tirto.id - Dalam beberapa tahun terakhir, rasisme yang dialami warga Papua membuat banyak orang prihatin. Salah satu yang paling mengundang perhatian publik adalah rasisme aparat keamanan Indonesia terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada Agustus 2019.
Keluarga besar mendiang Kiai Haji Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengecam perilaku rasisme terhadap orang Papua itu. Presiden RI ke-4 ini memang memiliki sejarah manis dengan masyarakat Papua.
“Insiden Papua terasa dalam batin kami, saya bisa merasakan apa yang dirasakan warga Papua, menyesalkan tindakan yang melecehkan warga Papua," sesal Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, pada 23 Agustus 2019. “Warga Papua [bagian dari] bangsa Indonesia dan harus setara dengan bangsa lainnya. Tidak ada sedikit pun untuk membedakannya. Kami menyayangi Papua dan akan terus menyayangi Papua. Papua hanya dipandang kekayaannya, tapi manusianya malah diperlakukan seperti itu.
Dua hari sebelum Sinta Nuriyah berkata seperti demikian, sedikitnya 14 orang mahasiswa asal Papua berziarah ke makam Gus Dur di Jombang, Jawa Timur. Mewakili keluarga besar Gus Dur, Yenny Wahid turut dalam acara yang diawali dengan menyanyikan lagu "Indonesia Raya" bersama-sama ini.
“Kita sesama warga Indonesia, dari berbagai latar suku dan agama yang berbeda datang untuk ziarah ke Gus Dur. Kita ingin mengirim pesan kepada semuanya, terkhusus kepada saudara di tanah Papua, bahwa di Pulau Jawa ada tokoh yang begitu dekat dengan Papua yaitu Gus Dur," kata Yenny.
“Tentu kita masih ingat bagaimana Gus Dur berusaha keras mengembalikan harkat dan martabat warga Papua. Dari semula yang merasa jadi anak tiri bangsa Indonesia menjadi setara,” imbuh putri Gus Dur ini.
“Ada kedekatan emosional yang sudah kita bangun selama puluhan tahun dan harus kita jaga. Itu tujuan kunjungan ke makam Gus Dur bahwa ikatan kekeluargaan itu tetap ada. Papua adalah kita,” tambahnya.
Melalui artikel bertajuk “Memandang Papua dengan Cinta” dalam Gusdurian.net (25 Agustus 2019), putri Gus Dur lainnya, Alissa Wahid, juga mengungkapkan ketidakadilan yang kerap dialami masyarakat Papua.
“NKRI menuntut Papua untuk memberi dan tunduk pada keutuhan NKRI. Tapi NKRI belum kelar menunaikan kewajiban memberi dan tunduk pada kemaslahatan warga Papua,” tulis Alissa.
Bintang Kejora Boleh Berkibar
Pada 31 Desember 1999, tepat hari ini 21 tahun lalu, Gus Dur berkunjung ke Papua atau yang saat itu masih bernama Irian Jaya. Selain untuk melewatkan pergantian tahun, Gus Dur juga ingin berdialog dengan segenap elemen masyarakat di bumi cendrawasih. Ia pun menggelar forum di Jayapura. Selain perwakilan elemen masyarakat yang memang diundang, banyak sekali warga yang berdatangan.
Semua pertanyaan didengarkan oleh Gus Dur, dari yang memuji pemerintah RI bahkan hingga yang menuntut kemerdekaan. Dari semua jawaban Gus Dur, ada satu pernyataan yang menarik. Gus Dur menyatakan akan mengembalikan nama Irian menjadi Papua.
Dulu selama rezim Orde Baru, adalah tabu jika orang Papua menyebut diri mereka sebagai orang Papua. Pemerintahan Soeharto secara politis mengidentikkan Papua dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka. Namun, Gus Dur meruntuhkan tembok-tembok ketakutan itu.
“Karena Gus Dur, kami tidak takut-takut lagi menyebut diri kami orang Papua, dan kami bangga dengan itu,” kata seorang pemuda Papua bernama Yehezkiel Belaw, tulis B. Josie Susilo Hardianto dalam Gus Dur: Santri Par Excellence Teladan Sang Guru Bangsa (2010) suntingan Irwan Suhanda.
Setelah pertemuan di Jayapura itu, Presiden Gus Dur terus memberikan dukungannya untuk masyarakat Papua. Ia juga mengizinkan digelarnya Kongres Rakyat Papua II yang dihadiri oleh tidak kurang dari 5.000 orang peserta pada akhir Mei 2000.
Bahkan, tulis Tri Agung Kristanto yang terangkum dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010), kiai besar Nahdlatul Ulama (NU) ini memberikan bantuan dana sebesar Rp1 miliar untuk penyelenggaraan Kongres Papua II tersebut.
Kongres ini membicarakan tentang segala hal tentang masa lalu dan masa depan Papua, termasuk pentingnya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM, serta pengabaian hak-hak dasar terutama dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya rakyat Papua.
Dinukil dari tulisan Aisah Putri Budiatri dalam Menimbang Demokrasi Dua Dekade Reformasi (2019) yang disusun Syamsuddin Haris, Gus Dur bahkan memperbolehkan berkibarnya bendera Bintang Kejora di tanah Papua.
Bendera Bintang Kejora selama ini dianggap sebagai lambang separatis. Namun oleh Gus Dur bendera ini dinilai sebagai lambang kultural sehingga diperbolehkan untuk berkibar dengan syarat dikibarkan di bawah bendera Merah-Putih. Makna sejati dari Bintang Kejora sebenarnya adalah “kuasa Tuhan”.
Juru Damai Papua
Bagi orang Papua, Gus Dur adalah satu-satunya presiden Indonesia yang secara terbuka mengakui kembali masyarakat Papua sebagai bangsa. Demikian dikatakan oleh Ketua Umum Dewan Adat Papua kala itu, Forkorus Yaboisembut.
“Ia [Gus Dur] tidak hanya membuka dan membangun ruang-ruang demokrasi, menghadirkan rasa aman dan nyaman, tetapi juga mengakui harkat dan martabat kami rakyat Papua,” ucap Forkorus, dikutip dari buku suntingan Irwan Suhanda.
Pengakuan atas ekspresi kultural, kebebasan berpendapat, dan identitas politik, termasuk dengan mengizinkan dikibarkannya bendera Bintang Kejora, lanjut Forkorus, tidak hanya penting bagi masyarakat Papua, tetapi juga menegaskan keberadaan orang Papua yang harus diperlakukan setara.
Meskipun masa pemerintahannya sebagai Presiden RI sangat singkat, Gus Dur yang juga pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini telah mengilhami masyarakat Papua untuk berjuang demi perdamaian.
“Dengan keberanian iman dan intelektualitasnya, Gus Dur membebaskan masyarakat Papua dari kekangan masa Orde Baru yang otoriter-militeristik,” tandas Forkorus.
Neles Tebay, tokoh masyarakat Papua yang juga koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), lembaga untuk menjembatani dialog antara Jakarta-Papua, menyebut Gus Dur sebagai man of peace alias sang juru damai.
Maka, ketika terdengar kabar wafatnya Gus Dur pada 30 Desember 2009, segenap orang Papua amat berduka. Masyarakat Papua sebenarnya sudah menyiapkan acara untuk Gus Dur pada malam Tahun Baru sebelum sang juru damai meninggal dunia.
“Saya ingin ke Papua untuk melihat matahari terbit dari timur [pada awal pergantian tahun],” ucap Gus Dur suatu kali—kata-kata ulama besar yang tidak akan pernah dilupakan orang Papua.
==========
Versi awal artikel ini ditayangkan di kanal Current Issue pada 26 Agustus 2019. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Abdul Aziz