tirto.id - When we occupy the churches,
you are scandalised,
religious bigots!
You who threatened us with hell,
we have come to eat at your table,
at Saint Nizier.
Seruan itu menggema tanpa henti pada 2 Juni 1975, tepat pada hari ini 43 tahun silam, di pelataran Gereja Saint-Nizier, Lyon, Perancis. Si penyeru bukan aktivis, bukan pula politisi oposisi yang menuntut revolusi; melainkan para pekerja seks. Mereka datang berbondong-bondong dan membawa satu tuntutan: pemenuhan hak sebagai warga negara.
Aksi demo ratusan pekerja seks yang dimulai sejak pagi hari tersebut dipimpin seseorang bernama Ulla. Mereka menduduki gereja seminggu penuh demi menuntut aparat kepolisian Perancis menghentikan segala tindak represif terhadap pekerja seks.
Akar permasalahannya bermula pada 1972. Kala itu, publik Lyon digegerkan dengan skandal beberapa perwira polisi yang dituduh menerima suap dari pemilik rumah bordil untuk melindungi bisnis prostitusinya. Tak sebatas menerima suap, para polisi bahkan disinyalir juga turut serta jadi germo atau mucikari.
Di Perancis pasca-Perang Dunia II, pemerintah mengambil sikap tegas soal prostitusi. Salah satu langkahnya adalah meratifikasi Convention for the Suppression of the Traffic in persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (1960) yang menempatkan pihak-pihak serta pelbagai aktivitas dalam pusaran prostitusi sebagai kriminal. Imbasnya: transaksi gelap seperti yang dilakukan polisi Lyon pun marak terjadi.
Skandal 1972, menurut Lilian Mathieu dalam “An Unlikely Mobilization: The Occupation of Saint-Nizier Church by the Prostitutes of Lyon” (2001, PDF) yang terbit di Revue Française de Sociologie, berdampak besar bagi masing-masing pihak.
Skandal tersebut mencoreng citra polisi di mata masyarakat. Tuntutan perubahan pun menyeruak ke permukaan. Masyarakat mendesak kepolisian Lyon agar segera membersihkan birokrasi dan jajarannya dari praktik suap maupun korupsi.
Sementara bagi pekerja seks, skandal 1972 telah membuat mereka jadi sasaran empuk persekusi aparat kepolisian. Pasalnya, semenjak hotel tempat mereka bekerja ditutup sebagai efek skandal 1972, ruang gerak para pekerja seks menjadi terbatas. Dari yang semula beroperasi di ruang privat, dalam hal ini kamar hotel atau rumah bordil, berpindah ke ruang terbuka di jalan-jalan dan gang-gang sempit, sehingga aparat makin mudah menangkap mereka. Dalam aksi-aksi penangkapan itu, polisi seringkali menggunakan kekerasan.
Tak cuma jadi bulan-bulanan aparat, para pekerja seks juga didiskriminasi dalam pelayanan publik. Berpotensi kehilangan hak asuh anak, dibebani pajak yang tinggi, hingga ditempatkan pada posisi yang rentan masuk penjara dalam KUHP Pidana Perancis adalah beberapa contoh diskriminasi nyata yang mereka alami.
Antara Maret sampai Agustus 1974, tiga pekerja seks tewas dibunuh. Polisi yang mengusut kasus itu mengaku tak bisa menemukan pelaku. Kegagalan polisi menangkap pelaku membuat para pekerja seks murka dan menggalang aksi untuk turun ke jalan.
Membangun Aliansi Sipil
Pendudukan gereja pada 1975 bukanlah aksi demo pertama yang dilakukan para pekerja seks Lyon. Sebelumnya, pada 25 Agustus 1972, mereka juga pernah menempuh langkah serupa. Namun, demo yang diselenggarakan di Place des Jacobins itu terbilang gagal.
Indikator kegagalan dapat dilihat dari, pertama, jumlah massa yang berpartisipasi dalam demo tersebut sedikit, hanya 30 orang. Lalu, yang kedua, adalah respons masyarakat sekitar terhadap aksi mereka. Bukannya tergerak memberikan dukungan, masyarakat (dan media) malah mencemooh demo itu.
Masyarakat menganggap aksi mereka sebagai lelucon belaka. Para pekerja seks dinilai “tidak pantas” menyelenggarakan demo karena profesi mereka yang “kotor.” Kegagalan makin lengkap ketika polisi menangkapi dan menahan mereka selama beberapa jam sebelum akhirnya dibebaskan.
Momentum pekerja seks untuk mengorganisir diri, sebagaimana dituliskan Travail, Genre et Aociétés (2003), datang ketika mereka mendapat bantuan dari kelompok aktivis bernama Mouvement du Nid. Kelompok Mouvement du Nid sendiri memandang bahwa prostitusi setara dengan perbudakan dan sebab itu harus dihapuskan dari kehidupan masyarakat.
Alasan Mouvement du Nid ingin membantu para pekerja seks Lyon adalah agar mereka dapat disadarkan bahwa profesi pekerja seks telah membuat mereka terasing dari masyarakat. Harapannya, dengan kerjasama tersebut, Mouvement du Nid bisa mendorong pekerja seks meninggalkan pekerjaannya.
Kerja-kerja yang dilakukan Mouvement du Nid antara lain menyebarluaskan dokumen berjudul “Prostitusi-vérité” yang mengkritik represi aparat, mengadakan pertemuan dengan polisi pada 1974 (meski hasilnya nol), menyelenggarakan audiensi terbuka secara resmi untuk mengungkapkan gagasan bagaimana diskriminasi menimpa mereka, hingga mengajak pengacara bernama Boyer yang peduli pada isu-isu kelompok marjinal guna mendampingi perjuangan para pekerja seks untuk mendapatkan keadilan.
Selain Mouvement du Nid, pihak yang bergabung mendukung para pekerja seks Lyon adalah kelompok feminis. Kendati mendukung, ada perbedaan pandangan visi antara kelompok feminis dan pekerja seks Lyon, terutama soal seksualitas dan otonomi tubuh perempuan.
“Apa yang diinginkan oleh para perempuan Saint-Nizier tidak sama dengan apa yang kami inginkan. Kami tidak tahu apakah kami harus mendukung perjuangan pekerja seks begitu saja, atau apakah kami harus mengekspresikan posisi kami terhadap prostitusi, sekalipun itu bertentangan. Singkatnya, mereka ingin mempraktikkan pekerjaan mereka dalam kondisi yang baik dan yang kami inginkan adalah pemberantasan pekerjaan ini,” ungkap salah satu aktivis feminis seperti dikutip CLEF (Centre Lyonnais d’études Féministes) dalam Chroniqued’unepassion: le mouvement de libération des femmes à Lyon (1989).
Namun, perbedaan pandangan tidak menghentikan kelompok feminis Perancis untuk memberikan dukungan kepada pekerja seks Lyon. Pasalnya, apa yang diperjuangkan pekerja seks juga mencakup pokok-pokok perjuangan kaum feminis. Dari situlah mereka mulai setia menemani pekerja seks; baik selama pendudukan gereja (dibuktikan dengan kunjungan Simone de Beauvoir) maupun setelahnya. Bahkan, kehadiran kelompok feminis mampu mengurangi peran Mouvement du Nid yang sebelumnya cukup dominan.
“Saya berharap mereka sukses dan saya siap, dengan teman-teman lainnya dalam gerakan pembebasan perempuan, untuk mendukung gerakan ini,” ujar de Beauvoir.
Perlawanan para pekerja seks Lyon mencapai puncaknya pada 2 Juni 1975 manakala mereka memutuskan untuk menduduki gereja. Aksi itu didorong oleh kenyataan bahwa situasi tak benar-benar membaik; kriminalisasi dan penangkapan masih terus terjadi.
Gereja dipilih sebagai pusat aksi. Alasannya, dengan cara itu mereka dapat dengan mudah menarik perhatian (dan dukungan) dari masyarakat sipil, media, serikat buruh. Syukur-syukur bisa menyentil kuping pemerintah, mengingat posisi gereja yang begitu vital sebagai pusat aktivitas keagamaan. Dengan membawa isu diskriminasi ini ke tempat terbuka, pekerja seks ingin menekankan bahwa apa yang mereka alami bisa saja menimpa masyarakat lainnya di mana hak-hak warga negara tak 100% dipenuhi pemerintah.
Benar saja. Saat hari okupasi tiba, ratusan pekerja seks yang berbondong-bondong melangkahkan kakinya ke pelataran gereja berhasil jadi bahan pemberitaan, tak cuma di Lyon, tetapi juga seantero Perancis. Gerak-gerik saat menyanyikan lagu perjuangan, berorasi menyuarakan pentingnya keadilan, hingga merentangkan spanduk dan poster bertuliskan, “Anak-anak kami tidak ingin ibunya masuk penjara" tak luput dari jepretan juru warta.
Namun, aksi itu harus berakhir di hari kedelapan ketika pemerintah Jacques Chirac memerintahkan aparat untuk membubarkan demonstrasi. Sebagai kompensasinya, Chirac membentuk tim pencari fakta untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa pekerja seks. Komite itu dipimpin oleh hakim Guy Pinot.
Sempat muncul harapan akan terjadinya perbaikan untuk nasib para pekerja seks dengan inisiatif yang dicetuskan pemerintah Perancis. Namun, lagi-lagi, upaya pemerintah gagal mendatangkan hasil signifikan.
Kendati demikian, api perjuangan terus terjaga. Selain diperingati sebagai Hari Pekerja Seks Internasional tiap tahunnya, pendudukan gereja Saint-Nizier juga menginspirasi gerakan-gerakan serupa di tempat lain.
Pada 1985, lebih dari seratus pekerja seks bertemu di Amsterdam dalam rangka mengikuti gelaran World Whores Congresses. Pertemuan itu kemudian menghasilkan Piagam Dunia untuk Hak Pekerja Seks (World Charter for Sex Worker Rights) yang menekankan pentingnya dekriminalisasi terhadap prostitusi.
Memasuki milenium baru, upaya-upaya yang dilakukan pada era 1980-an masih dilanjutkan. Hak pekerja seks yang kerap diacuhkan menjadi prioritas kerja-kerja organisasi internasional, seperti Amnesty International yang pada 2015 memutuskan untuk mengadvokasi dekriminalisasi pekerjaan seks di seluruh dunia.
Semangat juang pekerja seks Lyon terus mengudara hingga sekarang. Tapi, masalah yang menimpa pekerja seks juga tak berarti lenyap. Mereka masih menghadapi kriminalisasi, kekerasan, diskriminasi, dan bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang berpotensi membahayakan hidup mereka.
Editor: Windu Jusuf