiri.
Nama lainnya ada Budi Gunadi Sadikin. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri yang kini didapuk menjadi Direktur Utama PT Inalum (Persero). Budi sudah disiapkan sejak awal 2017 oleh Rini Soemarno. Ia ditugasi untuk merampungkan holding BUMN Pertambangan. Mulai dari konsolidasi hingga penyerapan divestasi saham PT Freeport Indonesia.
Fakta para bankir yang dipercaya menakhodai BUMN non bank berbanding terbalik dengan tren di dunia internasional. Dimana para bankir hebat justru konsisten dan menggapai puncak sebagai orang nomor 1 di perusahaan finansial terkemuka. Gaji mereka pun dipatok dengan angka yang sangat fantastis. Pada 2016, Financial Times mengumumkan sejumlah nama top CEO dengan bayaran tertinggi di dunia perbankan.
Kebutuhan dan Kompetensi
Penempatan bankir dalam BUMN strategis non bank sudah seharusnya dilakukan sesuai kebutuhan dan tidak mengesampingkan fungsi BUMN sebagai agen pembangunan. Para bankir tersebut harus paham bahwa posisinya bukan hanya sekadar merapikan keuangan perusahaan dan mencari keuntungan. Dalam kaca mata yang lebih luas, mereka harus bisa menjalankan fungsi sosial BUMN, dalam bentuk penugasan pemerintah ataupun Corporate Social Responsibility (CSR).
“Banyak dari deretan para bankir tersebut yang sukses menjalankan itu. Contohnya Robby Djohan dan Ignasius Jonan. Jadi yang kita harapkan dari seorang bankir menjadi CEO non bank ya lengkap seperti itu. Punya value creation,” kata Managing Director Lembaga Manajemen FIB Universitas Indonesia, Toto Pranoto kepada Tirto.
Toto yang kerap dilibatkan dalam proses penilaian calon direksi BUMN memiliki beberapa catatan yang dianggapnya perlu dilengkapi oleh para orang berbakat tersebut. Pertama, mereka harus bisa lebih menguasai strategic thinking terhadap dinamika industri perusahaan. Kedua, yang tak kalah penting untuk diperkuat adalah management of change atau kemampuan akan perubahan. Ketiga, adalah kemampuan visionary leadership yang harus lebih dipertajam. Pada poin terakhir ini yang dirasa Toto kian hari semakin memudar.
Menyoal nama Budi Gunadi Sadikin di BUMN penghasil alumunium, PT Inalum, Toto menilai bahwa kebijakan tersebut diambil Kementerian BUMN sesuai dengan kebutuhan. Inalum yang tengah dipersiapkan menjadi holding BUMNtambang memiliki segudang pekerjaan rumah. Ada persiapan yang sedang digodok dalam rangka menyerap divestasi Freeport, menciptakan proses hilirisasi yang baik, hingga bagaimana menjalankan konsolidasi operasional.
Baca juga:Kinerja Bank BUMN, Laba Melaju Kredit Terseok
“Dalam jangka pendek Budi harus mempersiapkan apakah equity dari holding tambang sudah mampu menyerap divestasi. Kalau tidak cukup bisa atau tidak dia menggunakan leverages network-nya sebagai solusi. Saya lihat Pak Budi punya kapasitas itu,” ujarnya.
Aspek finansial tersebut hanyalah satu dari sekian banyak tugas yang harus bisa diselesaikan sebagai CEO Inalum. Setelah tujuan jangka pendek tersebut tercapai, Budi masih memiliki tujuan jangka panjang yang yaitu konsolidasi operasional antar anggota holding secara efisien.
“Sehingga empat perusahaan yang di-holding bukan sama dengan empat, tapi harus sama dengan tujuh atau bahkan 10. Harus ada value added yang signifikan. Nah bagaimana mencapainya? Itulah kemampuan yang harus dimiliki Budi, bukan hanya sisi finansial,” jelasnya.
Seorang bankir yang dipercaya memimpin BUMN non bank memang memiliki daya pikat tersendiri. Hadirnya seorang bankir di sebuah BUMN secara tak langsung menunjukkan permasalahan pada BUMN yang bersangkutan. Sebagai korporasi yang kompleks sebagai penyumbang dividen negara hingga bisnis perintis, BUMN membutuhkan seseorang yang punya keahlian di bidang keuangan.
Seorang bankir selain menguasai dunia pembiayaan dan keuangan, juga memiliki pengetahuan luas pada sektor riil dan jaringan luas, jadi potensi yang besar untuk menumbuhkan perusahaan. Namun, para bankir di pucuk tertinggi BUMN non bank saat ini perlu membuktikannya seperti mereka saat sukses berkiprah di perbankan.
Penulis: Dano Akbar M Daeng
Editor: Suhendra