tirto.id - Staf Ahli Kementerian Koperasi dan UKM, Luhur Pradjarto, meminta kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak mengeluarkan kebijakan diskriminatif menguntungkan pengusaha tertentu terkait pelabelan 'berpotensi mengandung BPA' khusus kemasan air minum galon berbahan polikarbonat.
Menurutnya, kebijakan itu harus ditujukan untuk kepentingan bersama, baik semua perusahaan maupun masyarakat.
“Kebijakan itu harus ditujukan untuk kepentingan bersama bukan untuk sekelompok tertentu saja. Ini ada kepentingan perusahaan dan kepentingan kepada masyarakatnya,” ujarnya dalam pernyataannya, Rabu (9/11/2022).
Kementerian Koperasi dan UKM akan selalu mengayomi dan melindungi para pengusaha UMKM dari kebijakan-kebijakan yang bisa menghambat keberlangsungan usaha.
"Tapi, itu juga harus dilakukan sesuai prosedur,” tukasnya.
Asosiasi di Bidang Pengawasan dan Perlindungan terhadap Para Pengusaha Depot Air Minum (Asdamindo) mengakui sangat dirugikan dengan adanya wacana BPOM yang akan melabeli 'berpotensi mengandung BPA' hanya terhadap galon guna ulang dengan alasan membahayakan kesehatan.
Menurut Asdamindo, wacana yang belum ada buktinya seperti kasus etilen glikol yang saat ini sudah jelas-jelas banyak menyebabkan anak-anak meninggal, seolah dipaksakan untuk diterapkan.
“Kita gabung asosiasi selama ini sudah 10 tahun, tapi tidak ada keluhan dan komplain dari para konsumen bahwa mereka menderita penyakit. Padahal kita kan memakai galon yang sama dengan yang diproduksi kawan-kawan dari industri air minum dalam kemasan atau AMDK,” ujar Sekjen Asdamindo, M Imam Machfudi Noor.
Dia mengutarakan, Asdamindo selaku organisasi gabungan dari depot air minum isi ulang pasti mengalami dampak yang jauh lebih besar jika wacana kebijakan pelabelan BPA ini jadi dilaksanakan.
Padahal, tegasnya, mengenai bahayanya BPA pada kemasan galon guna ulang ini masih belum ada buktinya di masyarakat. Jadi, kata Imam, sebenarnya sangat aman.
“Kami dari Asdamindo yang selama ini memakai galon yang sama dengan yang dipakai para industri AMDK, tentunya sangat berpengaruh besar sekali terhadap kebijakan tersebut,” ucapnya.
Dia menyebutkan pangsa pasar satu depot air minum isi ulang itu memang hanya 200 sampai 300 rumah saja. Tapi, katanya, jumlah depot isi ulangnya sangat luar biasa.
“Di satu RW saja di kompleks saya sudah ada tujuh depot air minum isi ulang. Apalagi kalau kita bicara se-Indonesia atau di daerah yang hawanya panas. Bahkan, usaha depot air minum isi ulang ini sudah masuk ke kampung-kampung,” tuturnya.
Oleh karena itu, jika kebijakan pelabelan BPA terhadap galon guna ulang ini jadi dilaksanakan, dia memastikan akan banyak usaha masyarakat di depot air minum isi ulang ini yang gulung tikar.
“Bisa dibayangkan akan banyak masyarakat yang akan menganggur akibat adanya kebijakan yang hanya menakut-nakuti para konsumen kami. Sekali lagi, kebijakan pelabelan BPA ini terlalu mengada-ada karena belum ada buktinya menyebabkan penyakit di masyarakat,” katanya.
Mengenai adanya bahaya kesehatan dari galon guna ulang seperti yang dituduhkan BPOM itu, Imam malah mengatakan bahwa produk air Asdamindo kemungkinan jauh lebih berbahaya dibanding produk industri AMDK.
“Dari segi kualitas kita mengakuilah itu, karena peralatan kita juga sangat jauh beda dari yang digunakan kawan-kawan dari industri. Jadi, untuk produksinya, mungkin sebenarnya bahayanya lebih bahaya kita kalau misalkan hanya karena galonya yang dari bahan PC atau polikarbonat,” tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menemukan potensi tercemarnya air minum dalam kemasan oleh bahan kimia Bisphenol A atau BPA yang menempel pada plastik.
"Pola pengangkutan dan penyimpanan yang tidak benar, karena terpapar sinar matahari dapat merusak kualitas produk air minum dalam kemasan," kata Tulus saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (23/2/2022).
Tulus mengatakan hasil riset YLKI menemukan sebagian besar air minum dalam kemasan (AMDK) diangkut secara tidak layak dan tidak memenuhi standar.
"Pengangkutan AMDK mayoritas dengan menggunakan angkutan atau truk terbuka 204 toko atau 61 persen, menggunakan roda dua atau tiga, dan becak secara terbuka sebanyak 81 toko atau 24 persen, menggunakan mobil atau truk yang ditutup terpal 5 toko 1 persen, dan hanya 42 toko 13 persen yang menggunakan truk atau mobil tertutup," jelasnya.
Tulus meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk melakukan edukasi dan perbaikan regulasi dalam industri air minum dalam kemasan.
"Diperlukan adanya pengaturan terkait tulisan peringatan pada label galon air minum dalam kemasan seperti: 'Kemasan Ini Mengandung BPA' serta 'Produk air minum dalam kemasan galon ini Berpotensi terjadi migrasi BPA Untuk Perhatian Konsumen Usia Rentan'," kata dia.
Tulus bilang hal ini penting agar produsen dan penjual dalam mendistribusikan dan menyimpan air minum dalam kemasan lebih memenuhi standar keamanan.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang