tirto.id - Kanvas-kanvas sederhana terpajang rapi dengan lukisan-lukisan indah. Beberapa hasil karya lukisan itu juga bisa terlihat di produk lain seperti hijab, pouch, bantal, dan tote bag. Sekilas, karya-karya seni seperti ini seolah biasa kita lihat di mana-mana. Namun, ada yang membedakan karya seni ini dari karya seni biasa.
Bagi seorang seniman, keterbatasan menjadi “hidangan” sehari-hari. Meski begitu, keterbatasan itu tidak menjadi halangan untuk terus berkarya, mulai dari keterbatasan sumber daya, dana, bahkan sampai fisik.
Berawal dari kecintaan terhadap dunia sosial, Tommy Budianto mendirikan The Able Art di Pasuruan pada 2017. Bukan karya-karya dari seniman biasa, Tommy membantu lukisan-lukisan karya seniman difabel untuk dijual—offline maupun online—dan direproduksi menjadi berbagai produk seperti hijab, tas, bantal, dan lain-lain.
“The Able Art didirikan untuk memberdayakan para seniman difabel agar tetap bisa berkarya sehingga mereka bisa memperoleh pendapatan tetap. Kami ingin setiap karya memiliki nilai sosial bagi masyarakat Indonesia,” kata Tommy dari rilis yang diterima Tirto.
Untuk menjalankan usahanya, Tommy menggandeng seniman lukis difabel dari beberapa daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Malang, hingga Bali. Tak jarang, untuk mendapatkan hasil reproduksi lukisan yang berkualitas tinggi, Tommy datang langsung ke tempat para seniman.
Keterbatasan yang dihadapi para pelukis yang Tommy datangi tak lantas membuat semangat juang mereka surut. “Dengan adanya The Able Art, kami jadi lebih semangat dan punya titik terang. Apalagi bagi pemula. Karya kami jadi bisa ada yang dukung,” kata Rodhi Mahfur asal Kendal, pelukis yang menjual produknya di The Able Art, kepada Jawa Pos TV.
Ini merupakan bukti bahwa kaum difabel juga punya semangat juang dan kreativitas yang tinggi untuk berusaha dan bahkan membuka usaha sendiri di tengah pandemi. Itu juga sejalan dengan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) 2019 yang menunjukkan jika dari 126 juta pekerja di Indonesia, 9,3 juta di antaranya merupakan pekerja difabel dengan status kesulitan sedang dan parah.
Hal menarik juga terlihat dari Indonesia Barat hingga Timur dengan komposisi pekerja difabel didominasi mereka yang berusaha. Jumlahnya mencapai 6,13 juta orang. Pekerja difabel—tingkat kesulitan sedang dan parah—terbanyak terdapat di Pulau Jawa. Sebanyak 60 persen dari total 4,5 juta difabel di wilayah ini bekerja, jumlahnya sekitar 2,7 juta orang.
Tokopedia Bagi Kisah InspiratifUMKM Difabel Kontribusi ke Ekonomi Digital
Bukan kebetulan, jumlah pekerja dan pengusaha difabel meningkat seiring maraknya transaksi yang terjadi di e-commerce, salah satunya Tokopedia. “Di awal berjualan, penjualan kami hanya berkisar 10-20 persen dari sebelum kami bergabung dengan Tokopedia. Setelah memanfaatkan Tokopedia, The Able Art bisa mengirimkan rata-rata 100 pesanan dalam sebulan ke berbagai wilayah di Indonesia, termasuk Papua,” kata Tommy.
Menyambut Hari Difabel Sedunia pada 3 Desember 2021, Tokopedia turut membagikan cerita inspiratif difabel di balik UMKM, yang memanfaatkan teknologi dan berkontribusi terhadap perekonomian digital.
“Tokopedia terus memberikan panggung seluas-luasnya bagi pegiat UMKM lokal, termasuk difabel, untuk menciptakan peluang lewat pemanfaatan teknologi agar bisa bangkit bersama memulihkan ekonomi,” kata External Communications Senior Lead Tokopedia, Ekhel Chandra Wijaya.
Selain The Able Art, ada pula warung kelontong Toko Lariz. Pemilik warung kelontong Toko Lariz sekaligus tunadaksa asal Semarang, Suhartini, bergabung ke ekosistem Mitra Tokopedia pada tahun 2019. Hal ini memungkinkan Suhartini menstok produk sembako hanya melalui aplikasi, tanpa harus keluar rumah.
Selain sembako, aplikasi Mitra Tokopedia juga membuat Suhartini bisa menambah varian produk digital di tokonya seperti pulsa, paket data, token listrik, dan PDAM, sehingga pendapatannya pun meningkat.
“Sejak bergabung di Mitra Tokopedia, warung saya makin laris. Isi ulang stok warung juga sangat mudah karena saya tidak harus keluar rumah. Dengan berjualan produk digital, omzet saya naik dua kali lipat,” kata Suhartini.
Hal luar biasa terjadi karena bahkan warungnya kini menjadi sumber utama pendapatan keluarganya. “Keterbatasan fisik bukan penghalang bagi saya. Dengan adanya teknologi, semua hal dimungkinkan. Saya ingin terus membuktikan bahwa tunadaksa bermodal minim juga bisa menciptakan peluang,” kata Suhartini.
Dalam Pancasila sila kelima, negara kita menekankan bahwa keadilan sosial itu diperjuangkan buat seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali, termasuk kaum difabel. Dengan semakin berkembangnya platform e-commerce, Tokopedia bukan hanya bisa menciptakan akses yang setara bagi para difabel, melainkan juga berkontribusi pada ekonomi digital.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis