tirto.id - Kenaikan harga minyak mentah dunia telah tembus 110 dolar AS per barel pada Rabu (2/3/2022), menyusul konflik Rusia-Ukraina yang semakin memanas. Harga minyak mentah dunia ini termasuk yang tertinggi sejak 2014 di mana rata-rata mencapai 93,17 dolar AS per barel.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan, kenaikan harga minyak dunia saat ini berdampak pada ongkos produksi produk energi seperti BBM dan LPG. Hal ini akan diikuti dengan kenaikan produk-produk lain, karena BBM dan LPG sebagai sumber energi primer untuk produk lain.
"Tidak melulu bicara BBM dan LPG, tetapi juga produk turunan yang di hasilkan karena ada peningkatan ongkos produksi. Adanya kenaikan ini bisa menimbulkan inflasi ke depannya. Kita mesti mewaspadai ini," kata Mamit kepada reporter Tirto, Jumat (4/3/2022).
Indonesia sebagai net importir minyak mentah, BBM serta LPG, produksinya saat ini hanya berkisar di angka 670 ribu barel oil per day (BOPD). Sedangkan konsumsinya mencapai 1,3 juta BOPD dan impor LPG sebanyak 65 persen dari konsumsi nasional akan meningkatkan defisit neraca perdagangan.
"Semakin tinggi terjadinya defisit neraca perdagangan, bisa menyebabkan terdepresiasinya nilai mata uang rupiah terhadap dolar dan potensi kenaikan inflasi dibandingkan tahun 2021," katanya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2022 telah terjadi deflasi sebesar 0,02 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,24. Dari 90 kota IHK, 53 kota mengalami deflasi dan 37 kota mengalami inflasi
Deflasi yang terjadi saat ini, dipicu oleh adanya penurunan harga yang ditunjukkan oleh turunnya beberapa indeks kelompok pengeluaran, yaitu, kelompok makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,84 persen serta kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 0,04 persen.
“Penyumbang deflasi utama adalah terkait dengan harga-harga komoditas minyak goreng telur serta daging ayam," jelas Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Setianto, Selasa (1/3/2022).
Selain inflasi, kenaikan harga minyak dunia akan berdampak terhadap kondisi keuangan negara. Beban untuk subsidi energi baik BBM, LPG, dan listrik akan mengalami kenaikan yang tinggi. Di sisi lain, penerimaan negara yang didapatkan dari sektor hulu migas tidak sebanding dengan beban subsidi yang harus ditanggung pemerintah.
Selain itu, pasokan BBM dan LPG bisa mengalami gangguan di tengah permintaan global yang meningkat dan suplai yang mulai menipis. "Jadi kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi akibat ketidakpastian global saat ini," pungkas Mamit.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman memastikan, di tengah kenaikan harga minyak mentah dunia dan dampak-dampak strategisnya, perseroan terus berupaya menjaga pasokan BBM dan LPG nasional. Pertamina juga menjamin distribusi BBM dan LPG sampai ke masyarakat Indonesia.
“Kegiatan operasional Pertamina dari hulu, kilang sampai hilir, tetap berjalan dengan baik untuk menjaga ketahanan energi nasional," ujar Fajriyah dalam pernyataannya, Rabu (2/3/2022).
Menurut Fajriyah, dengan upaya ini, maka Pertamina memastikan ekosistem migas nasional juga dapat berjalan dengan baik agar terus menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Dengan dukungan stakeholder, Pertamina akan terus meningkatkan kinerja menghadapi tantangan dinamika energi global dan transisi energi dunia agar menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi pasca pandemi COVID-19," tandas Fajriyah.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz