tirto.id - Manokwari bergolak. Sudah sedari lama, masalah Papua Barat kerap menjadi hal sensitif dalam riwayat sejarah Indonesia. Bermula sejak keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 24 Desember 1949 hingga kemudian Papua Barat meraih kemerdekaan dari Belanda dan bergabung dengan NKRI.
Senin (19/8/2019) pagi, massa gabungan warga dan mahasiswa memblokir sejumlah ruas jalan di Manokwari. Massa mulai bergerak sekira pukul 08.00 WIT. Aksi pembakaran dan pemblokiran membuat akses lalu lintas jalan utama ibu kota Provinsi Papua Barat ini lumpuh.
Selain aksi unjuk rasa dan pemblokiran jalan, massa juga membakar Gedung DPRD Provinsi Papua Barat. “Benar, Gedung DPRD dibakar,” kata seorang demonstran dan aktivis mahasiswa, Mikael Kudiai, saat dihubungi Tirto.id.
Aksi pembakaran Gedung DPRD ini, oleh Mikael Kudiai, disebut sebagai “bentuk kekecewaan, penyesalan, dan lain-lain terhadap negara.”
Kejadian di Manokwari dipicu dari aksi pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada Jumat (16/8/2019) lalu. Seperti yang dilaporkan Antara, pengepungan itu terjadi karena ada tuduhan penghuninya telah merusak bendera Merah Putih yang dipasang di depan asrama, kendati bukti-buktinya belum jelas.
Dalam pengepungan itu, aparat keamanan melontarkan gas air mata dan menyebabkan 4 orang mahasiswa terluka. Aparat kepolisian dari Mapolresta Surabaya juga menangkap 42 penghuni asrama meskipun tidak ada satu pun mahasiswa yang ditetapkan sebagai tersangka.
Bom Waktu KMB
Sejak lama, masalah Papua menjadi isu sensitif bagi Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.
Namun, KMB juga menyisakan masalah belum tuntas, yakni mengenai status Papua atau Irian Barat. Persoalan ini seolah menjadi bom waktu bagi Indonesia -juga rakyat Papua sendiri- di kemudian hari.
Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak atas tanah Papua Barat. Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia.
Salah satu alasan Belanda adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Indonesia tidak sepakat dan menghendaki agar seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda diserahkan. Lantaran tidak dicapai titik temu, sebut Amarula Octavian dalam Militer dan Globlalisasi (2012), maka masalah Papua Barat akan diselesaikan dalam waktu satu tahun ke depan.
Perundingan lanjutan memang sempat digelar beberapa kali, namun hasilnya selalu menemui kebuntuan. Gara-gara ini, sejak Agustus 1954, Uni Indonesia-Belanda yang diamanatkan dalam KMB bubar.
“Indonesia gagal dalam usahanya supaya suatu mosi yang lunak mengenai Papua diterima oleh PBB pada bulan yang sama,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2008).
Dikutip dari Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (2008) karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Indonesia telah mengusahakan penyelesaian masalah Irian Barat selama 11 tahun. Namun, karena tak Belanda tidak mengindahkan, persoalan ini dibawa ke forum PBB pada 1954, 1955, 1957, dan 1960.
Dalam Sidang Umum PBB pada September 1961, Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Marie Antoine Hubert Luns mengajukan usulan yang intinya agar Papua Barat berada di bawah perwalian PBB sebelum diadakan referendum. Namun, Majelis Umum PBB menolak usulan ini.
Papua Gabung NKRI
Nugroho Notosusanto dalam Sedjarah Operasi-operasi Pembebasan Irian Barat (1971) menyebutkan bahwa pada 2 Januari 1962, melalui Keputusan Presiden Nomor 1/1962, Presiden Sukarno membentuk Komando Mandala untuk merebut Papua. Mayor Jenderal Soeharto ditunjuk jadi komandan operasi militer ini.
Situasi ini membuat Belanda tertekan dan terpaksa bersedia berunding lagi dengan Indonesia. Hasilnya, pada 15 Agustus 1962, disepakati Perjanjian New York yang menyatakan bahwa Belanda akan menyerahkan kekuasaannya atas Papua kepada United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA).
Perjanjian New York mensyaratkan Indonesia melaksanakan suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Rakyat Papua bagian barat akan memutuskan sendiri apakah bersedia menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Batas waktu pelaksanaan Pepera ditetapkan sampai akhir 1969 dengan PBB sebagai pengawasnya.
Akhirnya, pada 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan otoritas administrasi Papua kepada UNTEA. Lalu, tanggal 31 Desember 1962, bendera Belanda resmi diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih sebagai tanda dimulainya kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB.
Editor: Iswara N Raditya