Menuju konten utama

Kementan: Tradisi Mbrandu Tingkatkan Risiko Kasus Antraks

Mbrandu merupakan tradisi di wilayah Gunungkidul yakni warga mengkonsumsi atau menyembelih hewan yang sudah mati.

Kementan: Tradisi Mbrandu Tingkatkan Risiko Kasus Antraks
Penyuntikan vaksin kerbau untuk mencegah infeksi bakteri Antraks. ANTARA FOTO

tirto.id - Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Nuryani Zaenuddin menyampaikan, adanya tradisi mbrandu atau purak di Gunungkidul, Yogyakarta, memicu risiko tinggi penyebaran kasus antraks di masyarakat.

Mbrandu, kata Nuryani, merupakan tradisi di wilayah Gunungkidul yakni warga mengkonsumsi atau menyembelih hewan yang sudah mati. Jadi hewan yang sudah ingin mati atau sudah mati, disembelih dan dibagikan gratis kepada warga.

“Ini adalah yang paling meningkatkan faktor risiko terjadinya kasus antraks,” kata Nuryani dalam konferensi pers daring yang diikuti reporter Tirto, Kamis (6/7/2023).

Gunungkidul sendiri telah dinyatakan sebagai wilayah endemis antraks oleh Kementan. Terlebih, suatu wilayah yang telah tersebar spora dan bakteri antraks di dalamnya, akan sulit terlepas dari kasus penyakit antraks.

“Antraks sekali lagi tidak bisa dibebaskan, tapi hanya bisa kita kendalikan,” kata Nuryani.

Antraks merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus Anthracis. Bakteri ini bisa menginfeksi hewan peliharaan – terutama ternak ruminansia – dan dan masuk dalam kategori penyakit zoonosis atau dapat menyebar kepada manusia dari hewan terkontaminasi.

Bakteri antraks juga dapat berubah menjadi spora yang menetap pada tanah hingga puluhan tahun. Spora ini juga bisa langsung menginfeksi manusia apabila terkontaminasi lewat luka pada tubuh, makan dan minum dengan kandungan spora antraks.

Nuryani menambahkan, antraks dapat dikendalikan dengan program vaksinasi hewan ternak yang telah berjalan puluhan tahun dilakukan pemerintah. Kemudian dengan kontrol lalu lintas hewan dari suatu daerah yang teridentifikasi antraks, agar tidak menyebar ke daerah lain.

Sayangnya, masih ada persepsi yang membuat masyarakat jarang melaporkan kasus kejadian kematian hewan ternak di daerahnya.

“Jika ada kematian (hewan ternak) suatu daerah, biasanya tidak mau dilaporkan sehingga terjadi panic buying. Dan akan berpindah dari satu daerah ke daerah lain,” ungkap Nuryani.

Keterbukaan informasi menjadi penting, kata Nuryani, dalam penanganan dan pencegahan antraks. “Seharusnya dilaporkan saat ternak itu sudah mati, sehingga bisa dilakukan penelusuran,” sambungnya.

Hingga saat ini ada tiga kasus kematian terkait antraks di Gunungkidul. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menyatakan bahwa masih ada puluhan warga di sana yang memiliki hasil sero survei positif gejala antraks.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi menegaskan, warga dilarang mengkonsumsi hewan mati karena berisiko terhadap kesehatan.

Imran menyatakan bahwa antraks pada manusia bisa ditangani jika segera dilakukan perawatan dan mencegah tersebarnya penyakit tersebut.

“Untuk masyarakat kalau terjadi gejala-gejala yang kami sampaikan, seperti kulitnya melepuh atau kontak dengan sapi yang mati, itu segera lapor ke puskesmas atau faskes karena ini bisa ditangani di awal,” ujar Imran dalam kesempatan yang sama.

Baca juga artikel terkait KASUS ANTRAKS atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri