Menuju konten utama

Kerja Sama Tiga Lembaga dan Langkah Mundur Pemberantasan Korupsi

Kerja sama Kemendagri, Polri, dan Kejagung dinilai bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Kerja Sama Tiga Lembaga dan Langkah Mundur Pemberantasan Korupsi
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menyampaikan keterangan kepada wartawan usai pertemuan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (26/2/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Pegiat antikorupsi menilai perjanjian kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Polri, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) tentang penanganan laporan korupsi di pemerintah daerah sebagai langkah mundur dalam pemberantasan korupsi. Aturan itu memungkinkan para koruptor menggunakan dalil kesalahan administrasi untuk menghindari jerat hukum.

"Oknum yang diketahui melakukan korupsi, mereka akan berlindung dengan dalih kesalahan administrasi," kata Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz kepada Tirto, Kamis (1/3/2018).

Kekhawatiran Donal mengacu pasal 7 yang di dalam perjanjian kerja sama. Beleid itu menyatakan Inspektorat Jenderal, Polri, dan Kejagung berwenang menentukan apakah aduan tentang indikasi korupsi masuk ranah kesalahan administrasi atau pidana. Apabila aduan digolongkan kesalahan administrasi maka pengusutannya menjadi wewenang Inspektorat JendralKriteria menentukan suatu aduan masuk ranah kesalahan administrasi dan bukan korupsi terinci dalam Pasal 7 ayat (5):

A) Tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah.

B) Kerugian negara/daerah telah diproses melalui tuntuntan ganti rugi paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan diterima pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK.

C) Merupakan bagian diskresi, sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat digunakannya diskresi.

D) Merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sepanjang sesuai dengan asas umum pemerintahan umum yang baik.

Satu-satunya pasal yang memungkinkan aduan korupsi masuk ranah pidana hanya apabila pejabat terkena operasi tangkap tangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 7 ayat (6). Menurut Donal rentetan aturan itu—khususnya pasal 7 ayat (5) poin b—harus dibatalkan lantaran bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang No.28/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi: pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.

“MoU tersebut bertentangan dengan UU Tipikor. Itu sebenarnya wacana lama. Nota kesepahaman harus dibatalkan,” ujar Donal.Donal mengatakan penentuan aduan praktik korupsi sebagai kesalahan administrasi membuat koruptor bebas dari penanganan KPK. “Padahal mayoritas korupsi terjadi bukan karena kesalahan administrasi, tapi justru kesengajaan,” ujar Donal.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko menilai poin-poin kerja sama dalam aturan yang disepakati Kemendagri, Polri, dan Kejagung bukan saja bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi tapi juga rentan disalahgunakan. “Berpeluang disalahgunakan oleh pihak-pihak yang akan mengambil manfaat politik dan hukum dari MoU itu,” kata Dadang.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan memandang pengembalian kerugian sebagaimana tersirat dalam pasal 7 ayat (5) poin b tidak menghilangkan unsur pidana dalam perbuatan korupsi. Menurutnya pengembalian uang negara hanya bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk meringankan hukuman. “Harusnya kalau sudah cukup bukti, pengembalian uang tidak menghilangkan pidana. Nanti kita pelajari dulu,” kata Basaria kepada Tirto.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Arief M Eddie punya dalih mengapa pihaknya ikut menyepakati poin kerja sama itu. Menurutnya aturan itu dibuat karena banyak pejabat daerah takut mengambil keputusan. Mereka khawatir keputusan yang diambil dilaporkan masyarakat sebagai perbuatan korupsi.“Banyak pejabat daerah diundang kejaksaan tidak terbukti, diundang kepolisian tidak terbukti, diundang lagi tidak terbukti lagi. Kan kapan kerjanya mereka... Kalau sudah ada konfirmasi awal kan enak perlu ditanggapi atau tidak ini laporannya,” ujar Arief.

Arief menepis kekhawatiran para pegiat korupsi. Ia memastikan pejabat daerah yang terindikasi kuat menyalahgunakan uang APBD akan diproses hukum. “Jika ada laporan dugaan korupsi, diperiksa, terus dia kembalikan, tak berkaitan dengan pencairan dana APBD tidak apa-apa. Tapi kalau APBD sudah cair, ada mark up, ya tidak bakal hilang (unsur pidana),” kata Arief.

Kekhawatiran kerja sama Kemendagri, Polri, dan Kejagung dapat membuat mundur langkah pemberantasan korupsi muncul dari pernyataan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto. Usai menandatangani perjanjian kerja sama itu Ari berpandangan polisi tak akan memproses semua aduan dugaan korupsi. “Kalau masih penyelidikan, kemudian tersangka mengembalikan uangnya, mungkin persoalan ini tidak kami lanjutkan ke penyidikan,” kata Ari.

Jaksa Agung HM Prasetyo menilai kerja sama itu tidak bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi. Menurutnya kerja sama itu bertujuan memastikan hukuman atas suatu pelanggaran. "Kalau administrasi ya administrasi, kalau pidana ya pidana, masuk ke balik jeruji besi,"ucap HM Prasetyo.

Infografik Kepala Daerah Korupsi

Baca juga artikel terkait REVISI UU TIPIKOR atau tulisan lainnya dari Lalu Rahadian

tirto.id - Hukum
Reporter: Lalu Rahadian
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Muhammad Akbar Wijaya