Menuju konten utama

Gagalnya Pemerintah Memberikan Kedamaian di Intan Jaya Papua

Warga Intan Jaya Papua terhimpit di antara aparat Indonesia dan OPM. Pemerintah gagal memberikan kedamaian bagi mereka.

Gagalnya Pemerintah Memberikan Kedamaian di Intan Jaya Papua
Peta Papua; HL 3 Ekspresi politik Papua dibungkam sejak 1960-an, mengubah integrasi paksa rakyat Papua secara politik, ekonomi, hingga budaya. Tirto/Gery Paulandhika

tirto.id - Pada 8 Februari 2021, Ramli, seorang pemilik kios di Desa Bilogai, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, dibedil oleh kelompok bersenjata. Lokasi penembakan dekat dengan Pastoran Gereja Santo Mikael. Ia terluka lalu segera dilarikan ke RSUD Timika yang jaraknya hampir 90 kilometer.

Setelah beraksi, terduga pelaku bergerak menuju Desa Kumlagupa. Mereka memukul lonceng, tiang listrik, dan barang-barang apa pun hingga berbunyi sembari berteriak seolah merayakan kemenangan. Pastor Yustinus Rahangiar mengatakan aksi tersebut membuat masyarakat ketakutan.

Ketika hari mulai gelap, Yustinus bersama para pengurus pastoran mengumpulkan penduduk setempat untuk mengungsi ke gereja. Sedikit demi sedikit kompleks pastoran—termasuk di dalamnya gereja, rumah pastoran, dan rumah dinas—akhirnya dipadati oleh warga dari Desa Bilogai, Desa Kumlagupa, dan Desa Puyagiya.

Pastor Yustinus menyebut ada 655 pengungsi, terdiri dari 200 laki-laki dan sisanya perempuan serta anak-anak.

Peristiwa tersebut hanya satu dari tujuh kejadian mencekam di Intan Jaya yang terjadi sejak awal tahun ini. Pada kejadian pertama, anggota kelompok bersenjata membakar sebuah pesawat perintis PK-MAX ketika mendarat di Lapangan Terbang Kampung Pagamba Distrik Mbiandoga. Kedua, penembakan Prada Agus Kurniawan di daerah Titigi pada 10 Januari. Ketiga, penembakan Pratu Roy Vebrianto dan Prajurit Satu Agus Hamdani, 22 Januari. Keempat, penembakan seorang warga bernama Boni Bagau di Kampung Agapa, 30 Januari.

Kelima, penembakan Ramli. Keenam, penembakan di Kampung Mamba pada 12 Februari. Dalam peristiwa ini Praka Hendra Sipayung terluka. Ketujuh, penembakan terhadap Prada Ginanjar, tiga hari berikutnya.

Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Timika Rudolf Kambayong mengatakan peristiwa-peristiwa tersebut membuat para warga tak punya banyak pilihan selain mengungsi menyelamatkan diri. Berdasarkan informasi yang ia terima dari pastor setempat, per 15 Februari, ada 600-an pengungsi dari beberapa desa.

Dia tak tahu pasti jumlahnya karena pendataan belum dilakukan. “Pengungsian besar sedang terjadi, tapi titik tempat [mengungsi] tak terdeteksi. Ada sebagian di Nabire,” katanya kepada reporter Tirto, Kamis (18/2/2021). “Yang [mengungsi lewat] jalan darat lebih banyak. Mereka tersebar di kampung dan kabupaten terdekat dari tempat mereka.”

Dia bilang pada Senin depan Keuskupan Timika akan menerbangkan bantuan ke Intan Jaya. Saat ini menurutnya pengungsi membutuhkan pakaian, makanan dan minuman, serta tenda. Meski pemerintah setempat dan aparat juga menyalurkan bantuan, namun itu belum cukup.

Korban Perang

Ketegangan di Intan Jaya telah berlangsung menahun. Mereka yang terlibat adalah TNI-Polri di satu sisi, dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di sisi lain. Konflik bahkan dijadikan alasan pemerintah setempat untuk pergi dan meninggalkan rakyat dalam ketakutan. Mereka mengaku sering diancam kelompok bersenjata.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua Theo Hesegem mengatakan situasinya adalah masyarakat terhimpit di antara dua kelompok itu. Dan merekalah korban sesungguhnya. Dia bilang masyarakat “takut dua-dua” baik terhadap kelompok bersenjata atau aparat Indonesia.

Menurutnya pemerintah pusat gagal memberikan kedamaian bagi warga. “Pemerintahan Presiden Joko Widodo tak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua dan gagal memenuhi hak rakyat,” ujar Theo kepada reporter Tirto, Rabu. “Selama ini saya tak pernah mendengar tanggapan presiden terhadap perang di Intan Jaya.”

Pada 11 Februari lalu, Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani sebenarnya telah menegaskan pemerintah bertanggung jawab untuk melindungi warga Intan Jaya dengan mengandalkan aparat. “Aparat keamanan diminta untuk mengambil tindakan terukur dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan guna menciptakan keamanan bagi masyarakat di Intan Jaya,” katanya.

Masalahnya, menurut Wakil Koordinator II Kontras Rivanlee Anandar, kondisi di Intan Jaya juga karena tidakjelasnya keterlibatan militer. “Yang dilakukan militer di Intan Jaya seolah invasi atas wilayah tersebut, yang mungkin kaya sumber daya alam melimpah,” katanya kepada reporter Tirto.

Bernard, sumber warga sipil yang mengetahui penembakan terhadap seorang pendeta bernama Yeremia, mengatakan tentara Indonesia menyebut masyarakat lokal sebagai 'domba' yang melindungi OPM. Sementara OPM tak jarang menyebut orang lokal biasa sebagai mata-mata aparat.

Atas dasar itu menurut Rivanlee yang perlu dilakukan pemerintah adalah menarik militer dan berupaya menyelesaikan konflik dengan pendekatan lain.

Baca juga artikel terkait KONFLIK PAPUA atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino