Menuju konten utama

Kepentingan AS di Balik Perubahan Status Indonesia Jadi Negara Maju

Peneliti CORE Yusuf Rendy Manilet menilai penetapan status Indonesia sebagai negara maju oleh AS sama sekali tidak terkait dengan pencapaian perkembangan ekonomi Indonesia saat ini.

Kepentingan AS di Balik Perubahan Status Indonesia Jadi Negara Maju
Suasana bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

tirto.id - Amerika Serikat belum lama ini mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang dan memasukkannya dalam daftar “negara maju” di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Indonesia tentu tidak bisa serta-merta berbangga karena keputusan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) ini bakal berpotensi memukul neraca perdagangan Indonesia.

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan gara-gara pencabutan status ini, Indonesia berpotensi kehilangan fasilitas Generalize System of Preference (GSP) dalam rupa keringanan bea masuk. Bila importasi produk Indonesia di AS harus memakai tarif normal atau Most Favoured Nation (MFN), maka industri Indonesia bakal kehilangan daya saing.

“Jelas berisiko defisit,” ucap Susi di Jakarta, Senin (24/2/2020).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 2019, AS menduduki posisi kedua dalam porsi ekspor Indonesia ke negara dunia. Porsinya mencapai 11,41 persen dengan nilai perdagangan 17,68 miliar dolar AS. AS hanya kalah satu peringkat dari Cina yang porsi ekspornya mencapai sekitar 16.68 persen.

Besarnya porsi AS tentu tidak bisa diabaikan karena sedikit banyak bisa memukul kinerja perdagangan Indonesia. Tren Indonesia selalu mencatatkan surplus dalam perdagangan Indonesia-AS pun dikhawatirkan bisa berakhir.

Pada 2019, neraca perdagangan Indonesia-AS surplus 9,583 miliar dolar AS. Nilai ini naik dari tahun 2018 yang hanya berkisar 8,560 miliar dolar AS. Namun bagi AS, posisi mereka adalah defisit.

Rahmat Soebagiyo, Direktur Keberatan Banding dan Peraturan Ditjen Bea Cukai mengatakan kalau lewat GSP bea masuk produk Indonesia di AS bisa sangat kecil bahkan hampir nol. Saat bea masuk menjadi normal, tentu dampaknya akan terasa.

Alhasil industri di Indonesia tidak punya pilihan selain mengupayakan efisiensi terutama menekan berbagai biaya. “Kita harus efisien. Kan, kita tidak bisa atur negara lain,” ucap Rahmat kepada wartawan saat ditemui di Jakarta, Senin (24/2/2020).

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menilai penetapan status Indonesia sebagai negara maju oleh AS memang sama sekali tidak terkait dengan pencapaian perkembangan ekonomi Indonesia saat ini.

Sebab, kata dia, Bank Dunia mencatat nilai Gross National Income (GNI) Indonesia per 2018 baru mencapai 3.840 dolar AS. Nilai ini jauh di bawah batas minimum GNI senilai 12.235 dolar AS (per 2016) yang akan mendapat pengecualian insentif GSP dari AS. Menurut data Bank Dunia dengan nilai itu, Indonesia belum masuk kategori negara berpendapatan atas atau negara maju.

Dari sisi daya saing, Yusuf juga menyebutkan produk-produk Indonesia masih jauh dari jajaran produk manufaktur bernilai tinggi. Ia mencontohkan ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas tambang dan perkebunan.

Meskipun proporsi manufaktur Indonesia terhadap ekspor cukup tinggi pada 2019, yaitu di angka 74 persen, tapi Yusuf masih ragu. Pasalnya kebanyakan produk itu diduga dominan oleh makanan dan minuman yang nilai tambahnya belum signifikan.

Sebaliknya, Yusuf menilai keputusan Presiden AS Donald Trump ini lebih condong pada wacana proteksionisme yang dibangun administrasinya. Salah satunya Trump ingin membalikan posisi defisit perdagangan AS dengan sejumlah negara.

Perang dagang AS-Cina kemarin, kata Yusuf, salah satu bentuknya. Sekarang sasaran itu diperluas dan mengarah pada banyak negara. Melansir South China Morning Post (SCMP), negara yang dicabut status “berkembang” tidak hanya Indonesia, ada juga Cina, Hong Kong, India, Singapura sampai Vietnam.

Dalam prosesnya, Yusuf tidak menutup kemungkinan bila AS juga menuntut keringanan tarif dari negara-negara yang berubah statusnya ini. Sebab kepentingannya mengarah pada penekanan defisit neraca dagang AS ke negara-negara itu.

“Arahnya saya prediksi mengarah pada pengecilan defisit AS. Apalagi kalau dilihat Trump akan maju pemilu, jadi ini langkah menggaet elektabilitasnya,” ucap Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Senin (24/2/2020).

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad juga sependapat kalau AS tengah ingin mengurangi defisitnya. Situasi ini akhirnya membuat AS mengajukan proposal ke WTO agar Indonesia masuk ke katagori negara maju.

"Kalau dilabeli negara maju, otomatis fasilitas GSP tidak kita dapatkan. Ini adalah strategi dari Amerika untuk mereka mengurangi defisit perdagangan terhadap kita, katakanlah di 2018 lalu. Kondsinya sudah 5 tahun berturut-turut kita selalu surplus ke AS," kata dia kepada reporter Tirto, Senin (24/2/2020).

Ketua Umum Kamar Dagang dan industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani mengatakan dirinya masih belum tahu bilamana status baru ini akan berujung pada pencabutan GSP. Namun ia berharap kalau GSP Indonesia tetap dipertahankan.

“Kita harap ada lobi-lobi pemerintah agar GSP ini bisa dipertahankan,” ucap Rosan kepada wartawan saat ditemui di Jakarta, Senin (24/2/2020).

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Rizal Affandi menampik bila pencabutan status negara maju ini akan menentukan nasib GSP.

Menurut dia, tidak ada hubungan langsung antara keduanya. Ia juga memastikan pembahasan GSP cukup positif dan dampak status baru ini tidak akan banyak berefek pada neraca dagang.

Namun pencabutan status negara maju ini tetap perlu diwaspadai karena nantinya AS akan lebih mudah melakukan investigasi terkait subsidi produk ekspor agar sama dengan harga domestik atau Countervailing Duty (CVD).

Selama ini berbagai tuduhan mengarah pada dugaan subsidi sawit dan biodiesel yang menjadi komoditas andalan ekspor Indonesia.

“Enggak usah dicemaskan. Dampaknya tidak ada langsung dengan GSP. Ini terkait CVD. Dua hal terpisah,” ucap Rizal kepada wartawan saat ditemui di Jakarta, Senin (24/2/2020).

Baca juga artikel terkait NEGARA MAJU atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz