tirto.id - Badaik nampak bahagia ketika diajak berpetualangan oleh ayahnya. Dari berjalan kaki menyusuri kebun teh, menumpang bus hingga sampailah keduanya di depan sebuah rumah mewah.
Saat Badaik menatap pemandangan asing di hadapannya itu, sang ayah berlari dan meninggalkannya. Ternyata ia telah dijual oleh ayahnya ke pemilik rumah mewah seharga 500 rupee atau 7,7 dolar AS. Ia lupa berapa tahun usianya saat itu. Yang dia ingat, tinggi badannya masih selutut orang dewasa.
Badaik tumbuh sebagai pembantu rumah tangga di rumah mewah yang terletak di wilayah Arunachai Pradesh, India. Tempat itu berjarak sekitar 50 km dari rumah masa kecilnya di wilayah Assam. Saat menginjak usia 8 tahun, ia sudah mahir mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci, dan mengepel.
Setiap hari Badaik bekerja selama 17 jam dan hanya diupah 100 rupee per bulan. Ketika menginjak usia 16 atau 17 tahun tepatnya tahun 2016, ia memutuskan untuk melarikan diri dan mencari keluarganya.
Badaik termasuk satu dari sekian banyak budak anak yang berhasil pulang.
"Saya meninggalkan rumah ketika masih kecil dan pulang saat sudah dewasa. Saya tak ingat siapa keluarga saya, rumah saya. Pelan-pelan saya ingat," kata Badaik kepada Reuters di perkebunan teh di distrik Bisnawath, Assam.
Baca juga:Mereka Pekerja, bukan Budak
Praktik jual-beli anak juga terjadi di Itanagar, ibukota Pradesh. Di sana, para orangtua menjual anak mereka seharga 100 rupee atau 1,5 dolar AS untuk dijadikan pekerja. Berdasarkan data Itanagar Childline, antara tahun 2016 hingga 2017 terdapat 91 kasus pekerja anak di wilayah tersebut. Sebanyak 26 anak kini telah dipulangkan ke keluarganya.
Selain dijual orangtua, ada pula motif seperti inisiatif pribadi dari anak untuk bekerja demi menghidupi orangtua. Misalnya Rinki (12) dari wilayah Ranchi di Utara India, yang menerima tawaran sebagai pembantu rumah tangga.
"Mereka bawa saya langsung ke sebuah rumah. Ada dua wanita dan seorang pria di situ. Mereka tak punya anak. Mereka bilang, 'Kami kasih Anda 5.000 rupee (100 dolar AS)'," kisah Rinki.
Tak jarang, anak-anak yang dijual ini rentan menjadi korban kekerasan. Misalnya Rinki yang awalnya ditawari pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Kenyataannya, ia disekap di dalam sebuah toko dan diperkosa beramai-ramai. Ia bahkan dimasukkan ke dalam karung lalu dihanyutkan ke sungai.
Pekerja Anak: Diupah Kecil dan Tak Banyak Menuntut
Berdasarkan sensus nasional India 2011, tercatat ada lebih dari 4 juta pekerja anak dengan rentang usia 5-14 tahun. Sedangkan laporan International Labour Organization (ILO) tahun 2015 mengungkapkan sekitar 5,7 juta anak India usia 5-17 tahun jadi pekerja. UNICEF memperkirakan jumlah yang jauh lebih tinggi: 28 juta pekerja anak.
Yuvraj Dilip Patil dalam tulisannyaPoverty and Child Labour in India: Socio-Legal Perspective mengungkapkan bahwa perdagangan anak disebabkan oleh kemiskinan dan minimnya jaminan sosial. Dari 1 miliar lebih penduduk India, sekitar 300 juta-400 juta penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Mayoritas penduduk miskin tinggal di pedesaan.
Anak-anak dalam keluarga miskin sulit mengakses pendidikan sehingga minim keterampilan. Walhasil, mereka dijual atau dipekerjakan guna memperoleh sejumlah uang.
Menurut laporan Reuters, pekerja anak cenderung terkonsentrasi di sektor pertanian. Jumlahnya mencapai separuh dari total jumlah pekerja anak di India. Seperempat lainnya bekerja di sektor manufaktur, sementara sisanya jadi buruh cuci piring, memotong sayur atau membersihkan rumah majikan.
Baca juga: Ekonomi India Moody di Bawah Modi
Selain latar belakang kemiskinan, pekerja anak juga banyak direkrut karena dapat diupah murah. Misalnya Rajinder, pemilik sebuah pabrik di India yang mempekerjakan orang dewasa dan anak-anak.
“Saya mengupah pekerja 300 rupee (4,5 dolar AS) per hari, tapi untuk buruh di bawah umur saya cukup bayar 100 rupee (1,5 dolar AS) per hari. Ini penghematan luar biasa,” ujar Rajinder kepada BBC.
Tak hanya di kalangan para pengusaha atau pebisnis, pekerja anak juga digemari para pejabat India.
"Senin lalu kami menyelamatkan seorang anak dari rumah mantan menteri," aku Jumtim Minga, seorang aktivis anak di Itanagar.
"Seperti dia [mantan menteri], sebagian besar para pembeli [pekerja anak] adalah tokoh-tokoh berpengaruh, banyak yang bekerja di pemerintahan. Mereka mempekerjakan anak karena tak harus membayar apapun. Anak juga tak banyak menuntut sehingga pemilik bisa memperlakukan mereka layaknya barang," lanjut Minga.
Celah Hukum
Faktor lain yang tak kalah penting adalah lemahnya penegakan hukum. India telah memberlakukan UU Pelarangan Pekerja Anak (1986) yang pada pasal 5 telah melarang anak-anak yang berusia di bawah 14 tahun untuk bekerja.
Namun, pasal yang sama juga menjelaskan bahwa anak-anak diizinkan untuk bekerja di sektor bisnis keluarga, industri hiburan (misalnya untuk periklanan), film, serial televisi, atau di bidang olahraga, asalkan tak mengganggu pendidikan.
Selain itu, anak-anak yang berusia 15 hingga 18 tahun juga diizinkan bekerja kecuali di sektor pertambangan dan industri yang dekat dengan zat-zat berbahaya dan mudah terbakar dan melibatkan proses yang berbahaya.
Baca juga: Ada Penambang Anak di Balik Baterai Alat Elektronik Kita
Pemerintah pun dihujani kritik dari para aktivis anak. Undang-undang ini berpotensi mendorong anak-anak untuk putus sekolah demi mencari uang. Sedangkan mereka yang tak mampu bersekolah, otomatis akan bekerja. Entah atas kemauan orangtua atau inisiatif pribadi.
"Tidak ada definisi yang jelas tentang siapa keluarga [dalam undang-undang] itu," kata Bidisha Pillai, Direktur Advokasi dari Save the Children, lembaga amal asal Inggris.
"Bukan hanya ibu dan ayah, bisa juga paman, bibi, saudara laki-laki, saudara perempuan."
Menurut pemerintah, kelonggaran bagi anak untuk bekerja saat libur atau setelah pulang sekolah bertujuan untuk menyeimbangkan pendidikan dan kenyataan ekonomi India, di mana orangtua bergantung pada anak-anak untuk membantu mereka di ladang atau meneruskan usaha keluarga.
"Peraturan ini bertujuan supaya kita bisa menerapkannya secara mudah," kata Bandaru Dattatreya, Menteri Tenaga Kerja India di hadapan parlemen.
"Karena itulah kami menerapkan beberapa kelonggaran."
Walhasil, para pejabat dan orang-orang kaya tetap mempekerjakan anak di bawah umur akibat celah regulasi tersebut. Rajinder sang pemilik pabrik, misalnya, tak peduli jika anak-anak itu hanya boleh bekerja di lingkungan usaha keluarga.
“Ini bukan masalah besar,” ujar Rajinder.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Windu Jusuf