tirto.id - Di Indonesia, Kindle mungkin tak sepopuler iPod. iPod (bersama iTunes) merupakan perangkat yang berhasil mengubah wajah bisnis musik. Melalui iPod, membeli dan mendengarkan musik memperoleh jalan terbaik dibandingkan cara-cara terdahulu.
Di sisi lain, sesungguhnya, Kindle (bersama Kindle Store) serupa dengan iPod dalam hal revolusi yang berhasil diciptakan. Produk bikinan Amazon itu, sukses merevolusi bagaimana buku dikonsumsi oleh masyarakat.
Melalui Kindle, membeli dan membaca buku memiliki jalan termudah. “Klik, Cari, Hepi,” sebuah slogan yang dimiliki salah satu e-commerce di Indonesia, tampaknya lebih tepat ditujukan pada Kindle.
Kindle, kali pertama dirilis oleh Amazon pada 19 November 2007. Waktu yang sesungguhnya cukup lama bagi Amazon. Padahal, Amazon yang memulai mengudara pada 16 Juli 1995, memulai karirnya dengan berjualan buku. Bahkan, dalam dua bulan pertama Amazon berdiri, ecommerce itu berhasil membukukan penjualan yang hampir mencapai $20 ribu per minggunya.
Cukup jelas, cara orang mengkonsumsi buku berbeda dengan cara orang mendengarkan musik. Amazon harus lebih bersabar melakukan perubahan di dunia buku dibandingkan Apple yang melakukan revolusi pada dunia musik.
Membaca buku fisik sangat berbeda dibandingkan membaca buku digital. Dikutip dari Scientific American, sebuah studi di Januari 2013 yang dilakukan oleh Anne Mangen dari University of Stavanger di Norwegia, mengungkapkan bahwa pelajar yang membaca bahan bacaan digital (dalam format pdf) di komputer, memiliki performa yang lebih buruk dibandingkan pelajar yang membaca bahan bacaan melalui buku fisik.
Lainnya, sebuah survey yang dilakukan pada 2011, mengungkapkan bahwa mahasiswa di National Taiwan University, memilih untuk mencetak bahan-bahan digital yang mereka cari melalui internet untuk dipahami lebih mendalam alih-alih membacanya langsung di komputer.
Secara sederhana, mengalihkan orang-orang membaca buku secara konvensional ke digital, jelas bukanlah pekerjaan mudah.
Tapi, beruntunglah Amazon. Sebuah teknologi bernama e-ink alias elektronik ink akhirnya hadir. E-ink merupakan teknologi layar yang menyerupai kertas. E-ink jelas berbeda dibandingkan teknologi layar lainnya semisal LCD ataupun OLED. Jika LCD, yang umum digunakan pada komputer, ponsel pintar, maupun tablet, menggunakan backlit dan blue light, layar e-ink tidak menggunakan keduanya.
Backlit (cahaya yang muncul dari balik layar) dan blue light (merupakan spektrum cahaya buatan yang bisa dilihat mata, penyebab warna-warni) merupakan dua elemen dari sebuah layar elektronik yang menjadi pelaku utama penyebab mengapa mata manusia kelelahan saat membaca atau menonton di layar perangkat elektronik.
Tentu, akibat ketiadaan backlit dan blue light, e-ink, meskipun lebih menyehatkan mata dibandingkan teknologi layar lainnya, pada akhirnya hanya memiliki warna hitam dan putih semata. Selain itu, e-ink, sebagaimana kertas pada umumnya, hanya bisa dibaca di ruangan terang. Layar e-ink tidak akan terlihat di ruangan gelap -- sangat berlainan dengan layar elektronik yang memanfaatkan LCD atau OLED.
Merujuk sejarahnya, e-ink mulai dikembangkan MIT Media Labs. Teknologi tersebut, kemudian dikomersialisasikan oleh E Ink Corporation yang baru dibentuk pada 1997 atau sekitar 2 tahun selepas Amazon mengudara. Salah satu produk pertama yang menggunakan e-ink sebagai layarnya adalah produk Motorola bernama Fone 3. Fone 3 dirilis pada 28 November 2006 -- atau hampir setahun sebelum Kindle lahir.
Selain e-ink, satu lagi keberuntungan Amazon sebelum akhirnya menghadirkan Kindle adalah format bernama Mobi atau Mobipocket yang baru lahir pada 2000. Format .mobi merupakan file format yang dikembangkan untuk menghadirkan pengalaman berbeda membaca sebuah buku digital.
Buku digital yang berekstensi .mobi, memiliki keleluasaan untuk diubah secara personal. Format tersebut dikembangkan oleh sebuah perusahaan asal Perancis bernama Mobipocket SA. Pada 2005, Amazon kemudian mengakuisi Mobipocket.
Salah satu keunggulan buku digital di dunia Kindle milik Amazon adalah navigasi membaca buku. Buku digital dari Kindle menggunakan navigasi ke kiri atau ke kanan, memudahkan pengguna untuk membaca tanpa terdistraksi proses scrolling yang umum ditemukan pada buku atau file digital lain yang dibaca menggunakan aplikasi pembaca digital. Buku digital berformat PDF misalnya, umumnya hanya menghadirkan navigasi ke-atas atau ke-bawah alias scrolling semata.
Anne Mangen dari University of Stavanger mengungkapkan bahwa navigasi tersebut, menyulitkan pelajar untuk membaca. Kala seseorang membaca buku berformat PDF dan telah sampai di halaman 50, misalnya, ia akan kesulitan jika hendak kembali ke halaman 38. User interface Kindle meminimalisir kesulitan-kesulitan tersebut. Mobi adalah pelaku di balik navigasi yang hebat tersebut.
Atas dua teknologi itu, Kindle memang sukses menghadirkan pengalaman berbeda membaca buku digital. Pengalaman membaca buku fisik, pada akhirnya bisa dihadirkan oleh Amazon melalui Kindle.
Versi awal perangkat tersebut, mengutip Gizmodo, habis dalam hitungan jam. Dan selama berbulan-bulan, stok perangkat tersebut selalu habis. Dan merujuk data dari Statista, pada 2011, Kindle menguasai pangsa pasar dengan 73,7 persen. Meningkat dibandingkan tahun 2010 dengan 62,8 persen pangsa pasar. Di seluruh dunia, perangkat pembaca buku digital terjual hingga 37,9 juta unit di tahun 2011. Setahun sebelumnya, perangkat pembaca buku digital hanya terjual 10,4 juta unit.
Trefis Team, sebuah firma analisis pasar, menulis di laman Forbes mengungkapkan bahwa penjualan Kindle pada 2013 diperkirakan meraih $3,9 miliar pendapatan bagi Amazon.
Tentu, angka-angka tersebut belum menambahkan nilai penjualan buku digital yang disediakan oleh Kindle Store. Trefis Team memperkirakan, perolehan pendapatan dari buku digital yang dijual melalui Kindle Store, mencapai $265 juta hingga $530 juta per tahunnya bagi Amazon. Angka tersebut jelas menggembirakan Amazon.
Meskipun kini Amazon telah memperbanyak unit usahanya, tak bisa dipungkiri bahwa jualan buku masih menjadi andalan. Setidaknya, terdapat 3 perusahaan yang berhubungan dengan buku yang dibeli Amazon, mulai dari Audible, sebuah ecommerse buku audio yang dibeli Amazon pada 2008 seharga $300 juta, AbeBook yaitu ecommerce penjualan buku bekas yang juga dibeli Amazon pada 2008, dan Book Deposit, ecommerce penjualan buku asal Inggris yang dibeli Amazon pada 2011.
Dan jelas, usaha Amazon berjualan buku digital, tak bisa dilonggarkan. Mengingat buku fisik mulai bergairah kembali, Amazon tentu harus terus menghadirkan strategi-strategi baru. Salah satu strategi yang harus dipertimbangkan Amazon meluaskan ekspansi dunia buku digital via Kindle adalah sesegera mungkin memberikan dukungan lebih luas ke seluruh negara di dunia.
Hingga hari ini, diketahui, Kindle, baik perangkat pembacanya maupun buku digitalnya, masih sulit dijangkau oleh orang-orang di luar Amerika Serikat seperti Indonesia. Tidak ada label rupiah di buku-buku digital maupun perangkat Kindle yang dijual oleh Amazon.
Hal ini jelas berbeda dibandingkan perusahaan-perusahaan di segmen lain. Spotify misalnya. Perusahaan itu sukses meluaskan jangkauan pasarnya dengan menghadirkan label rupiah serta memberikan cara pembayaran yang mudah sesuai kebiasaan orang Indonesia. Ada juga Netflix yang turut menghadirkan label rupiah yang memudahkan orang Indonesia berlangganan layanan film digital itu.
Amazon tentu membutuhkan strategi demikian untuk memperbesar pendapatan dari bisnis buku digital. Selain menguntungkan bagi perusahaan, aksi demikian tentu akan memuluskan jalan sang pendiri, Jeff Bezos, agar benar-benar menjadi orang terkaya dunia.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Zen RS