Menuju konten utama

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Tidak Tepat dan Harus Dibatalkan

Presiden Jokowi disebut tidak peka dan tuna empati terhadap keadaan masyarakat yang sedang berhadapan dengan pandemi Covid-19.

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Tidak Tepat dan Harus Dibatalkan
Sejumlah pegawai melakukan aktivitas di Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Dumai di Dumai, Riau, Rabu (15/4/2020). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/foc.

tirto.id - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Ansory Siregar, mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut Perpres No. 64 tahun 2020 tentang Revisi Perubahan Perpres No. 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, yang isinya menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan.

Jokowi disebut tidak peka dan tuna empati terhadap keadaan masyarakat yang sedang berhadapan dengan pandemi Covid-19.

"Pemerintah tidak peka dan terbukti tuna empati dengan situasi masyarakat yang sedang dilanda pandemi wabah Covid-19, di mana masyarakat sedang susah dan menderita namun justru menaikan iuran BPJS Kesehatan," katanya lewat keterangan tertulis yang diterima wartawan Tirto, Kamis (14/5/2020) pagi.

Ia menilai Jokowi juga tidak memberikan contoh atau tauladan yang baik dalam ketaatan hukum. Padahal, katanya, keputusan Mahkamah Agung (MA) sudah sah sejak Maret lalu dan mengikat agar Iuran BPJS dikembalikan seperti sebelumnya.

Ironisnya lagi, lanjut Ansory, kebijakan kenaikannya diteken ketika DPR RI baru saja memulai masa reses sehingga tidak bisa melakukan rapat kerja dengan pemerintah.

"Untuk itu, saya Ansory Siregar, Wakil ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PKS, mengusulkan untuk mencabut perpres Nomor 64 tahun 2020 tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan," katanya tegas.

Ia menilai pemerintah tidak peka dan tidak peduli terhadap perasaan masyarakat.

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Gerindra, Obon Tabroni, juga menilai hal serupa. Ia menyebut langkah diambil oleh Jokowi tidak tepat, apalagi kenaikan tersebut dilakukan di saat beban masyarakat semakin berat.

"Saat ini sedang krisis. Banyak masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Kok tegas-teganya Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kesehatan adalah hak rakyat. Seharusnya akses masyarakat untuk mendapat jaminan kesehatan dipermudah. Bukannya dipersulit dengan menaikkan iuran seperti ini. Masyarakat sedang susah," kata Obon, lewat keterangan tertulisnya.

Apalagi, lanjut Obon, kenaikan iuran BPJS Kesehatan telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada Maret lalu. Mengacu pada putusan MA itu pula, seharusnya yang dikeluarkan adalah Perpres baru yang membatalkan kenaikan Iuran BPJS Kesehatan, sesuai dengan iuran yang lama.

"Kenaikan ini sekaligus mencerminkan jika pemerintah tidak menghormati keputusan pengadilan yang bersifat inkrah. Hal ini akan memberi contoh buruk. Bisa saja nantinya masyarakat tidak lagi menghargai putusan lembaga yudikatif yang seharusnya ditaati semua pihak, tanpa pandang bulu," katanya.

Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada masa pandemi COVID-19. Tarif baru berlaku efektif pada 1 Juli nanti.

Besaran iuran untuk kelas 3 sepanjang Juli-Desember 2020 sebesar Rp25.500 per bulan, dengan detail Rp16.500 dibayar pemerintah pusat dan sisanya dibayar sendiri oleh peserta. Tahun depan naik lagi jadi Rp35 ribu, Rp28 ribu dibayar sendiri oleh peserta dan sisanya ditanggung pemerintah.

Iuran untuk kelas 2 menjadi Rp100 ribu per bulan, dibayar sendiri oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta. Sementara iuran untuk kelas 1 menjadi Rp150 ribu, juga dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta.

Dasar hukum tarif baru ini adalah Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, diteken Jokowi Selasa (5/5/2020) lalu.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti