Menuju konten utama

Ketika Barat Menyetir Media untuk Menggembosi Sukarno dan PKI

Media-media bentukan AS, Inggris, dan Jerman Barat membuat keruh situasi sosial politik Indonesia sebelum dan sesudah G30S.

Ketika Barat Menyetir Media untuk Menggembosi Sukarno dan PKI
Pria dan wanita memegang alat kerja palu dan arit. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Tak lama setelah merdeka, dimotori oleh Presiden Sukarno, sebagaimana dipaparkan Andre Vltchek dalam New Capital of Indonesia: Abandoning Destitute Jakarta, Moving to Plundered Borneo (2020), "Indonesia merangkak menjadi pemimpin dunia. Masih miskin, memang, tetapi dipenuhi dengan rasa optimisme dan harapan yang tinggi."

Keadaan ini terjadi karena Indonesia menolak uluran imperialis dan mengelola sumber daya miliknya seorang diri "dengan tegas dan tanpa kompromi."

Penolakan terhadap uluran imperialis dilakukan Indonesia--bersama dengan India, Yugoslavia, Mesir, dan Ghana--dengan membentuk Gerakan Non-Blok (Non-Aligned Movement atau NAM) pada 1961 untuk menolak polarisasi akibat Perang Dingin, yakni antara negara-negara komunis pro-Uni Soviet (Pakta Warsawa) dan negara-negara kapitalis pro-Amerika Serikat (NATO).

Indonesia juga menganggap pembentukan Federasi Malaysia tahun 1963 hanyalah permainan Inggris sebagai imperialis. Hingga kemudian melakukan perlawanan dengan membentuk gerakan "Gayang Malaysia" untuk menghentikan langkah Inggris berkuasa kembali di kawasan Asia.

Namun, sikap yang terlihat netral dan anti kekuatan besar di awal-awal kemerdekaannya itu perlahan menghilang. Tak lama usai genderang "Gayang Malaysia" ditabuh, sebagaimana dipaparkan Leo Suryadinata dalam studinya berjudul "Indonesia-China Relations: A Recent Breakthrough" (Journal of Asian Survey 1990) dan Ragna Boden dalam "The 'Gestapu' Events of 1965 in Indonesia: New Evidence from Russian and German Archives" (Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia 2008), Indonesia perlahan mendekat pada kekuatan komunis dunia, yakni Uni Soviet dan Cina.

Ini terjadi karena usaha Sukarno bersikap netral melalui pembentukan NAM atau GNB tak diterima dengan baik oleh Barat, khususnya AS. Mendekat kepada Soviet, Indonesia menerima bantuan dana senilai $100 juta (hampir setara $1 miliar saat ini), atau yang terbesar yang pernah diberikan Soviet pada negara non-komunis. Selain itu, ada pula bantuan persenjataan dan teknis dalam pelbagai proyek di Indonesia.

Bersama dengan Cina, selain memperoleh bantuan keuangan, Indonesia membentuk Conference of New Emerging Forces (CONEFO) sebagai PBB-nya negara-negara miskin--akibat ulah imperialis.

Kedekatan Indonesia dengan Moskow dan Beijing, di luar segala bantuan yang diterima, menghasilkan efek negatif di dalam maupun luar negeri. Di tanah air, kedekatan Indonesia dengan Soviet-Cina yang dibarengi dengan bersinarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) memperoleh resistensi dari banyak petinggi negeri, khususnya kalangan militer. Terlebih, karena Jenderal Abdul Haris Nasution lantang menyeruakan anti-komunis setelah Peristiwa Madiun 1948.

Sukarno kemudian mencopot jabatan Nasution sebagai Panglima TNI dan digantikan oleh Jenderal Ahmad Yani. Hal ini menciptakan polarisasi di tubuh militer, antara pro-Nasution (anti komunis) dengan pro-Yani (pendukung Sukarno).

Di luar negeri, pandangan Sukarno yang semakin kiri membuat AS khawatir Indonesia bertransformasi menjadi negara komunis seperti Vietnam yang mengancam ideologi mereka, juga kelangsungan hidup Standar-Vacuum, Texas Oil, dan Royal Dutch Shell di Indonesia. Maka, dimotori oleh Guy Pauker, konsultan serta pengkaji politik Asia Tenggara untuk Central Intelligence Agency (CIA) yang ditanam di RAND Corporation--lembaga riset yang dibentuk Douglas Aircraft Company--AS semakin serius berusaha menyingkirkan Sukarno dari kursi kekuasaan dan ideologi komunis dari Indonesia.

Sebelumnya, yakni pada tahun 1957-1958, AS juga melakukan percobaan menyingkirkan Sukarno lewat tangan PRRI-Permesta, Masjumi, PSI, serta militer. Sebagaimana dipaparkan Peter Dale Scott dalam studinya berjudul "The United States and the Overthrow of Sukarno, 1965-1967" (Pasific Affairs Vol. 58 1985), AS mengucurkan dana untuk kebutuhan militer melalui tangan Jenderal Suwarto dan Nasution.

Salah satu bantuan tersebut dimanfaatkan oleh keduanya untuk membentuk Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD) dengan memprioritaskan doktrin "Perang Teritorial" untuk melawan komunis. SESKOAD juga dijadikan kawah candradimuka untuk mendidik petinggi-petinggi militer tentang ilmu ekonomi dan administrasi ala AS, yang dilangsungkan secara diam-diam tak terdeteksi Sukarno alias "para-state".

Namun, usaha-usaha itu gagal total.

AS kemudian mencoba siasat lain. Mereka menghentikan kucuran dana bantuan untuk Indonesia, tetapi tanpa sepengetahuan Sukarno memperbesar aliran dana bantuan dan persenjataan kepada militer yang pro-Nasution. Ini membuat polarisasi antara pro-Nasution dengan pro-Yani kian meruncing. Bagi AS, militer adalah satu-satunya kekuatan di Indonesia yang dapat menghentikan komunisme dan Sukarno. Apalagi telah banyak prajurit Indonesia yang diberi pelatihan oleh Paman Sam.

Di sisi lain, melalui tangan 303 Committe of the National Security Council yang dibentuk CIA, AS juga memulai propaganda anti-komunis di Indonesia melalui "aset media yang dimiliki". Mereka mengendalikan media-media yang dapat disetir Paman Sam untuk menciptakan gagasan bahwa "PKI memiliki ambisi besar, yang berseberangan dengan Sukarno untuk menguasai Indonesia."

Tak hanya AS yang khawatir Indonesia menjadi negara komunis. Merasa kampanye "Gayang Malaysia" berlebihan, Inggris pun berusaha menyingkirkan Sukarno dan komunis dari Indonesia. Sebagaimana dilaporkan Paul Lashmar, pengajar Sussex University sekaligus jurnalis investigasi, untuk The Guardian, usaha Inggris menghapus komunisme dari Indonesia dilakukan melalui tangan Ed Wynne, pejabat Kantor Luar Negeri Inggris sekaligus agen khusus Information Research Department (IRD)--cabang MI6, yang dikirim ke Singapura.

Di Singapura, Ed Wynne bertugas melakukan aksi propaganda melalui media untuk mengerdilkan komunis (PKI) dengan modal 100 ribu pounsterling (setara Rp 46 miliar saat ini). Jumlah yang disebut Wynne "lebih dari cukup untuk menyingkirkan Sukarno."

Infografik Kedekatan Indonesia dengan Komunis

Infografik Kedekatan Indonesia dengan Komunis. tirto.id/Sabit

Diawali dengan pembentukan Southeast Asia Monitoring Unit (Seamu), Inggris menyebarkan propaganda anti-komunisme di Indonesia dengan memanfaatkan media ciptaan mereka: Kenjataan2. Media ini dicetak dalam bahasa Indonesia untuk menciptakan kesan berasal dari tanah air, tetapi sesungguhnya ditulis oleh para ghostwriter di wilayah-wilayah yang kala itu masih dikuasai Inggris. Dalam berbagai terbitan, seperti juga dilakukan, AS Kenjataan2 menulis bahwa PKI ingin mengambil alih Indonesia, merusak tanah air, dan membawa negeri ke arah kehancuran.

Propaganda anti-komunis yang dilakukan AS dan Inggris di Indonesia akhirnya kian menggurita setelah kehadiran Jerman Barat. Diliputi kekhawatiran serupa, Jerman Barat melakukan propaganda media melalui tangan West German Federal Intelligence Service (BND) untuk mengerdilkan PKI.

Meski demikian, sebagaimana dituturkan David Easter dalam studinya berjudul "Keep the Indonesian Pot Boiling: Western Covert Intervention in Indonesia, October 1965-March 1966" (Journal of Cold War History Vol. 5 2005), propaganda-propadanda media yang dilakukan AS, Inggris, dan Jerman Barat tersebut, sebelum Oktober 1965 tak terlalu menghasilkan efek berarti bagi kondisi sosial politik Indonesia. Sukarno, meskipun digempur kubu militer yang berseberangan dengannya, adem-adem saja di kursi kekuasaan.

Baru setelah G30S, propaganda-propaganda yang dilakukan CIA, MI6, serta BND bertransformasi menjadi mesin pengeruh. Mereka membuat situasi sosial politik Indonesia memanas, dan membenarkan pembantaian yang dilakukan militer terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI.

Melalui propaganda anti-komunisme yang dilakukan AS, Inggris, dan Jerman Barat, tragedi kemanusiaan terbesar di dunia setelah Holocaust terjadi. Tragedi yang tak terlihat oleh dunia internasional karena media-media Barat--yang hari ini dianggap sangat kredibel--tunduk kepada kekuatan Paman Sam ketika Gestapu terjadi.

Baca juga artikel terkait G30S atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Politik
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Irfan Teguh