tirto.id - Polri mengimbau masyarakat penolak Undang-Undang Cipta Kerja agar menggunakan upaya hukum bila tak setuju dengan keputusan pemerintah, misalnya mengajukan judicial review. Sementara demonstrasi berpotensi penyebaran virus COVID-19.
"Imbauan agar penolakan Omnibus Law dibawa ke Mahkamah Konstitusi," ujar Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono dalam keterangan tertulis, Kamis (8/10/2020). Hingga saat ini ada 27 demonstran yang dinyatakan reaktif COVID-19.
Hal itu diketahui usai demonstran di Jakarta yang ditangkap langsung menjalani tes cepat. Berkaitan dengan unjuk rasa, Argo mengklaim kepolisian akan mengamankan semaksimal mungkin agar massa tak mudah terprovokasi isu apapun.
"Diharapkan warga yang demonstrasi tetap memperhatikan aturan hukum yang berlaku," imbuh Argo.
Selain imbauan tersebut, kepolisian masih menyebarkan narasi melawan pihak-pihak dan kegiatan yang menolak dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Melalui akun Facebook Divisi Humas Polri, misalnya, Korps Bhayangkara melakukan kontra narasi dengan menyatakan kalau demonstrasi bukanlah solusi lantaran bisa membuat ekonomi terpuruk, bahkan resesi.
“Stop unjuk rasa ya, guys! Karena jika kamu melakukannya, akan semakin memperburuk pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada profesi kalian sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi untuk menghidupi keluarga.”
Pernyataan itu diunggah pada 4 Oktober 2020, sekira pukul 01.25.
Polisi tak memberikan izin keramaian bagi para demonstran dengan dalih unjuk rasa bisa menjadi klaster baru COVID-19. Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti menuturkan kontra narasi yang dilakukan Polri adalah kesalahan karena mencoba meredam aspirasi publik dan ‘penyebaran’ itu dianggap keluar dari mandat kepolisian. Dia menegaskan, demonstrasi adalah hak warga negara yang dijamin dan dilindungi undang-undang.
Mestinya polisi melindungi dan mengayomi massa aksi dan bukan menyerang. "Seharusnya polisi berperan untuk mengamankan, bukan malah memprovokasi (dengan mengklaim) unjuk rasa suatu hal negatif. Padahal ini terkait aspirasi masyarakat luas yang didengarkan oleh pemerintah dan menjadi salah satu media masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya,” ucap Fatia, Rabu (7/10).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri