Menuju konten utama

Kemnaker Bakal Dalami Dugaan Kerja Paksa di Smelter Nikel

Yuli mengakui saat ini lebih penting membahas bagaimana praktik kerja paksa tak akan terjadi di Indonesia.

Kemnaker Bakal Dalami Dugaan Kerja Paksa di Smelter Nikel
Sejumlah petugas Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Surabaya melakukan pembasahan gudang di Jalan Raya Raci, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (26/7/2024). DPKP mengerahkan sebanyak 23 kendaraan pemadam kebakaran untuk menjinakkan api yang menghanguskan gudang penyimpanan alat tulis kantor (ATK) dan berbagai jenis kertas. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/rwa.

tirto.id - Direktur Bina Pemeriksaan Norma Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Yuli Adiratna, bakal mendalami dugaan kerja paksa yang terjadi di smelter nikel, kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Hal ini sekaligus menanggapi tuduhan Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) atau US Department of Labour (US DOL) atas praktik kerja paksa yang dialami oleh warga negara asing (WNA) asal Cina.

"Ya, itu sedang kita dalami kan informasi di US DOL itu dia baru menerima dari sebuah NGO (Child Labour)," kata Yuli di sela-sela acara Konferensi Nasional Mineral Kritis, di Aston Hotel, Palu, Rabu (9/10/2024).

Yuli menjelaskan investigasi mendalam perlu dilakukan karena dalam laporan berjudul 2024 List of Goods Produced Child Labour, lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut hanya memberikan informasi tipis mengenai indikasi kerja paksa yang dialami WNA Cina di Indonesia. Sebab itu, dalam masa investigasi ini, Kementerian Ketenagakerjaan juga berharap agar serikat-serikat pekerja maupun masyarakat dapat melapor apabila menemui kasus kerja paksa maupun kekerasan yang dialami pekerja di perusahaan-perusahaan tambang nikel. Selain itu, para pekerja dan masyarakat juga diharapkan dapat memberitahukan nama atau identitas perusahaan yang melakukan praktik kerja paksa.

"Bahkan teman-teman SP (Serikat Pekerja) pun kita juga minta masukannya. Kemarin kita sedang menyiapkan untuk melakukan investigasi, bukan investigasi sebenarnya, kita ingin mengumpulkan bukti-bukti kejadian, dugaan itu benar apa nggak sih? Seperti apa sih yang terjadi di lapangan?" lanjut Yuli.

Dia juga mengakui beberapa hari lalu, dengan difasilitasi oleh Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO), Kementerian Ketenagakerjaan telah bertemu langsung dengan para pekerja di industri nikel untuk membahas tentang permasalahan ini.

Sementara itu, Yuli mengakui saat ini lebih penting membahas bagaimana praktik kerja paksa tak akan terjadi di Indonesia, baik di industri nikel maupun hasil tambang lainnya. Sebab, dengan keuntungan besar yang dapat dihasilkan oleh industri nikel, pemerintah juga harus menjaga agar operasional industri dapat berjalan dengan mematuhi hak-hak asasi manusia.

"Jangan sampai memang terjadi adanya kecelakaan dan penyakit tenagakerja termasuk adanya pelanggaran hak asasi manusia. Misalnya seperti kerja paksa, penggunaan pekerjaan anak, diskriminasi, jangan sampai terjadi. Ini menjadi PR kita bersama. Karena faktanya namanya semelter itu juga memberikan keuntungan yang besar bagi kita. Lapangan pekerjaan bisa dibuka lebar, sangat banyak yang bekerja di sana," jelas dia.

Seperti yang diberitakan sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan tak ada praktik kerja paksa terhadap warga negara Cina dalam industri nikel nasional. Bahkan, nihilnya praktik kerja paksa telah dipastikannya sejak sebelumnya menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

“Enggak ada dong (praktik kerja paksa di industri nikel). Saya kan mantan Menteri Investasi, mana ada sih kerja paksa?” tegasnya, di sela-sela acara Penganugerahan Penghargaan Keselamatan Migas Tahun 2024, di Jakarta Selatan, Senin (7/10/2024) malam.

Selain itu, Bahlil juga menilai, klaim Departemen Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) atau US Department of Labour (US DOL) terhadap praktik kerja paksa yang dialami oleh warga negara asing (WNA) asal Cina adalah hal tak berdasar dan belum terbukti kebenarannya. Bahkan, dia menilai pertanyaan terkait indikasi adanya praktik kerja paksa hanya akan membuat nama Indonesia di mata dunia tercoreng.

“Jangan pro asing kami. Harus memberitakan sesuatu yang fakta, jangan (menjadikan pertanyaan ini sebagai) persepsi negatif bagi bangsa kita. Enggak ada. Sayang-sayang negara kalian lah, kita kan punya nasionalisme,” ungkap Bahlil.

Baca juga artikel terkait PEKERJA atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Intan Umbari Prihatin