tirto.id - Penduduk Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua terpaksa mengungsi di Kompleks Paroki Santo Mikael Bilogai setelah Ramli, seorang warga sipil sekaligus pemilik kios, ditembak mati pada 8 Februari 2021. Hampir sepekan meninggalkan rumah, aparat menyatakan kondisi kampung telah kondusif. Maka warga dipersilakan kembali ke kediaman masing-masing.
Tapi ketenangan warga yang kembali ke desa ternyata tak lama. Mereka kembali terusik pada 15 Februari. Dua anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) melintasi pos penjagaan TNI dan memuntahkan peluru ke aparat yang mengenai personel Satgas Yonif R 400/BR bernama Prada Ginanjar Ananda. Luka di bagian perut membuatnya tewas.
Aparat mengejar pelaku sembari menembak tanpa arah. Mereka menyisir Kampung Mamba hingga Kampung Amaisiga. Di Kampung Amaisiga, yang sedang dalam proses pemekaran dari Kampung Mamba, TNI meminta penduduk keluar dari rumah menggunakan pengeras suara. Aparat meminta penduduk berkumpul di Gereja Katolik Hati Kudus Yesus Tanah Putih Wogoitogapa.
Kira-kra 260 warga resmi menjadi pengungsi (lagi).
Ada warga yang alih-alih mengikuti instruksi malah berlari ketakutan dan bersembunyi. Di antaranya itu ada calon Kepala Desa Amasiga yang akan dilantik, Janius Bagau (33). Tapi dia akhirnya keluar dari tempat sembunyi karena merasa harus bertanggung jawab sebagai calon pemimpin kampung.
Dalam perjalanan menuju Kampung Amaisiga, Janius bertemu dengan seorang ibu yang baru pulang dari kebun dan tidak mengetahui instruksi aparat. Setelah dijelaskan Janius, mereka berjalan ke gereja.
Enam aparat menginterogasi warga soal penembakan Prada Ginanjar di halaman gereja. Barang bawaan mereka juga diperiksa. Janius turut berkumpul, ponselnya dirampas, dan aparat memintanya untuk mengaktifkan ponsel itu guna diperiksa.
“Mereka mulai menganiaya dia (Janius) di depan banyak orang,” ucap Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika Fr. Saul Paulo Wanimbo, mengisahkan ulang peristiwa itu kepada reporter Tirto, Kamis (8/4/2021). “Terakhir, ada anggota yang mengambil sangkur lalu menikam betis kanan Janius.”
Janius meronta sambil menahan sakit. Dia berupaya kabur. Sempat berhasil melarikan diri sebelum ditembak. Peluru menghancurkan lengan kirinya.
Janius nekat melompat ke jurang agar tak menjadi bulan-bulanan lagi. Aparat kembali menghamburkan peluru ke arah pria yang merupakan buruh lepas di kantor keuangan Kabupaten Intan Jaya itu.
===
Pukul 15, pimpinan Dekenat Moni-Puncak Jaya sekaligus Paroki Santo Misael Bilogai Pastor Yustinus Rahangiar mendapat informasi soal masyarakat yang berkumpul di Tanah Putih. Ia datang ke lokasi dan segera berkoordinasi dengan aparat agar dapat bertemu dengan warga yang ketakutan.
Pastor Yustinus meminta masyarakat bertahan di gereja. Dia juga berusaha memasok bahan makanan karena menduga mereka tak bisa kembali ke rumah cepat dan mesti bermalam. “Tapi tidak disetujui [aparat], alasannya kalau disediakan makanan maka bantuan itu akan dinikmati juga oleh TPNPB-OPM,” kata Saul.
Pastor Yustinus tak menyerah dan meminta para warga dipindahkan saja ke Kompleks Paroki Santo Mikael Bilogai, yang jaraknya sekira empat kilometer dari Gereja Tanah Putih, agar bantuan tetap dapat disalurkan. Permintaan kedua disetujui. Masyarakat ada yang naik mobil, ada pula yang berjalan kaki.
Saat itulah Pastor Yustinus tahu kabar tentang Janius. Ia memerintahkan beberapa pemuda untuk mencari tahu kabar si korban. Di perjalanan, para utusan bertemu dengan kepala dinas kabupaten yang mengendarai mobil dinas. Karena tujuannya ternyata sama, mereka memutuskan mencari Janius bersama-sama.
Sekira pukul 17, mereka mendapati Janius ditandu pakai selimut oleh dua adiknya, Sulaeman Soni Bagau (25) dan Yustinus Bagau (22). Istri Janius, Rut Sondegau, turut menemani. Mereka diangkut menggunakan mobil untuk menuju Rumah Sakit Umum Daerah Intan Jaya di Kampung Yokatapa.
Di halaman rumah sakit banyak TNI dan Polri. Ada aparat berujar kepada rombongan pengantar bahwa yang boleh masuk hanya korban, istri, serta Soni. Yustinus dan lainnya diminta kembali ke paroki.
Ketika rombongan hendak angkat kaki, aparat melihat gelang Bintang Kejora, simbol yang sangat dicurigai aparat Indonesia, melingkar di pergelangan tangan Yustinus. Alhasil pemuda itu segera ditahan untuk diinterogasi.
Selama Yustinus diinterogasi, Soni dan Rut mencari pertolongan. “Namun suaminya tak mendapatkan pelayanan medis apa pun karena sudah tak ada juru rawat di sana,” terang Saul. Mereka dibawa masuk ke dalam ruangan. Di situ Janius dan Soni dibanting, sementara Rut diminta duduk dan menyaksikan penganiayaan itu.
“Ibu ini (Rut) melihat seorang tentara ambil sangkur, lalu meletakkan sangkur di leher adik dari suaminya. Persis di leher. Lalu dia tutup mata,” imbuh Saul.
Saat ketakutan memuncak, tiba-tiba ada yang menggandeng Rut. Ternyata itu seorang suster yang mengajaknya keluar ruangan. Pukul 18.10, Pastor Yustinus dan rekannya datang untuk melihat keadaan korban, tapi aparat malah membentak dan menodong dan mengusir mereka.
Pada 16 Februari, sekira pukul 6 pagi, pihak gereja dan masyarakat kaget ketika mendapatkan informasi ketiga bersaudara itu--Janius, Sulaeman Soni, dan Yustinus--tewas di rumah sakit. Mereka meninggal diduga dianiaya aparat.
Pastor Yustinus dan yang lain segera ke rumah sakit untuk memastikan kabar itu. Setelah dipastikan ketiganya tewas, pastor mengurus serah terima jenazah.
Tiga jam berikutnya, Bupati Intan Jaya Natalis Tabuni mengundang para tokoh setempat ke kediamannya guna menyampaikan informasi kematian Bagau bersaudara. Bupati mengatakan aparat memberitahukan soal kematian itu pada pukul 23.30 atau 6,5 jam sebelum masyarakat mendapatkan informasi.
Mereka rencananya dimakamkan pada tengah hari. Sebelum dikebumikan, pihaknya membuka tiga peti kayu untuk melihat kondisi jenazah yang dibungkus kantung mayat. Saat itulah kata Saul warga melihat “pada tubuh korban terdapat banyak memar dan luka, jenazah dalam posisi tangan terikat pakai perban putih, serta ada jenazah yang telanjang.”
Akhirnya ketiga mayat itu dikuburkan dalam satu liang.
Dituding OPM, tapi Dibantah OPM
Kapen Kogabwilhan III TNI Kolonel CZI Gusti Nyoman Suriastawa mengatakan saat aparat mengecek identitas Janius di rumah sakit, “dipastikan orang tersebut... salah satu anggota kelompok bersenjata yang sering melakukan aksi teror di Sugapa dan menjadi salah satu penandatangan surat pernyataan perang kepada TNI dan Polri,” dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).
Suriastawa mengklaim Janius, Soni, dan Yustinus berusaha melarikan diri dari rumah sakit. Mereka menyerang dan berusaha merampas senjata dari aparat gabungan yang berjaga. Karena itulah “dengan sigap aparat melumpuhkan ketiga orang itu hingga tewas,” katanya.
Ia tak menjelaskan mengapa--seperti yang dikatakan Saul--“pada tubuh korban terdapat banyak memar dan luka, jenazah dalam posisi tangan terikat pakai perban putih, serta ada jenazah yang telanjang.”
Tapi Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom membantah status korban. “Tidak benar itu, mereka adalah masyarakat sipil. TNI dan Polri telah dan sedang melakukan penipuan publik,” aku dia kepada reporter Tirto, Kamis (8/4/2021).
Bagi Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, kematian tiga warga sipil ini termasuk indikasi pelanggaran HAM berat. “Karena tindakannya jelas masuk dalam unsur tindak kekerasan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000,” kata dia kepada reporter Tirto, Kamis.
Komisioner Pemantauan/Penyelidikan Komnas HAM Mohammad Choirul Anam mengaku pihaknya sedang mendalami kasus ini. “Dalam semua dimensinya, termasuk kekerasan, pengungsian, dan posibilitas terkait jarak humaniter,” ujar dia kepada reporter Tirto, Sabtu (10/4/2021).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino