tirto.id - Baru-baru ini, seorang influencer di platform TikTok mengunggah video tentang kadar bromat dalam air minum dalam kemasan (AMDK) Le Minerale yang disebut melebihi batas aman, dan karenanya bisa memicu kanker.
Video itu memicu berbagai reaksi negatif dan banyak menimbulkan pertanyaan. Hal ini wajar, sebab si influencer ini tidak punya sumber data yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan –hanya memakai rujukan numerik dari tabel Excel, tanpa ada sumber data resmi sama sekali.
Tak mengherankan kalau banyak sanggahan muncul. Pemeriksa fakta (fact-checker) dari tirto.id pun juga sudah melabeli video itu sebagai salah dan menyesatkan (false and misleading). Bahkan Kementerian Komunikasi dan Informatika sudah melabeli video itu sebagai hoaks.
Di luar konten yang memang menyesatkan itu, hal yang terasa makin penting untuk diperbincangkan dan didiskusikan adalah tentang etika seorang influencer dalam menyebarkan informasi. Dalam kasus ini, dan sayangnya kasus ini bukan kejadian pertama di Indonesia, influencer yang tidak punya kapasitas keilmuan menyebarkan informasi salah dan menyesatkan. Hasilnya, informasi salah dan bohong ini menghasilkan kepanikan dalam masyarakat dan merugikan banyak pihak.
“Sekarang adalah masa-masa yang berbahaya. Tidak pernah ada masa seperti sekarang, ketika orang-orang bisa punya begitu banyak akses ke ilmu pengetahuan, tapi malah enggan belajar sesuatu.”
Mungkin apa yang dikatakan Tom Nichols, penulis The Death of Expertise, itu benar belaka. Hari ini, orang merasa bisa jadi pakar segalanya tanpa perlu bertungkus lumus dan mendermakan hidup di bidangnya. Istilah seorang kawan: seolah paham perkara bubur ayam, padahal baru makan cakwenya.
Hal ini terasa makin umum belakangan, apalagi di media sosial, ranah yang seringkali membuat orang merasa jemawa, merasa tak ada konsekuensi dari apa yang diucapkan dan disebarkan, sebuah zona yang kerap bikin manusia memilih menepuk dada, enggan menundukkan kepala dan minta maaf jika ada salah.
tirto.id memutuskan berbincang degan Prof. Dr. apt. Zullies Ikawati, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada tentang bagaimana etika dalam membaca dan menyebarkan data hasil uji laboratorium. Kami juga sedikit menyinggung tentang bromat dalam air minum, dan bagaimana upaya pemerintah serta industri memastikan produk AMDK layak dikonsumsi.
Bagaimana tanggapan Prof. Zullies tentang orang yang sembarangan menginterpretasikan dan mengunggah data uji laboratorium?
Tentu saja secara etikanya tidak boleh, karena berpotensi salah menginterpretasikan, apalagi jika kemudian menyebarluaskannya. Sebenarnya juga, yang memiliki hak atas pemeriksaan lab adalah yang meminta pemeriksaan. Misal suatu produsen memeriksakan produknya, maka hasil pemeriksaannya adalah hak produsen tersebut. Haknya juga untuk menyimpan atau akan menyebarluaskan ke publik. Sama halnya dengan hasil pemeriksaan lab pada orang.
Kecuali kalau data itu adalah data domain publik, ya mungkin memang dari pemilik data itu memang sudah setuju mempublikasikan, dan jelas dari sumbernya mana, maka ya nggak apa-apa. Itu kan berarti memang sudah hak publik untuk menyebarkan, ya. Tapi kalau di video yang kemarin viral itu kan kita belum tahu juga. Memang kalau saya lihat sih ada tendensi, ya. Karena kan sepertinya (sumber datanya) nggak jelas dan dalam bentuk video yang sangat singkat. Kita sebagai pemirsa itu tidak bisa lihat ini sebetulnya sumbernya berasal dari mana.
Kemudian, Prof, seringkali publik itu kan banyak tidak tahu: sebenarnya data lab itu yang akurat, lengkap, kontekstual itu seperti apa sih ciri-cirinya, Prof?
Iya, kalau data itu resmi tentu harus jelas dari lab mana. Dan labnya itu sendiri kan juga nanti harus yang berakreditasi, misalnya. Bahkan ada Komite Akreditasi Nasional (KAN), yang akan mengakreditasi lab-lab itu karena hasil-hasil itu juga bisa berbeda-beda antar lab. Makanya kita harus mempercayai pada lab yang sudah terakreditasi. Kalau di video itu tidak jelas sumbernya dari mana, jadi kita juga meragukan ini hasil beneran atau nggak.
Menurut Profesor Zullies, sebenarnya format dan platform yang tepat untuk menyebarkan atau memberi semacam edukasi untuk data lab itu pada publik itu seperti apa, sih?
Ya, sebetulnya tidak ada format yang baku untuk menyebarkan data kepada publik. Kalau dari sisi ilmiah tentu saja kita dalam bentuk publikasi resmi ya, di jurnal dan sebagainya. Itu datanya benar-benar harus akuntabel, kan? Harus bisa dicek juga, makanya metodenya seperti apa, sampelnya apa, itu kan kalau dalam publikasi ilmiah kan jelas. Tetapi kalau yang sifatnya bukan ilmiah ya, lebih ke populer, tentu disajikan dalam bentuk yang berbeda.
Kemudian konten bisa dibuat dalam bentuk tabel atau figure, dengan keterangan yang cukup, supaya tidak salah interpretasi. Bentuknya bisa dibuat animasi, video, atau gambar biasa, tergantung sasaran dan medianya. Yang penting digarisbawahi adalah datanya halal ya, artinya bahwa penyebar data memang sudah berhak untuk menyebarkan. Dan sangat penting menyebutkan sumber datanya dari mana, supaya masyarakat bisa merujuk data tersebut, sekaligus untuk cross check.
Selain itu, ada juga jenis data konfidensial, data yang harusnya rahasia, misalnya data perusahaan atau apa tapi kemudian diperluaskan itu sudah ilegal namanya.
Dan itu ada konsekuensi secara hukum juga ya?
Kalau yang disebarkan datanya nggak terima, ya, bisa dituntut ke meja hijau. Apalagi sampai merugikan secara finansial. Bisa aja, kan itu pembohongan publik.
Apakah Prof Zullies punya tips untuk bagaimana menghindari misinterpretasi dan misinformasi ketika menyebarkan data-data lab?
Pastikan datanya valid, dari sumber yang terpercaya. Misal ada data lab yang tersebar di media sosial, cek sumber penyebarnya, ada info rujukannya tidak. Bahasanya tendensius apa tidak.
Sekali lagi, data yang boleh disebarluaskan adalah data yang memang halal disebarluaskan. Artinya bahwa itu adalah domain publik. Katakanlah misalnya saya ambil data dari BPS, atau mungkin data dari yang sudah jadi domain publik ya, misalnya di Kementerian, atau lembaga tertentu.
Kemudian kita ingin membagikan lagi dengan cara kita, kita mau bikin supaya lebih mudah dipahami oleh masyarakat misalnya, karena kadang data-data itu kan bentuknya tabel atau mungkin angka-angkanya banyak gitu. Kita ingin bikin visualnya agar mudah dipahami, nah boleh-boleh aja selama datanya itu valid dari kemudian terpercaya.
Jadi mungkin di dalam penampilan data kita pun harus sebutkan ini misalnya dari data lab ini, ini dari lab mana, kemudian kapan memeriksanya dan sebagainya. Jadi menyediakan data agar lebih mudah dipahami memang perlu kreativitas.
Yang penting, datanya juga valid dan akurat gitu, dan sah.
Dan emang selayaknya konten kreator itu juga memperdalam ilmunya lah, ya, agar tidak menjerumuskan.
Iya, dan konten kreator itu harus bebas nilai ya. Netral gitu loh, menyampaikan itu karena ingin menyampaikan data gitu lho, bukan karena faktor-faktor yang tadi, misalnya ada pesan-pesan, apalagi ingin black campaign.
Karena kalau dalam dunia sains itu kan katanya kan ilmuwan boleh salah tapi tidak boleh bohong ya, Prof.
Iya, betul. Salah itu kan memang wajar ya, manusia itu kan tempatnya salah, lupa gitu. Tapi Tapi ketika dia tahu dia salah, dia bisa memperbaiki atau minta maaf dan kemudian merevisi dan sebagainya gitu, nggak ada masalah.
Lalu soal ini, Prof. Mungkin kalau dirunut ulang, sebenarnya konten-konten seperti ini bukan yang pertama, ya. Namun kalau dalam pandangan Prof. Zullies, apa sih sebenarnya konsekuensi berbahaya dari menyebarkan data, terutama data dari lab yang gak akurat dan menyesatkan itu?
Ya, pastinya meresahkan. Yang pertama kan meresahkan masyarakat. Orang sudah terlanjur percaya pada informasi tertentu, ternyata informasinya salah. Ini juga merugikan buat yang namanya dicatut, infonya difalsifikasi. Bisa rugi nama baik, dan juga pasti rugi secara finansial.
Tapi kalau kayak gitu itu dalam kasus ini lah ya kalau misalkan yang pernah profesor tahu gitu pernah ada gak sih contoh kasus yang penyebaran data lab atau data apapun yang salah gitu ya, bukan menjawab dan ternyata akhirnya berdampak besar ke masyarakat.
Ya, baru-baru ini ada influencer yang menyebutkan bahwa kandungan bromat pada Le Minerale sekian, dan sudah berbahaya. Ini pastinya menyebabkan kehebohan. Tapi, perlu dicek kebenaran tabel yang ditampilkan dalam video tersebut. Sumbernya dari mana? Dari lab apa yg memeriksa. Jika memang shahih dan angka-angka tersebut dapat dipertanggungjawabkan, sebaiknya dipublikasikan secara formal, dan dibahas. Itu lebih fair.
Ini nyambung dengan format penyajian data, ya. Jika memang banyak angka-angka yang perlu diperbandingkan, baiknya menurut saya jangan dalam bentuk video yang umumnya durasinya pendek. Sajikan dalam bentuk gambar tidak bergerak disertai sumbernya, supaya masyarakat bisa mempelajarinya. Kecuali ada maksud lain ya... itu hal yg berbeda. Kadang ada yang justru dibuat sengaja dengan singkat, tapi ditonjolkan yang ingin disampaikan walaupun tidak akurat, dan tidak memberi kesempatan bagi yang melihat untuk mencerna. Yang diingat hanya angka yang ingin ditonjolkan dan bahaya.
Profesor Zullies punya bayangan soal langkah apa yang sebaiknya ditempuh jika ada pihak-pihak yang dirugikan dari misinformasi semacam ini?
Iya, di sini tentu yang dirugikan yang perlu mengklarifikasi. Dan dalam mengklarifikasi itu harus memberikan data sanggahannya. Dan tentu data itu yang harus yang valid dan juga yang bisa dipercaya gitu. Jadi Jadi dalam konteks yang kemarin itu kan, kan juga dari pihak produsennya kan sudah memberikan sanggahan data labnya seperti apa. Memang butuh waktu ya untuk mengembalikan kepercayaan itu, tapi selama datanya itu valid dan bisa meng-counter data yang miss tadi, maka kepercayaan publik bisa kembali.
Saya ingin sedikit tanya-tanya soal bromat ya ya, Prof. sebenarnya, kalau dalam standar regulasi di Indonesia dan internasional itu sebenarnya batas aman kandungan bromat dalam air minum dalam kemasan itu seperti apa?
Iya, jadi sebetulnya kan BPOM itu mengacunya pada WHO, ya, dan juga pada standar nasional, SNI. Jadi yang dipakai adalah batas aman bromat itu 10 Parts Per Billion (PPB) atau 10 mikrogram per liter. Itu yang diacu oleh WHO dan BPOM.
Kemudian, metode pengujian air yang digunakan untuk menentukan kadar dalam air minum itu seperti apa, sih, Prof?
Ya, jadi itu ada alatnya sih mas, namanya kromatografi. Kalau kami di farmasi juga biasa menggunakan itu, ya. Gak cuma masalah bromat ya, tapi bisa mengukur macam-macam juga. Alat yang paling sering dipakai itu kromatografi cair kinerja tinggi. Mungkin agak terlalu teknis kalau saya sampaikan, ya. Itu ada fase geraknya, metanol-etanol, ada laju airnya sekian, ya seperti itulah.
Kemudian, seberapa sering dan siapa sih yang berhak menguji kadar bromat dalam air minum secara industri gitu ya, Prof?
Ya tentu kalau industri itu kan ketika akan mendaftarkan dia wajib menyampaikan dokumen-dokumennya. Salah satunya adalah berbagai kadar macam-macam itu tadi kan salah satunya bromat. Jadi tentu dia sendiri ketika registrasi harus memiliki data itu. Ya nggak cuma bromat, jadi semua komponen yang disyaratkan itu harus dipenuhi. Nanti secara berkala mungkin dia harus melaporkan lagi. Jadi secara enam bulan sekali, bisa melakukan pemeriksaan ulang dari produknya. Dan pemeriksaannya tentu di laboratorium yang independent dan terakreditasi gitu ya.
Lalu sebenarnya seperti apa sih regulasi di Indonesia dalam mengatur batas aman kandungan air minum.
Regulasi tentang minuman dan makanan di Indonesia adalah oleh BPOM dan Badan Standardisasi nasional (BSN). Untuk AMDK dalam registrasinya dan pengawasannya mengacu ke SNI yang diatur standarnya oleh BSN, di mana persyaratan mutunya mengikuti peraturan SNI 3553:2015.
SNI Air Mineral diberlakukan secara wajib oleh Kementerian Perindustrian sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permenperin Nomor 78 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan SNI Air Mineral, Air Demineral, Air Mineral Alami, dan Air Minum Embun Secara Wajib.
Ini artinya, produk air mineral yang beredar di pasar domestik dan diproduksi oleh industri di tanah air maupun produk impor harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Dengan standar, dijamin keamanannya dan teruji oleh Lembaga penilaian kesesuaian yang terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Bagaimana sih sebenarnya peran pemerintah dan industri dalam memastikan keamanan air minum?
Jadi pemerintah kan sudah membuat standar-standarnya tadi. Itu kan artinya peran pemerintah adalah dengan membuat standar untuk menjamin mutu. Kemudian nanti ada yang mengawasi, ya. Kemudian BPOM itu kan sebagai badan pengawas. Jadi dia juga nanti bisa melakukan pemeriksaan secara berkala gitu. Sedangkan industri tentu punya tanggung jawab terhadap produknya, jadi ketika di awal dia harus menuhi syarat mutu tadi, dan secara berkala nanti dia harus melaporkan.
Jadi ya itu tadi: kerjasama antara pemerintah dan industri itu menjamin keamanan dari air minum.
Berarti intinya masyarakat sebenarnya gak perlu khawatir terhadap keamanan dari minum dalam kemasan ini, ya?
Iya, karena semua air minum selama produknya tadi sudah SNI, kan Insya Allah sudah dipastikan aman ya, artinya bisa dijamin karena sudah diperiksa. Namun dalam perjalanannya itu juga perlu ada pemeriksaan secara berkala oleh badan yang terakreditasi untuk memastikan agar kualitas produknya terjaga.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis