tirto.id - Pengawasan berlapis terhadap penyaluran dana desa tak berjalan efektif di Papua. Buktinya, meski telah diawasi Polri, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, toh duit ini tetap bisa dikorupsi.
Senin (12/11/2018) kemarin, Direktur Reskrimsus Polda Papua Kombes Polisi Edi Swasono mengatakan kerugian negara dari dana desa yang dikorupsi tahun 2016 mencapai Rp302 miliar. Dan itu cuma di Tolikara saja—satu dari 29 kabupaten/kota di Provinsi Papua.
"Memang benar dari hasil pemeriksaan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terungkap kerugian negara mencapai Rp302 miliar," kata Edi, mengutip Antara.
Berkas kasus ini telah dinyatakan lengkap alias P21. Polisi telah menetapkan dua tersangka: PW, bekas Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung Kabupaten Tolikara, dan VE dari swasta. Meski begitu kasusnya belum dilimpahkan ke kejaksaan karena kini barang bukti yang tersebar di Wamena dan Timika sedang dicek ulang.
Dengan asumsi penyelewengan benar terjadi, mengapa dana desa masih bisa dikorup meski telah diawasi berlapis?
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo tak punya jawaban pasti atas pertanyaan tersebut. Menurutnya selama ini pemerintah telah berupaya keras agar dana desa dipakai untuk mengatasi masalah sosial seperti kemiskinan dan kelaparan.
"Dana desa disalurkan melalui kabupaten ke setiap desa. Setiap kabupaten memiliki inspektorat kabupaten dan dinas pembangunan desa serta camat. Kami perkuat lagi melalui MoU dengan kejaksaan dan kepolisian," jelas Eko kepada reporter Tirto, Selasa (13/11/2018).
Meski demikian ia secara tidak langsung mengakui pengawasan belum berjalan maksimal. Menurutnya pengawasan paling efektif adalah dari masyarakat itu sendiri.
Politikus PKB ini mengatakan jika dana desa terbukti dikorupsi, ia akan mendorong aparat menyelesaikan kasus hingga tuntas.
"Kalau kesalahan administratif kami akan melakukan pendampingan. Tapi kalau korupsi, kami sudah tidak berikan toleransi lagi," tambah Eko, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud "tidak berikan toleransi lagi."
LSM yang bergerak di bidang HAM dan demokratisasi di Papua, Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP), menyebut selama ini pengawasan dana desa memang "minim". Direktur ALDP Latifah Anum Siregar mengatakan pengawasan ketat semakin sulit dilakukan karena wilayah yang diawasi sangat luas dan akses transportasi serta komunikasi relatif sulit.
"Selain soal perilaku juga soal struktural yang menyebabkan penyalahgunaan bisa terjadi. Biasanya, makin terpencil suatu tempat makin besar potensi korupsi," katanya kepada reporter Tirto.
Sekretaris Satgas Dana Desa Kemendes PDT Erif Hilmi juga tak punya jawaban pasti kenapa dana desa di Tolikara bisa disalahgunakan. Kepada reporter Tirto, ia hanya mengatakan kalau "secara umum, penyebab penyalahgunaan dana desa maupun anggaran lain adalah soal kompetensi dan integritas pengelola."
Moratorium Saja
Sejauh ini korupsi adalah salah satu masalah utama pengelolaan dana desa. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat dalam enam bulan pertama 2018 saja sudah ada 27 kasus yang sudah naik ke tahap penyidikan. Sementara sepanjang tahun lalu, jumlahnya mencapai 98 kasus.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan dengan banyaknya penyalahgunaan tersebut, sebaiknya penyaluran dana desa dihentikan sementara di wilayah-wilayah tertentu.
"Perlu juga moratorium untuk wilayah tertentu yang medannya berat seperti Papua," kata dia kepada reporter Tirto.
Ia juga menyebut perlu ada sistem yang lebih ketat untuk mencairkan dana desa. Misalnya, dengan membuat sistem verifikasi dengan persetujuan dari Satgas Dana Desa—yang dikepalai bekas pimpinan KPK Bibit Samad Rianto.
"Kalau perlu bikin sistem verifikasi setiap pencairan dana desa dengan cara setiap pengajuan harus ada persetujuan dari Satgas," saran Boyamin.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino