tirto.id - “Hari ini, FOMC (Federal Open Market Committee) mengumumkan pengurangan 0,5 basis poin dalam kisaran target untuk suku bunga dana federal, sehingga kisaran menjadi 1-1,25 persen,” tutur Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve (The Fed) Amerika Serikat mengawali pidatonya pada awal Maret ini.
“Penyebaran Virus Corona telah membawa tantangan dan risiko baru. Wabah ini juga mengganggu aktivitas ekonomi di banyak negara dan telah mendorong pergerakan signifikan di pasar keuangan,” imbuhnya.
Penurunan suku bunga acuan oleh The Fed ini merupakan penurunan pertama kali di luar jadwal reguler The Fed sejak 2008, ketika ekonomi dunia dihantam krisis finansial. “Kami akan terus memonitor perkembangan dan implikasinya terhadap prospek ekonomi dan kami akan menggunakan alat kami dan bertindak sebagaimana mestinya untuk mendukung ekonomi,” pungkas Powell.
Pemotongan ini juga merupakan level darurat pertama yang tidak terjadwal dan merupakan penurunan suku bunga satu kali terbesar sejak krisis keuangan tahun 2008. Pelonggaran kebijakan moneter berupa pemotongan suku bunga acuan oleh The Fed diperkirakan masih akan berlanjut.
Analis Oxford Economics Gregory Daco menyebut jika para pejabat The Fed menganggap bahwa kemungkinan resesi yang akan datang meningkat, maka bank sentral AS akan agresif memangkas bunga, dilaporkan New York Times mengutip Reuters. “Pertanyaannya sekarang menjadi apakah, berapa banyak, dan kapan The Fed akan memberikan pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut,” ungkap Daco.
COVID-19 vs. Sektor Perbankan
JP Morgan dalam kajiannya mengungkapkan, perbankan di AS akan mengalami tekanan dari sisi kredit. Selain itu, margin bunga bersih atau net interest margin (NIM) perbankan di AS dalam jangka panjang juga terancam tertekan. Bahkan lembaga konsultan itu meramal, “Jika bank sentral AS The Fed kembali menurunkan suku bunga acuan, maka NIM bank-bank di AS bisa negatif.”
Hal ini diperkuat oleh kajian Fitch Ratings yang memprediksi bahwa tingkat suku bunga jangka panjang yang lebih rendah dan potensi penurunan suku bunga federal darurat sebagai tanggapan terhadap meningkatnya kekhawatiran perlambatan ekonomi akibat COVID-19 dapat menantang profitabilitas bank-bank AS di tahun 2020 dan seterusnya.
Lembaga pemeringkat kredit tersebut menuliskan, gangguan parah yang berkepanjangan dapat berdampak negatif terhadap pendapatan bank, tingkat modal, hingga akhirnya peringkat bank.
“Kami berharap bahwa bank akan berusaha lebih cepat dalam merespons penurunan suku bunga simpanan dan biaya pendanaan lainnya. Tindakan ini kemungkinan menghasilkan margin yang lebih rendah dan mengurangi keseluruhan profitabilitas, setidaknya dalam waktu dekat,” tulis Fitch.
Mitigasi kecil terhadap profitabilitas bisa datang dalam bentuk aktivitas refinance hipotek perumahan yang lebih tinggi. Dengan suku bunga treasury jangka panjang yang jatuh ke posisi terendah, volume pembiayaan kembali hipotek pada kuartal pertama tahun ini harus jauh lebih tinggi daripada tahun-tahun sebelumnya.
“Kami melihat umumnya likuiditas perbankan AS sangat memadai untuk menahan dampak buruk COVID-19 dalam waktu dekat. Tapi dalam jangka menengah, peringkat dapat memengaruhi bank-bank tertentu terkait tren penyaluran kredit,” tulis Fitch.
Hal yang sama diperkirakan juga melanda bank-bank di negara kawasan Asia Tenggara. JP Morgan menyebut, pertumbuhan kredit, penurunan pendapatan bunga dan non bunga bank-bank di kawasan Asia Tenggara diperkirakan juga mengalami perlambatan. Rasio dana murah di Asia Tenggara berada di kisaran 48 persen, dan berakibat pada tekanan terhadap NIM seiring pemangkasan suku bunga acuan.
“Bank-bank di Singapura, Malaysia dan Thailand diperkirakan paling terdampak kebijakan bank sentral untuk menurunkan suku bunga,” tulis JP Morgan.
COVID-19 menghantam sektor perbankan ASEAN melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah, yang mengakibatkan perlambatan pertumbuhan kredit dan berujung pada menurunnya profitabiltias industri perbankan. Fitch Ratings menilai, bank-bank di Thailand dan Singapura yang bergantung pada pariwisata, kemungkinan paling terpengaruh COVID-19.
“Ketergantungan Thailand pada pariwisata berimbas pada sektor UKM yang menyumbang 33 persen portofolio kredit perbankan,” sebut Fitch.
Perbankan Singapura, sementara itu, langsung terdampak oleh Cina lantaran 24 persen kredit mereka mengalir ke berbagai perusahaan asal Cina. Dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi Cina menjadi 5,2 persen-5,7 persen, maka prospek bank-bank Singapura menjadi negatif. Sebagai catatan, Cina menjadi negara awal COVID-19 merebak.
“Potensi melemahnya kualitas aset dan profitabilitas terjadi di bank-bank Singapura. Jika wabah terjadi berkepanjangan, pada gilirannya dapat memengaruhi viability ratings (VRs) bank,” tulis Fitch.
Meski demikian, capital buffer yang dimiliki bank-bank di dua negara tersebut, menurut Fitch, akan cukup untuk menahan tekanan yang terjadi, dengan catatan: dampaknya tergantung pada sebaran virus serta lamanya COVID-19 menggerogoti kedua negara itu.
Hal yang sama juga melanda perbankan di Vietnam. Berkurangnya pemasukan dari sektor pariwisata, terganggunya rantai pasok manufaktur serta melemahnya permintaan ekspor, cenderung memberi tekanan pada keuntungan perusahaan yang pada akhirnya dapat membebani kualitas aset perbankan.
Meskipun, sektor-sektor terkait pariwisata hanya sebagian kecil dari portofolio kredit yang disalurkan perbankan Vietnam, industri perbankan Vietnam cenderung menghadapi perlambatan pertumbuhan kredit dan laba.
Selain itu, modal terbatas yang dimiliki bank-bank Vietnam tidak dapat membantu merangsang pertumbuhan kredit dalam masa pemulihan dari serbuan COVID-19. Perlambatan pertumbuhan ekonomi juga akan menguji kualitas pinjaman perbankan.
"Prospek peringkat untuk bank-bank di Vietnam masih positif. Tapi, itu bisa berubah dipengaruhi lamanya masa penanganan COVID-19 di negara tersebut,” sebut Fitch.
Sementara itu, standar penjaminan kredit perbankan serta kuatnya modal perbankan Malaysia, diprediksi dapat membantu menahan dampak COVID-19 pada industri perbankan Malaysia. Tapi, mengingat Cina merupakan pasar ekspor terbesar Malaysia, maka perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina yang tajam dapat mengikis pendapatan perusahaan dan menurunkan peringkat kredit perbankan.
Perbankan Indonesia pun tidak luput dari terkoreksinya laba dan NIM. Hal ini karena profitabilitas perbankan Indonesia dipengaruhi rendahnya pendapatan bunga dan non-bunga dan biaya provisi yang tinggi. "Tetapi banyak bank di Indonesia yang memiliki pendapatan yang memuaskan serta buffer modal yang besar,” tulis Fitch. Sebagai catatan, rata-rata return on asset (ROA) bank-bank di Indonesia sekitar 2 persen dan rasio tier 1 rata-rata 21,9 persen pada akhir 2019.
Menurut Fitch, perbankan Filipina dan Australia bisa bertahan dari dampak COVID-19. Sebab, ekonomi Filipina relatif memiliki lebih sedikit keterkaitan dengan Cina. Selain itu, kredit perbankan di Filipina untuk sektor perhotelan juga kurang dari 2 persen dari portofolio. “Ekonomi domestik Filipina berada di posisi yang kuat. Selain itu, kapitalisasi perbankan di Filipina juga memadai,” sebut Fitch.
Pendapatan bank-bank di Australia juga relatif tahan terhadap dampak dari COVID-19. Sebab, sekitar 65 persen penyaluran kredit bank besar Australia disalurkan di sektor perumahan. Dampak COVID-19 lebih terasa pada kredit UKM yang sebesar 15 persen dari portofolio perbankan.
Laporan Fitch menyebut, tunggakan hipotek di Australia turun 1 basis poin menjadi 1,06 persen pada kuartal IV-2019 dibanding kuartal sebelumnya. Tunggakan hipotek rumah saat ini berada di bawah 1,2 persen selama 2,5 tahun terakhir.
Harga rumah nasional juga pulih dengan kenaikan 4,7 persen lebih dari tiga bulan di delapan kota besar di Australia. Hal itu membuat kerugian dari penjualan kredit properti berada di tingkat yang rendah, terlebih dengan adanya asuransi kredit perumahan.
“Kebakaran hutan dan wabah virus corona COVID-19 di Cina dan negara lain hanya berdampak minim terhadap portofolio kredit perumahan perbankan Australia,” tulis Fitch.
Di sisi lain, pendapatan sektor pariwisata Australia yang turun setelah terjadinya travel warning, tidak memengaruhi kredit perbankan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan