Menuju konten utama

Kematian Frater Papua dan Seruan Jalan Damai Menyelesaikan Konflik

Masalah Papua harus diselesaikan dengan dialog, bukan kekerasan yang menimbulkan korban, termasuk dari kalangan gereja

Kematian Frater Papua dan Seruan Jalan Damai Menyelesaikan Konflik
Massa dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) menggelar aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta, Selasa (1/12/2020). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Silvester Hisage, seorang calon imam atau frater dari Keuskupan Sorong, Manokwari, Papua Barat, ditemukan tewas di dalam parit sekitar Perumnas III, Waena, Jayapura. Mayatnya ditemukan pada Kamis pagi, 24 Desember, sekitar pukul 9 waktu setempat, oleh mahasiswa Universitas Cenderawasih yang diduga masih ada hubungan kerabat.

Di hari Natal, sekitar pukul 17, Sil disemayamkan di aula Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur, almamaternya sebagai mahasiswa pascasarjana. Sehari kemudian, STFT dan gereja memberangkatkan jenazah ke rumah orang tua di desa asal, Wamena, lalu jenazah dikremasi.

Sampai sekarang belum jelas duduk perkara kasus ini. Namun kematian (calon) pemuka agama di wilayah paling bergejolak di Indonesia akan selalu memicu tanda tanya dan dugaan motif politik. Oleh karena itu, setelah kasus ini, desakan agar jangan ada lagi ‘pembunuhan politik’ kembali mengemuka.

Mgr. Petrus Canisius Mandagi, Uskup Agung Keuskupan Agung Merauke, mengatakan “orang Papua telah dijadikan alat untuk kepentingan politik.” “Sepertinya nyawa orang Papua tiada harga lagi,” kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (29/12/2020).

Oleh karena itu semua kekerasan ini harus dihentikan, katanya. Dia juga bilang polisi harus mengusut tuntas kasus ini.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Ahmad Musthofa Kamal mengklaim perkara ini sedang ditangani. Mereka telah memeriksa empat saksi.

Seruan untuk Menghentikan Kekerasan

John Jonga, seorang pastor yang telah bekerja selama 30an tahun di Papua, menjelaskan komunitas agamalah yang selama ini paling dekat dengan masyarakat Papua. Oleh karena itu mereka memahami situasi dan lebih dari itu berdiri di atas semua golongan--baik OPM maupun aparat. Mereka dapat diandalkan untuk, misalnya, pemerintah agar dapat mengetahui situasi sebenarnya. Kepentingan mereka hanya kemanusiaan.

“Kalau tidak ada kelompok kami,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa, memberi contoh, “hanya ada ‘kelompok baku tipu’.” OPM bilang tentara Indonesia yang bunuh, [sedangkan] tentara Indonesia bilang OPM.”

Berkat kiprahnya menyuarakan praktik kekerasan di sana, John menerima penghargaan HAM Yap Thiam Hien Award pada 2009.

John khawatir jika kasus serupa terhadap pemuka agama seperti ini berulang, tak ada lagi yang berani bersuara. “Tentang frater Sil, ini tidak lepas dari strategi, entahlah, apakah dari pemerintah Indonesia atau kelompok tertentu untuk ‘mendiamkan’ orang Papua.”

Sebelum Silvester, pada September, seorang pendeta Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya bernama Yeremia Zanambani, 63 tahun, tewas ditembak. Investigasi independen menyebut pelaku adalah TNI.

Sebulan kemudian, Rufinus Tigau, seorang guru agama di Paroki Jalae, Sugapa, Intan Jaya, meregang nyawa setelah jadi sasaran tembak aparat. Kepolisian setempat mengklaim dia adalah OPM yang menyerang anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Intan Jaya Bambang Purwoko serta dua anggota TNI AD.

Ada pula kasus lain yang menimpa pemuka agama tapi tidak sampai mengakibatkan kematian. Menurut laporan Gerakan West Papua Melawan 2019: Memprotes Rasisme dan Menuntut Hak Menentukan Nasib Sendiri, dirilis Tapol(dot)org, di Deiyai, setahun lalu, saat pecah aksi-aksi menentang rasisme, tiga pembela HAM yang juga imam Katolik diganggu dan diintimidasi aparat.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI Cahyo Pamungkas mengatakan dari kasus-kasus di atas, identitas sebagai pemuka tak bermakna apa-apa di Papua. “Siapa saja yang menyuarakan orang asli Papua, apakah itu pastor, lembaga swadaya masyarakat, pendeta, jurnalis, itu akan berisiko,” kata dia, Senin

Atas semua kasus-kasus ini, 147 pastor yang berkarya di Tanah Papua berkumpul dan berdeklarasi pada peringatan hari HAM 9 Desember lalu: bahwa kekerasan tak menyelesaikan masalah. Mereka mendesak aparat dan pemerintah dan OPM duduk satu meja menggelar dialog, alih-alih memperpanjang pendekatan kekerasan yang membuat sipil termasuk pemuka agama terjepit.

Selain otoritas struktural, mereka juga mengkritik gereja yang tampak diam saja dengan kasus-kasus ini.

“Mengapa bapak-bapak pimpinan Gereja Katolik Indonesia (GKI) tidak membahas secara holistik, serius, dan tuntas mengenai konflik terlama di Tanah Papua dalam rapat tahunan Konferensi Waligereja Indonesia?” ujar Pastor John Bunay Pr, juru bicara ratusan pastor. “Di manakah suara para pemimpin kami saat ini untuk menyikapi tragedi kemanusiaan di Bumi Cenderawasih ini?”

Desakan serupa juga muncul dalam diskusi yang diselenggarakan Biro Papua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Pada pertengahan Desember lalu para narasumber mengatakan pemerintah telah mengabaikan pendekatan humanis dan adil di Papua. Mereka menyoroti pendekatan keamanan yang bahkan telah menyasar pekerja gereja.

Solusi yang mereka tawarkan pun serupa, bahwa perlu ada pendekatan dialog yang setara dan bermartabat dan menghilangkan jalan kekerasan.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN DI PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino