tirto.id - Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) baru saja meneken Memorandum of Understanding (MoU) dengan Bareskrim Polri dan Kejaksaan Agung terkait dengan penanganan aduan soal korupsi di pemerintah daerah, pada Rabu kemarin.
MoU itu tentang kerja sama dan koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dengan penegak hukum dalam menangani laporan atau pengaduan mengenai tindak pidana korupsi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.
MoU itu mengatur, jika suatu aduan tentang korupsi pejabat daerah ternyata adalah kesalahan administrasi, pengusutan kasus menjadi wewenang Inspektorat alias tidak perlu masuk ke ranah pidana. Persoalannya, salah satu dari 4 kriteria kesalahan administrasi adalah, jika pejabat daerah terduga korupsi sudah mengembalikan uang negara.
Menanggapi hal ini, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto mengaku belum melihat seluruh isi MoU tersebut. Tapi dia memastikan langkah Bareskrim meneken MoU itu sudah melalui kajian divisi hukum Polri. Setyo juga berencana meminta penjelasan dari Kepala Bareskrim mengenai isi MoU itu.
Meskipun demikian, Setyo menilai, secara garis besar, ketentuan dalam MoU tersebut sudah memuat logika hukum yang tepat. Dia juga menjelaskan MoU itu bisa membuat kinerja penegak hukum efektif dalam memenuhi salah satu target penanganan pidana korupsi, yakni pengembalian uang negara.
"Menurut saya logikanya benar. Karena indeks [biaya penanganan] satu kasus ratusan juta untuk mengembalikan dana ke negara. Sementara [jika] kita dapat Rp200 juta [dana negara yang kembali), tapi mengeluarkannya Rp300 juta [biaya kasus], berarti tekor," kata Setyo pada Kamis (1/3/2018).
Namun, Setyo menegaskan kelonggaran dalam penanganan perkara korupsi itu seharusnya tidak berlaku di kasus yang merugikan negara dalam skala besar.
"Kalau [koruptor] yang besar, kena [ditemukan bukti korupsi]. Menurut saya, seharusnya diproses [hukum pidana]," kata dia.
Menurut Setyo, perlakuan berbeda hanya bisa diberlakukan ke kasus korupsi yang berskala kecil. Dia kembali beralasan hal itu berkaitan dengan efektivitas penanganan kasus.
"Kalau dihitung matematis, kita menyelamatkan uang negara Rp200 juta, tapi harus mengeluarkan Rp300 juta [biaya penanganan kasus korupsi], kan rugi," kata Setyo.
Penjelasan Mendagri Soal Tujuan MoU Penanganan Korupsi Pemda
Dalam keterangan tertulis Kemendagri yang diterima oleh Tirto pada Rabu kemarin, Mendagri Tjahjo Kumolo mengklaim kerja sama itu tidak dibuat untuk melindungi kejahatan korupsi di Pemda.
"Pendekatannya adalah mengedepankan hukum administrasi sehingga penanganan pidana merupakan ultimum remedium atau upaya akhir dalam penanganan suatu permasalahan," ujar Tjahjo.
Menurut Tjahjo, MoU itu dibuat karena banyak pejabat pemda yang gamang terjerat kasus korupsi sehingga berdampak pada terhambatnya pembangunan di daerah.
"Prinsipnya semua laporan [korupsi] mesti ditindaklanjuti APIP [kalau kesalahan administrasi] atau penegak hukum [kalau pidana]," kata dia.
Berdasar pasal 7 ayat 5 dalam MoU tersebut, ada empat kriteria untuk menentukan suatu kasus korupsi yang dilaporkan ke kepolisian maupun kejaksaan termasuk kesalahan administrasi sehingga tidak perlu dipidana. Kriteria-kriteria kesalahan administrasi itu adalah jika aduan kasus korupsi memuat unsur:
1. Tidak terdapat kerugian keuangan negara/daerah dalam tindakan yang diadukan
2. Terdapat kerugian keuangan negara/daerah dan telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK
3. Merupakan bagian dari kebijakan diskresi, sepanjang terpenuhi tujuan dan syarat-syarat pelaksanaan kebijakan diskresi
4. Perbuatan yang diadukan merupakan penyelenggaraan administrasi pemerintahan sesuai asas umum pemerintahan yang baik.
Sementara pasal 7 ayat 6 dalam MoU itu menyatakan, koordinasi antara Kemendagri dan penegak hukum tidak diperlukan dalam hal tertangkap tangan. Artinya pelaku korupsi di pemerintahan daerah bisa langsung diproses pidana jika tertangkap tangan.
Sementara itu, menurut Jaksa Agung, HM Prasetyo, kerja sama tersebut tidak bertujuan meloloskan koruptor, tetapi hanya pembetulan proses administrasi.
"Sejak ditemukan ada penyimpangan administrasi itu diberikan waktu 60 hari untuk memperbaiki, tapi kalau aparat hukum menemukan penyimpangan yang cenderung korupsi dan sudah menimbulkan kerugian negara, kita [akan] lakukan penindakan hukum represif,” kata dia.
Dia menambahkan, “Kalau pelanggaran administrasi, diselesaikan secara administrasi. Tapi, kalau pidana, kriminal, korupsi kesengajaan, ada yang diuntungkan dan nyata ada yang dirugikan, nah itu yang akan ditindak."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Addi M Idhom