Menuju konten utama
Mozaik

Hidup Mati CGMI, Anti-Pelonco Kampus yang Terkubur Bersama PKI

Lahir sebagai organisasi mahasiswa anti-pelonco, CGMI mati sebagai pendukung Sukarno dan terseret badai politik G30S.

Hidup Mati CGMI, Anti-Pelonco Kampus yang Terkubur Bersama PKI
Header Mozaik CGMI. tirto.id/Mojo

tirto.id - Hari itu, Hardojo, Ketua Umum CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), terlihat risau. Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sedang dibumikan oleh Sukarno. Setiap organisasi harus merepresentasikan salah satu unsur tersebut. Ia bingung, bagaimana CGMI harus berwajah dalam politik Demokrasi Terpimpin.

Dalam tesis What Makes an Activist? Three Indonesian Life Histories (2006) disebutkan, kepentingan CGMI tidak akan terakomodasi dalam serikat mahasiswa nasional apabila tidak melabeli diri sebagai "Kom". Posisi tersebut tentu tidak akan menguntungkan CGMI.

Dalam kebimbangan, Hardojo bertemu dengan D.N. Aidit, pemimpin PKI (Partai Komunis Indonesia).

"Bisakah kami (CGMI) mendeklarasikan diri kami sebagai Kom?" Hardojo memulai percakapan.

"Dari mana kok mengaku-ngaku Kom? Ya, nggak bisa, wong kamu Kom-nya siapa?" jawab Aidit.

Ia tahu anggota PKI yang masuk ke dalam CGMI hanya sekitar dua persen dari total seluruh anggota.

Salah satu pengurus CGMI di samping Hardojo lantas menjelaskan kepada Aidit.

"Begini, Bung Aidit. Menurut Bung Karno, setiap orang harus diajarkan Marxisme. Nah, kami ingin PKI melakukannya untuk mengajari kami Marxisme."

Berbagai pertimbangan alot terjadi dalam periode itu. Akhirnya berujung pada tahun 1964 ketika CGMI mendapat restu dari Aidit untuk memproklamasikan diri sebagai "organisasi mahasiswa komunis dan progresif nonkomunis".

Didirikan Karena Anti-Pelonco

Pada 1954, setiap mahasiswa baru melalui dan mengalami tahap pelonco pada masa orientasi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun sejumlah pelajar yang telah merasakan era revolusi tidak ingin dipelonco. Sikap mereka kian menguat hingga mendirikan grup anti-pelonco di beberapa daerah.

Di Yogyakarta, berdiri Consentratie Mahasiswa Jogya (CMJ). Lalu ada Consentratie Mahasiswa Bandung (CMB). Terakhir, berdiri pula Consentratie Mahasiswa Indonesia Bogor (CMIB). Tak membutuhkan waktu lama, ketiganya sepakat meleburkan diri menjadi CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) pada tahun 1956.

Sukarno menyongsong penuh pendirian CGMI.

"Saya menyambut baik lahirnya CGMI, saya berikan CGMI restuku, jadi bangkitlah kamu!”

Sementara itu, PSI (Partai Sosialis Indonesia) mencemooh CGMI sebagai organisasi di bawah ketiak Sukarno dengan sebutan "Pemuda Sukarno" (Soekarno Jeugd).

Menurut Donald Hindley dalam buku The Communist Party of Indonesia 1951-1963 (1966), CGMI mampu menarik sekitar 1.180 mahasiswa sejak awal didirikan. Identitas baru pun disematkan pada CGMI untuk membedakan dirinya dengan organisasi mahasiswa lain, yakni organisasi mahasiswa nonpolitis dan nonreligius.

Berbagai cara ditempuh CGMI untuk menggaet anggota baru. Salah satunya menguatkan posisi untuk menentang perpeloncoan yang masih masif dilakukan pada masa orientasi mahasiswa.

Selain itu, berbagai kepentingan mahasiswa lantang disuarakan, seperti meminta kenaikan anggaran untuk Kementerian Pendidikan dan uang saku bagi mahasiswa.

Tidak hanya itu, untuk membuktikan komitmennya sebagai organisasi nonpolitis, CGMI mulai membentuk berbagai kelompok belajar pada 1959 untuk membantu anggotanya meraih nilai tinggi.

Pejah Gesang Melu Bung Karno

Keadaan CGMI berbalik sepenuhnya pada masa Demokrasi Terpimpin dengan mengusung "politik sebagai panglima" pada kompas pergerakan mereka.

Dalam artikel Muhamad Trishadi Pratama dan Mohammad Iskandar yang terhimpun dalam bunga rampai Trajectories of Memory: Excavating the Past in Indonesia (2023), PPMI (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), dan CGMI mendapat kedudukan tinggi dalam kancah politik nasional karena mendukung implementasi indoktrinasi Manipol-USDEK di kalangan masyarakat.

Dukungan tersebut nyatanya membawa pengaruh positif bagi kondisi keanggotaan CGMI yang mengeklaim tumbuh menjadi 7.000 anggota.

Bersama GMNI, CGMI mulai terjun ke dalam PPMI (Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia) pada 1961. Dalam artikel "Indonesian Education: Communist Strategies (1950-1965) and Govermental Counter (1966-1980)" (1981), R. Murray Thomas menyebutkan bahwa federasi tersebut merupakan wadah bagi berbagai organisasi mahasiswa di seluruh Indonesia.

Selama ini HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) menguasai penuh panggung PPMI. Dengan demikian, kedatangan CGMI tak direspons baik oleh HMI. Mereka khawatir dan merasa menghadapi rongrongan baru setelah sekian lama merasakan situasi damai sejak 1947.

Kekhawatiran HMI berpuncak pada kongres kelima PPMI pada 1961. CGMI, yang didukung oleh tiga kelompok sayap kiri lain, menuduh HMI menjadi alat Masjumi yang telah dilarang oleh Sukarno sejak 1960.

Serangan terus diluncurkan kepada HMI hingga membuahkan hasil yang membuat CGMI bersorak sorai: pimpinan HMI terguling dari presidium federasi tersebut.

"CGMI memperoleh kekuatan dalam urusan federasi selama empat tahun berikutnya, meskipun mereka terus menerus ditentang oleh organisasi nonkomunis seperti asosiasi mahasiswa Protestan, Katolik, dan kelompok lokal nonkiri," catat Thomas.

setelah membabat HMI di PPMI, CGMI mulai berani tunjuk hidung kepada siapa pun yang tidak setia pada Sukarno dan ajarannya. Kali ini Mochtar Kusumaatmadja menjadi target utama.

Guru Besar Hukum di Universitas Padjadjaran (UNPAD) itu sering mengkritisi kebijakan-kebijakan Sukarno pada 1962. CGMI gusar dan mendukung pemecatan Mochtar dari UNPAD. Isu itu tidak berhenti disuarakan hingga akhirnya CGMI merasakan kemenangan ketika Mochtar dipecat dari jabatannya.

Setelah itu, CGMI mengintai profesor-profesor Barat yang didatangkan untuk mengajar ke universitas-universitas di Indonesia sejak 1950-an. Kebanyakan mereka berasal dari Amerika Serikat, Inggris, dan Australia—tempat lahirnya imperialisme. CGMI mengembuskan isu agar mereka segera dipecat.

Pada 1963, naskah Manifes Kebudayaan mengundang reaksi keras dari CGMI. Dosen dan profesor di berbagai universitas nyatanya mendukung Manifes Kebudayaan menambah pil pahit bagi CGMI. Geram mengetahui realitas tersebut, CGMI terjemahkan menjadi aksi untuk memastikan mereka dipecat dari universitas.

Setahun kemudian, Sukarno menaikkan tensi politik Demokrasi Terpimpin dengan berkonfrontasi dengan Malaysia. CGMI tidak ketinggalan dan mengobarkan semangat Sukarno dengan meneror dan mengintensifkan sasaran yang sama pada sebelumnya, yakni profesor Amerika dan Persemakmuran Inggris yang tengah bertugas.

Tindakan-tindakan yang dilakukan CGMI berhasil menarik perhatian mahasiswa. Ini dibuktikan dengan membludaknya keanggotaan CGMI menjadi 17.000 anggota.

Pada 1964, CGMI mendapat pengakuan resmi dari PKI sebagai organisasi mahasiswa komunis dan progresif nonkomunis. Legitimasi itu diperkukuh dengan mengekor segala kebijakan dari PKI. CGMI akan melakukan hal yang sama ketika PKI berbuat sesuatu.

Y.M. Sastramidjaja dalam tesis Playing Politics: Power, Memory, and Agency in the Making of the Indonesian Student Movement (2016) menjelaskan, CGMI ikut melancarkan serangan terhadap Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS) yang dianggap bagian dari konspirasi CIA (Central Intelligence Agency) untuk menggembosi kekuasaan Sukarno.

Kekuatan CGMI dalam membujuk Sukarno pun dilaksanakan agar ia bersedia membubarkan Partai Murba dan SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia).

Kebudayaan tidak luput diperhatikan CGMI. Ketika budaya "ngak-ngik-ngok" ala Barat menjadi tren, CGMI tampil paling depan menentangnya. Mereka berpropaganda sana-sini untuk memperkenalkan kebudayaan yang "berkepribadian Indonesia".

Menurut Ruth T. McVey dalam “Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution” (1990), CGMI membuat transformasi besar dalam kuantitas anggota karena berani merambah ke universitas-universitas swasta untuk menjaring lebih banyak anggota.

Infografik Mozaik CGMI

Infografik Mozaik CGMI. tirto.id/Mojo

Tumbang Setelah G30S

Perseteruan antara HMI dan CGMI semakin tajam pada tahun 1965. Hasrat CGMI untuk mebubarkan HMI semakin tinggi. Klimaksnya terjadi pada Kongres Ketiga, 29 September 1965 di Istora Senayan, Jakarta.

Sukarno hadir dalam kongres itu. Setelah Dr. J. Leimena dan Aidit memberikan pidato, Sukarno naik ke podium dan memberikan sambutan.

Sukarno membuka sambutan dengan menyanyi sepenggal lirik yang ia cipta sendiri.

"Siapa bilang saja tidak suka bakmi, saja suka bakmi dari Klender. Siapa bilang saja tidak tjinta CGMI, CGMI organisasi revolusioner."

Tepuk tangan meriah meruah dari hadirin menyambung nyanyian itu.

Upaya Sukarno tersebut sebenarnya untuk mendinginkan atmosfer setelah pidato Aidit yang provokatif.

"Bubarkan HMI! Bubarkan HMI!" ucap Aidit sebelumnya. Ia melanjutkan, "Kalau kalian kader CGMI tak bisa membubarkan HMI, kalian pakai sarung saja!”

Setelah kongres usai, pengurus CGMI mengirim surat ke Aidit untuk meminta klarifikasi atas ucapan yang ia lontarkan pada kongres. Aidit membalas surat itu yang berisi meminta Hardojo menemui Aidit.

Pukul 8 malam tanggal 30 September 1965, Hardojo berhadapan dengan Aidit.

"He, kenapa kamu menanyakan ini padaku sekarang? Apakah kamu tahu apa yang kita hadapi?" kata Aidit.

Hardojo bingung, "Saya tidak tahu."

"Kamu nggak tahu? Saya dengar Dewan Jenderal akan melakukan kudeta," Aidit menerangkan.

Lalu G30S terjadi dan PKI dituduh menjadi aktor di balik peristiwa tersebut. Setelah itu, demonstrasi anti-PKI di kalangan mahasiswa mulai bergelombang.

Pada 18 Oktober, mahasiswa anti-PKI berunjuk rasa di depan Fakultas Kedokteran UI di Jakarta. Tuntutan mereka jelas: meminta Menteri Pendidikan Tinggi, Thayeb, untuk membubarkan CGMI dan mengeluarkan mahasiswa yang terlibat G30S. Akhirnya CGMI resmi dilarang pada 1 November 1965.

Baca juga artikel terkait MOZAIK atau tulisan lainnya dari Alvino Kusumabrata

tirto.id - Politik
Kontributor: Alvino Kusumabrata
Penulis: Alvino Kusumabrata
Editor: Irfan Teguh Pribadi