tirto.id - Suasana di Jalan Latuharhary Nomor 48, Menteng, Jakarta Pusat, nampak ramai. Orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Mulai dari juru warta sampai pegawai yang mondar-mandir mempersiapkan sebuah hajatan. Sore itu pada 13 November 2017, si empunya tempat, Komnas HAM, sedang bersiap menyelenggarakan konferensi pers menyambut kepengurusan baru.
Komnas (Komisi Nasional) Hak Asasi Manusia merupakan salah satu lembaga kuasi negara yang terdapat di Indonesia. Lembaga kuasi negara (state auxillary bodies) sendiri memiliki pengertian sebagai lembaga dengan pelaksanaan tugas-tugas tertentu sesuai perundang-undangan.
Pada mulanya, Komnas HAM didirikan dengan dasar hukum Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun, sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 mengenai hak asasi manusia.
Pembentukan Komnas HAM ditujukan untuk dua hal. Pertama, mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Piagam PBB, maupun Deklarasi Universal HAM. Kedua, meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi masyarakat Indonesia serta kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Komnas HAM mempunyai fungsi dalam melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi perihal hak asasi manusia.
Selain kewenangan di atas, Komnas HAM juga memiliki kapabilitas untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat dan pengawasan. Pengaturan mengenai kewenangan tersebut diatur lewat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam melakukan penyelidikan, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri dari elemen Komnas HAM dan unsur masyarakat.
Kemudian, kewenangan pengawasan Komnas HAM diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pengawasan oleh Komnas HAM dimaksudkan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang dilakukan secara berkala guna mencari serta menemukan ada tidaknya tindakan diskriminasi ras maupun etnis, yang kemudian ditindaklanjuti dengan mengeluarkan rekomendasi.
Lembagai kuasi negara tak sebatas Komnas HAM saja. Contoh lainnya adalah KPK. Lembaga yang berkantor di Bilangan Kuningan ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi semasa era Presiden Megawati Soekarnoputri. KPK diberi amanat untuk melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
Pendirian KPK bukan ditujukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan dalam undang-undang menyebutkan peran KPK ialah sebagai trigger mechanism yang berarti mendorong agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga lainnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Adapun tugas KPK yakni berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK), supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK, melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK, dan memantau penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman pada lima asas: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik serta menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga patut disebut sebagai contoh. Pembentukan KPI dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Penyiaran yang kemudian disempurnakan lewat Keputusan Presiden Nomor 267 Tahun 2003. Fungsi KPI yakni mengembangkan kebijakan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan isi siaran serta melaksanakan kebijakan pengawasan maupun pengembangan terhadap struktur sistem dan profesionalisme penyiaran.
Lembaga Kuasi Negara: Dibentuk Atas Semangat Independensi
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, negara membutuhkan alat perlengkapan yang salah satunya diejawantahkan dalam keberadaan lembaga negara. Kedua hal tersebut—negara dan lembaga—merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Hadirnya lembaga negara selain menjalankan tugas dan fungsi negara juga sebagai manifestasi keterwakilan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sejak Orde Baru sampai reformasi, lembaga-lembaga negara di Indonesia telah banyak bermunculan sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Jimly Asshiddiqie dalam Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (2006) membagi lembaga ke dalam dua tingkatan.
Tingkatan pertama diisi badan-badan negara seperti TNI, Polri, Kejaksaan Agung, dan Bank Indonesia. Sedangkan tingkatan kedua ditempati lembaga-lembaga khusus semacam Komnas HAM, KPU, KPK, sampai Ombudsman. Lembaga-lembaga tersebut (di tingkatan kedua) menurut Jimly, “bersifat independen” serta mempunyai fungsi “campursari” di mana mereka melakoni fungsi semi-legislatif, regulatif, administratif, dan yudikatif.
Kelahiran lembaga kuasi negara didasari oleh dua hal: semakin kompleksnya tugas negara dan pemberdayaan terhadap fungsi maupun tugas negara yang sudah ada. Sedari awal, pembentukan lembaga kuasi negara berasaskan semangat independensi. Artinya, lembaga-lembaga negara ini dalam perjalanannya tidak dapat diintervensi oleh kepentingan apapun.
Sementara itu, secara struktural, lembaga-lembaga kuasi bersifat koordinatif dengan presiden atau lembaga tinggi negara lainnya. Untuk payung hukum pembentukan lembaga-lembaga kuasi negara berasal dari Peraturan Presiden (Keputusan Presiden) yang didasarkan pada Undang-Undang terkait.
Sudah Maksimalkah Peran Lembaga Kuasi Negara?
Pembentukan lembaga kuasi negara dimaksudkan untuk membantu pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Harapannya, dengan adanya lembaga kuasi negara, kerja pemerintah dalam bidang tertentu dapat berjalan dengan baik. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana peran lembaga kuasi negara dalam melaksanakan serta membantu pemerintah menyelesaikan tugas-tugasnya? Sudahkah optimal?
Sayangnya, kinerja lembaga kuasi negara dianggap belum maksimal. Contohnya adalah Komnas HAM. Semenjak adanya lembaga ini, publik menyematkan harapan tinggi agar masalah-masalah yang berkenaan dengan hak asasi manusia mampu terselesaikan secara menyeluruh. Tapi, yang ada malah seakan jalan di tempat; tanpa perkembangan berarti dari tahun ke tahun.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Jakarta berpendapat besarnya harapan masyarakat khususnya dari pihak korban pelanggaran HAM tidak diimbangi dengan kewenangan yang diberikan kepada Komnas HAM. Efeknya, di samping kasus-kasus pelanggaran HAM yang sifatnya kecil maupun besar seperti pembantaian 1965, Papua, hingga penghilangan paksa para aktivis tidak terselesaikan sampai sekarang.
Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Walaupun menurut Undang-Undang Komnas HAM memiliki kapabilitas untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat dan pengawasan di dalamnya, lembaga ini hanya bisa memberikan rekomendasi kepada pemerintah.
Rekomendasi itu hanya bersifat morally binding—tidak ada kewajiban hukum bagi para pihak yang menerima rekomendasi Komnas HAM untuk menindaklanjuti. Faktor inilah yang mengakibatkan banyaknya pengaduan ke Komnas HAM tidak dapat tertangani dengan maksimal.
Situasi serupa dialami pula oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Pada 2016 lalu, misalnya, KPI menyatakan bahwa sejak 2011 sampai 2015 sudah mengeluarkan 674 sanksi bagi Lembaga Penyiaran (stasiun televisi hingga radio). Sanksi tersebut berupa surat teguran pertama, surat teguran kedua, penghentian sementara, dan pembatasan durasi. Keluarnya sanksi disebabkan lembaga penyiaran melakukan pelbagai pelanggaran, seperti menghina orang, celetuk yang melecehkan martabat seseorang, tayangan kekerasan, dan iklan politik yang melebihi intensitas.
Rincian pemberian sanksi kepada lembaga penyiaran adalah sebagai berikut: pada 2011 KPI memberikan 55 sanksi kepada lembaga penyiaran, lalu pada 2012 meningkat menjadi 107 sanksi. Namun, pada 2013 terjadi penurunan yakni 62 sanksi. Selanjutnya, pada 2014, KPI memberikan 184 sanksi kepada lembaga penyiaran. Jumlah sanksi terbanyak yang dijatuhkan KPI terjadi pada 2015 yakni sebanyak 266 sanksi.
Tingginya pelanggaran setiap tahun membuktikan bahwa sanksi yang diberikan KPI terhadap lembaga penyaiaran tak memiliki efek jera, bahkan terus berulang setiap tahun. KPI tidak bisa melakukan tindakan lebih jauh—dalam hal ini adalah pencabutan izin lembaga penyiaran—sebab bukan koridor KPI untuk bertindak seperti itu.
Menurut Undang-Undang, KPI hanya memiliki kewenangan perpanjangan izin sampai pengawasan. Untuk bisa mencabut izin lembaga penyiaran yang melanggar peraturan, harus memiliki kekuatan hukum tetap dari pengadilan.
Jimly, masih dalam Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (2006), menegaskan bahwa reformasi dan konsolidasi dalam pengaturan lembaga kuasi negara yang ada harus dilakukan. Tujuan dilakukannya reformasi adalah untuk memaksimalkan peran lembaga bersangkutan dalam menangani urusan-urusan tertentu negara agar dapat lebih efektif, efisien, dan tepat guna.
Memperluas cakupan kewenangan adalah salah satu langkah yang bisa digunakan. Jika pemerintah bisa memberi kewenangan lebih kepada KPK untuk memberantas korupsi, mengapa tidak memberlakukan hal yang sama kepada Komnas HAM dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM atau kepada KPI dalam upayanya mencabut izin lembaga penyiaran yang sarat konflik kepentingan?
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf