tirto.id - Pemerintah negeri Paman Sam kabarnya berencana memulangkan tulang belulang ratusan tentara AS yang dikubur di Papua. Kabar tersebut disampaikan Hari Suroto, peneliti Balai Arkeologi Papua.
"Pemerintah Amerika Serikat sedang menjajaki kemungkinan merepatriasi tentaranya yang meninggal dalam perang Pasifik di Papua. Hal ini berdasarkan sumber di Biro Perencanaan dan Kerja sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengemuka dalam evaluasi di Jakarta," katanya seperti dilansir Tempo.
Para tentara itu gugur di masa Perang Dunia II ketika mereka menghadapi Jepang di front Pasifik. Pada masa itu Kepulauan Papua terlalu besar untuk diduduki Armada Selatan Kedua Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun). Di Papua, militer Jepang kerap dibuat tidak nyaman oleh banya perlawanan yang dilakukan orang-orang Papua.
Demi mengalahkan Jepang, militer Amerika menjadikan orang-orang Papua itu sebagai sekutu. Bahkan Amerika tak merasa rugi ketika harus menyerahkan ratusan pucuk senjata kepada orang-orang Papua. Sentani dijadikan tempat untuk mendaratkan senjata tersebut.
Sejak April 1944, Hollandia (kini Jayapura) sudah diduduki Sekutu. David Dexter dalam The New Guinea Offensives (1961: 804) menyebut 159 tentara Amerika terbunuh dalam perebutan kota penting di Papua bagian barat tersebut.
Restu Gunawan dkk. dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare (1997: 17 & 132) menyebut salah satu orang Papua yang ikut merebut Hollandia adalah Marthen Indey, yang sebelumnya dilatih terjun payung di Brisbane, Australia sebagai bagian dari militer Sekutu. Di pasukan Sekutu, pangkat terakhirnya adalah kopral. Belakangan Indey dan rekannya, Silas Papare, jadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Silas berasal dari Serui, suatu pulau di utara Papua. Dia adalah salah satu pemuda Papua yang mencari kontak dengan militer Amerika. Pada awal Mei 1944 dia sempat bertemu awak pesawat amfibi Sekutu yang memberi tahunya bahwa kawasan Biak akan diserang Sekutu.
Tentara Sekutu, dengan pasukan dari Divisi 41 yang kala itu dipimpin Mayor Jenderal Horace Fuller, sedang mengerahkan resimennya pada akhir bulan. Resimen Infanteri 162 Divisi ke-41 mendarat di Biak pada 27 Mei 1944 sore.
“Rencananya resimen lainnya di Divisi 41, Resimen Infanteri 162, di bawah Kolonel Harold Haney, diikuti (Resimen Infanteri) 186, mulai menyerbu lapangan terbang Mokmer,” tulis Kevin C. Holzimmer dalam General Walter Krueger: Unsung Hero of the Pacific War (2007: 157).
Mereka bisa mendarat dengan aman, tapi pertempuran sengit harus mereka hadapi ketika bergerak masuk ke dalam pulau. Francis B. Catanzamo dalam With the 41st Division in the Southwest Pacific: A Foot Soldier's Story (2002: 95) menyebut 474 tentara Amerika terbunuh, 2.443 terluka, dan 7.234 menjadi korban di luar pertempuran.
Pada bulan berikutnya pulau ini baru agak aman dari gangguan sisa militer Jepang. Butuh waktu sebulanan untuk mematahkan perlawanan tentara Jepang di sana. Pada awal Juni datanglah pesawat amfibi Amerika di Pulau Nau, tempat Silas Papare berada.
“Saya berenang ke pesawat dan diberi seragam tentara Amerika dan beberapa saat kemudian kami terbang menuju tempat yang belum saya ketahui. Setelah tiga seperempat jam di udara saya melihat barisan kapal-kapal perang di lautan dan kapal terbang di udara. Kami mendarat di lapangan udara Sentani pukul 09.30,” aku Papare dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare (hlm. 70).
Bukan hanya Silas Papare dan Marthen Indey yang ikut menggerakkan perlawanan kepada Jepang. Pemimpin lokal Papua yang melawan tentara fasis Jepang antara lain Lodewijk Mandatjan di Manokwari, Samuel Kawab di Teluk Bintuni, Raja Fatagari di Fakfak, Machmud Rumageseng, dan Raja Kokas. Di daerahnya masing-masing, semua punya banyak pengikut yang siap keluar-masuk hutan untuk melawan Jepang.
Setelah Papua diduduki, maka Sekutu pun merebut Morotai. Dari Morotai, Filipina bisa direbut. Setelah pulau-pulau itu dikuasai, armada udara Amerika dengan mudah mengirimkan bom atom ke daratan Jepang. Pemerintah Jepang kemudian menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945.
Berkat kerja sama orang-orang Papua dengan tentara Amerika, maka Papua dan sekitarnya adalah kepulauan pertama di Nusantara yang lebih dulu terbebas dari pendudukan militer Jepang yang dianggap kejam. Tentu saja berbeda jauh nasibnya dengan Jawa yang begitu menderita karena pendudukan militer Jepang.
Selama di Papua, sekitar Oktober 1944, Tentara Amerika ikut mensponsori terbentuknya Batalion Papua. Marthen Indey yang dianggap berpengalamanan di militer, menjadi salah satu pelatihnya. Setelah tentara Amerika angkat kaki dari Papua, maka Batalion Papua untuk sementara vakum. Namun belakangan, mereka dihidupkan kembali oleh militer Belanda ketika pihak Indonesia hendak melakukan konfrontasi militer di Papua yang masih dikuasai Belanda.
Meski Papua terbebas lebih dahulu dari Jepang, namun Papua tetap jadi milik Kerajaan Belanda yang belum pulih setelah diserbu tentara fasis Jerman pada 10 Mei 1940. Butuh waktu lama dan penumpahan banyak darah untuk kemudian Papua jadi milik Indonesia.
Editor: Nuran Wibisono