tirto.id - Pada 14 Maret 1927, mantan penerbang angkatan laut Amerika Serikat bernama Juan T. Trippe mendirikan maskapai Pan American Airways, atau akrab disapa Pan Am. Tujuh bulan kemudian, tepatnya pada 28 Oktober 1927, maskapai ini melakukan terbang perdana, mengantarkan surat-surat dan barang dari Key West di Florida (AS) ke Havana (Kuba) dengan menggunakan pesawat Fokker.
Tiga bulan selepasnya, Pan Am mulai mengangkut penumpang. Setahun berselang, mereka memperluas rute dari Amerika menuju Karibia, Meksiko, dan berbagai negara di Amerika Selatan. Pada 1935, rute ke seberang samudra diperkenalkan. Pan Am terbang menuju Hawaii, Filipina, hingga Hongkong.
Sembilan puluh tiga tahun selepas Pan Am berdiri, perjalanan udara kian masif menghubungkan satu titik di bumi dengan titik lainnya. Data Statista menyebut, diperkirakan 4,7 miliar orang terbang di tahun 2020 ini, ke berbagai tempat di dunia.
Singkat cerita, Pan Am dan maskapai-maskapai lain yang membuka penerbangan trans-samudera seperti KLM dan Qantas memudahkan manusia bepergian. Pertemuan manusia antar-bangsa tak bisa dielakkan.
Yang menarik, dalam pertemuan manusia antar-bangsa, sering terjadi prasangka atau bias atau bahkan sikap rasis. Orang Indonesia, misalnya, ketika bertemu dengan sosok asing berwajah penuh janggut, kadang menganggap sosok itu sebagai orang Arab. Tatkala bertemu dengan sosok tinggi, berkulit putih, berambut pirang, dan berhidung mancung, sebutan “bule” langsung terlontar. Ketika sosok asing itu memiliki mata sipit, orang Indonesia cenderung mengiranya sebagai orang Cina atau Jepang.
Mo Costandi, dalam tulisannya di Guardian, mengatakan bahwa bagi banyak orang Amerika, semua orang Asia mirip. Sebaliknya, lanjut Costandi, semua orang kulit putih terlihat serupa di mata orang Asia. Costadi menyebutnya "efek ras lain" (other-race effect), yakni kesulitan yang dialami ketika mengidentifikasi orang-orang ras lain.
Dalam penelitian yang dilakukan Heather Lucas dari Cognitive Neuroscience Laboratory di Northwestern University yang dikutip Costandi, gejala kesukaran mengidentifikasi wajah ras lain dipengaruhi aktivitas dalam otak bernama N200 potential yang ada di lobus frontal, yang berfungsi melakukan pengkodean visual.
Dalam percobaan yang dilakukan Lucas, 18 mahasiswa wanita kulit putih ditunjukkan foto-foto berwarna dari wajah pria dewasa berkulit putih, hitam, Hispanik dan Asia Timur dan Selatan, yang disajikan secara acak. Ketika diminta untuk mengingat, para peserta lebih akurat mengenali wajah dari ras mereka sendiri ketimbang yang berasal dari ras lain. Menurut Lucas, keakuratan ini berhubungan dengan respons N200 dalam otak.
Mengapa otak mengenali dengan baik wajah dari ras yang sama? Luca berhipotesis, ini terjadi lantaran orang-orang dari ras yang sama sering bertemu, sehingga kekhasan wajah bisa lebih mudah dikenali.
Intinya, ingatan akan wajah yang berbeda ras yang jarang ditemui sangat lemah.
Costadi juga mengutip penelitian dari Robert Caldara di University of Glasgow. Caldara menyebut respon pengenalan wajah berhubungan dengan bagian otak bernama N170. Ketika seseorang bertemu dengan sosok asing, aktivitas di bagian otak ini tinggi dan aktivitas berkurang ketika sosok asing itu sering ditemui.
Gustave A. Feingold, dalam studi lawas berjudul “Influence of Environment on Identification of Persons and Things” (1914) menyebut di mata manusia secara umum, orang-orang dari ras lain selalu terlihat sama. Pasalnya, ada kecenderungan ketika menilai ras lain, manusia berkaca pada dirinya sendiri. Namun, dalam keadaan tertentu "efek ras lain"berbahaya.
Misalnya, seperti yang diutarakan Feingold pada 1914, seseorang berinisial K harus ditahan kepolisian Boston atas dugaan pencurian yang dilakukannya. Penahanan terhadap K dilakukan hanya atas laporan saksi mata di lokasi kejadian yang menyatakan bahwa K mencurigakan. Kemudian, diketahui bahwa K adalah seorang kulit hitam dan para saksi mata--yang berkulit putih--menggeneralisasi bahwa K sama dengan orang kulit hitam pelaku pencurian yang sebenarnya.
“Saya tidak yakin dia orangnya,” kata Y, saksi mata dalam kasus Boston itu sebagaimana ditulis Feingold. “Saya tidak yakin. Saya tidak akan mengatakan secara positif bahwa dia bukan, tetapi saya tidak dapat mengatakan bahwa dia memang benar pelakunya.”
Bruce W. Behrman, dalam “Eyewitness Identification in Actual Criminal Cases: An Archival Analysis” (2001) menyebutkan "efek ras lain" cukup berbahaya bila menyangkut penyelidikan kejahatan. Behrman meneliti 271 kasus di persidangan yang melibatkan 231 saksi mata. Hanya 45 persen saksi mata sukses mengidentifikasi pelaku yang berbeda ras dengan mereka. Sementara itu, tingkat keakuratan identifikasi saksi mata atas pelaku dengan rasa yang sama mencapai 60 persen.
Sifat alamiah manusia yang sukar membedakan orang-orang yang berbeda rupanya terwariskan pada teknologi kecerdasan buatan. Sebagaimana dijelaskan dalam studi berjudul “Semantics Derived Automatically from Language Corpora Contain Human-like Biases” (2017), ketika kecerdasan buatan menggunakan data dari internet, sistem akan menghasilkan prasangka buruk yang lebih pada orang-orang berkulit hitam dan perempuan.
“Banyak orang berpikir bahwa mesin tidak mungkin bias,” tutur Aylin Caliskan, ilmuwan komputer asal George Washington University. “Yang perlu diingat, mesin dilatih oleh data yang diberikan manusia. Dan manusia adalah makhluk yang bias.”
Editor: Windu Jusuf