tirto.id - Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Sukarno membubarkan Konstituante karena dianggap gagal melahirkan Undang-Undang Dasar baru sehingga Undang-Undang Dasar yang lama kembali diberlakukan.
Kabinet anyar segera dibentuk bernama Kabinet Kerja dengan Sukarno sebagai Perdana Menteri. Lembaga-lembaga penopang Demokrasi Terpimpin menyusul diumumkan, seperti Dewan Pertimbangan Agung dan Dewan Perancang Nasional.
Pada 17 Agustus 1959, Sukarno menguraikan makna Demokrasi Terpimpin bernama Manipol (Manifesto Politik). Manipol menyerukan agar semangat revolusi harus kembali dibangkitkan, juga keadilan sosial, serta pelengkapan lembaga dan organisasi negara demi revolusi yang berkesinambungan.
Kaidah ini menjadi semakin kompleks ketika ditambahkannya kata USDEK yang berarti Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.
Demokrasi Terpimpin dengan Manipol-USDEK menjadi dasar baru bagi negara menggantikan sistem demokrasi sebelumnya yang dianggap Sukarno tidak cocok dengan masyarakat Indonesia.
Partai-partai politik mengalami kristalisasi saat Sukarno memberi penekanan pada persatuan antara nasionalisme, agama, dan komunisme yang selanjutnya dikenal sebagai doktrin Nasakom.
Meski partai-partai masih tetap ada, menurut sejarawan M.C Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005), "Tetapi hanya PKI-lah yang menunjukkan vitalitas besar. Pengaruh para pemimpin politik semakin tidak diperoleh melalui lembaga-lembaga resmi atau struktur kepartaian, melainkan melalui kedekatan kepada Sukarno atau pihak tentara."
Pada iklim Demokrasi Terpimpin inilah organisasi persatuan guru terbesar di Indonesia, PGRI, terpecah menjadi dua. Upaya netral dari kekuatan politik (nasionalis, agama, komunis, dan kelompok militer) faktanya tidak bisa mereka lakukan. Semboyan Politik Sebagai Panglima menyeret PGRI untuk menentukan posisi politiknya.
Terbelah
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terbentuk sejak awal kemerdekaan, tepatnya pada saat Kongres Guru Indonesia di Surakarta 23-25 November 1945. Prototipenya sudah ada saat zaman kolonial tahun 1912.
Dalam sejarah resmi yang termuat di situs Pengurus Besar PGRI Sejarah Singkat Persatuan Guru Republik Indonesia (2020), tertulis bahwa PGRI sejak awal berdiri bersifat unitaristik, independen, dan non-partisan.
Keanggotaannya ditentukan tanpa memandang SARA, ijazah pendidikan, jenis kelamin, dan sebagainya. Berdirinya PGRI sebagai wadah pemersatu guru di tengah gejolak revolusi nasional untuk berkontribusi bagi perjuangan kemerdekaan.
Konflik hebat internal PGRI baru terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin. Perpecahan berlangsung setahun sebelum prahara politik 1965 saat Sukarno, pendukungnya, dan kelompok kiri disingkirkan dari panggung politik Indonesia.
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto mencatat perpecahan ini dalam buku Sejarah Nasional Indonesia VI (2010). Menurut mereka, konflik internal PGRI diakibatkan oleh infiltrasi yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI).
"PGRI adalah satu-satunya organisasi guru yang anggota-anggotanya tersebar luas dan sangat intensif sampai ke desa-desa. Anggota PGRI di tempat kediamannya menduduki posisi sosial politik yang cukup berpengaruh. Itulah sebabnya dari mulai awal didirikan, PGRI menjadi inceran PKI untuk diinfiltrasi," tulisnya.
Perseteruan internal yang hebat berujung pecahnya PGRI pada 7 Juni 1964 dengan berdirinya organisasi PGRI non Vaksentral. Sebagaimana tertulis dalam narasi sejarah resmi Pemerintah Orde Baru, PGRI non Vaksentral diinterpretasikan sebagai usaha PKI untuk menguasai PGRI.
"Dengan berbagai alasan, beberapa orang anggota pengurus PGRI menolak kebijakan ketuanya. Oleh karena itu, mereka mendirikan organisasi tandingan, yang diberi nama PGRI non Vaksentral yang diketuai oleh Subandri”, tulis Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2010).
Sementara surat kabar sezaman memberitakan bahwa perpecahan di tubuh PGRI adalah akibat dari pelanggaran putusan kongres secara prinsipil oleh ME Subiadinata selaku ketua.
Subiadinata secara sepihak memasukkan PGRI menjadi anggota Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) melalui Persatuan Serikat-Serikat Sekerja Pegawai Negeri (PSPN).
Bergabungnya PGRI ke SOKSI yang disponsori Angkatan Darat tentu akan membuat PGRI condong pada satu kekuatan politik tertentu dan menghilangkan sifat organisasi yang telah disepakati dalam kongres, yakni non-partisan.
Protes lain hingga menimbulkan perpecahan dalam tubuh PGRI adalah tindakan Subiadinata yang membubarkan Panitia Aksi Perbaikan Nasib Guru-Guru PGRI. Padahal panitia aksi ini telah membawa dampak signifikan bagi perbaikan kehidupan guru.
Tindakan sepihak Subiadinata selaku Ketua PGRI inilah yang melahirkan pembentukan PGRI non Vaksentral, yang berarti tidak atau bukan afiliasi kekuatan politik tertentu khususnya SOKSI. PGRI non Vaksentral didukung luas oleh anggota. Subandri dan Muljono diberi mandat sebagai Ketua Umum dan Panitera Umum.
"PGRI non Vaksentral tidak mengakui lagi PB PGRI pimpinan ME Subiadinata, adalah demi kekompakan massa PGRI… Dukungan dari sebagian terbesar anggota2 jang tersebar luas serta meliputi daerah2 antara lain Djawa Timur, Djawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, Sumatra Barat, Djakarta Raja," tulis surat kabar Harian Rakjat edisi 8-9 Juni1964.
Rekonsiliasi
Dualisme PGRI terdengar oleh Sukarno. Ia menyatakan keprihatinannya dan mendorong diadakan rekonsiliasi antara PGRI SOKSI dan PGRI non Vaksentral.
Revolusi yang didengungkan Sukarno di bawah Demokrasi Terpimpin harus tetap jalan dan didukung semua kalangan, termasuk guru. Jika di antara golongan guru terjadi konflik, tentu akan menghambat jalannya revolusi.
"[Indonesia] kekurangan tenaga terampil yang terdidik, sedangkan pembangunan (Demokrasi Terpimpin) memerlukan tenaga ahli. Salah satunya tugas untuk melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat", tulis Marwati dan Nugroho dalam Sejarah Nasional Indonesia VI (2010).
PGRI non Vaksentral sejak awal pembentukannya berkomitmen untuk menjaga kekompakan anggota dan mendukung program pendidikan pemerintah bagi penyelesaian revolusi. Mereka juga kerap terlibat kerja sama dengan organisasi lain yang berkaitan dengan program pendidikan.
Misalnya dalam program pemberantasan buta huruf yang diadakan organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI), PGRI non Vaksentral turut terlibat sebagai pengajar.
Meski aktif mendukung program pemerintah di bidang pendidikan, Sukarno tetap mendorong penyelesaian konflik PGRI. PGRI non Vaksentral menyatakan bersedia melakukan rekonsiliasi, dengan syarat kubu PGRI Subiadinata terlebih dulu harus keluar dari SOKSI.
Syarat tersebut ternyata tidak disepakati oleh Subiadinata. Konflik berlanjut dan semakin meruncing. Sukarno kemudian mengutus Sujono Hadinoto sebagai mediator.
Rekonsiliasi diadakan di kantor pusat PNI. Selain Sujono Hadinoto, hadir pula mediator lain seperti Surachman (Sekjen PNI), Prof. Sudiarto, dan Siswoyo.
Dalam buku memoar Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri (2015) tercatat, "Berkat bantuan banyak pihak, konflik PGRI akhirnya dapat diselesaikan dengan pengorbanan. Kubu PGRI SOKSI harus melepas Subiadinata, sementara kubu PGRI non Vaksentral harus merelakan Subandri dari kepengurusan. Selanjutnya diadakan pertemuan rekonsiliasi kedua kubu di kediaman pribadi Prof. Sujono Hadinoto di Jalan Cimahi No. 5 Menteng, Jakarta."
Namun ternyata sampai meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965, PGRI masih dalam konflik dualisme. PGRI non Vaksentral dituduh terlibat peristiwa berdarah itu akibat kedekatannya dengan organisasi-organisasi kiri yang dianggap dalang pembunuhan para jenderal.
Nasibnya pun sama seperti organisasi kiri lain: diburu, dibunuh, organisasinya dinyatakan terlarang, serta disebut sebagai underbouw PKI.
"Tentara membunuh banyak sekali guru dari PGRI non Vaksentral hingga sekolah-sekolah kemudian kekurangan guru selama bertahun-tahun," tulis Ruth T. McVey dalam Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (2016)