tirto.id - Perluasan penerapan sistem ganjil genap tambahan di 16 ruas jalan di wilayah DKI Jakarta mulai diuji coba hari ini, Senin, 12 Agustus hingga 6 September 2019. Uji coba diterapkan pada Senin-Jumat, mulai pukul 06.00-10.00 WIB dan pukul 16.00-21.00 WIB.
Kebijakan ini merupakan turunan dari Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019. Setelah diuji coba, kebijakan ini akan dipermanenkan mulai 9 September 2019.
"Sebelumnya, hanya ada sembilan ruas jalan yang diterapkan gage (ganjil genap), maka saat ini ditambah menjadi 25 ruas jalan," kata Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo di Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (7/8/2019).
Berikut 16 ruas jalan yang akan diterapkan sistem ganjil genap, yaitu:
1). Jalan Pintu Besar Selatan, 2). Jalan Gajah Mada, 3). Jalan Hayam Wuruk, 4). Jalan Majapahit, 5). Jalan Sisingamangaraja, 6). Jalan Panglima Polim, 7). Jalan RS Fatmawati (mulai simpang Jalan Ketimun 1 sampai dengan simpang Jalan TB Simatupang), 8). Jalan Suryopranoto, 9). Jalan Balikpapan, 10). Jalan Kyai Caringin, 11). Jalan Tomang Raya, 12). Jalan Pramuka, 13). Jalan Salemba Raya, 14). Jalan Kramat Raya, 15). Jalan Senen Raya, dan 16). Jalan Gunung Sahari.
Namun, kebijakan ini menuai protes dari sebagian warga ibu kota, lantaran dinilai justru merugikan. Hal ini diungkapkan Anindya Devi, salah satu pekerja swasta di Jakarta saat dihubungi reporter Tirto.
Anindya mengatakan, dirinya merasakan kesulitan untuk sekadar beraktivitas di DKI Jakarta bila kebijakan ganjil genap benar-benar diterapkan. Pasalnya, ia harus memutar otak setiap kali hendak beraktivitas di atas aspal ibu kota.
"Sekarang kalau mau janjian atau pergi di hari kerja saja mesti disesuaikan dengan tanggal, supaya enggak kena ganjil genap," kata Anindya.
Ia pun mencoba beradaptasi dengan sistem ganjil genap ini, dengan cara mencari jalan alternatif. Bahkan, kata dia, kalau sedang ada janji dan kebetulan harinya tidak sesuai dengan pelat nomor mobilnya, ia sebisa mungkin mengubah jadwal pertemuan.
"Menyiasati, sih, selain coba minta ganti hari, ya, selalu mengandalkan waze untuk cari jalan [alternatif],” kata dia menambahkan.
Hal yang sama juga dikeluhkan Regiano. Ia khawatir apabila kebijakan ganjil genap ini diterapkan dengan perluasan wilayah dan penambahan waktu. Sebab, ia belum terbiasa dengan pemberlakuan ganjil genap di Jalan Fatmawati, ruas jalan yang menjadi andalannya untuk bekerja.
"Saya kerja di sekitaran Blok M. Kalau dari rumah paling cepat, ya, lurus saja lewat Fatmawati. Tapi kayaknya besok-besok saya harus cari cara supaya enggak dibebanin gage," kata dia saat ditemui reporter Tirto, di Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (8/8/2019).
Regiano mengaku tidak mungkin mencari jalur alternatif, karena bakal memakan waktu lebih lama. Menurut dia, salah satu cara menyiasati kebijakan ganjil-genap ini yaitu menukar mobil dengan motor dan memanfaatkan transportasi umum.
"Bisa sebetulnya naik MRT, itu artinya saya harus ke [stasiun] Lebak Bulus dulu. Dari rumah naik ojol. [Keluar] Duit lagi sih,” kata dia menambahkan.
Tidak hanya warga biasa yang merasa kesulitan dengan kebijakan perluasan ganjil genap ini. Denny yang bekerja sebagai pengemudi taksi online pun mengeluh. Ia bahkan merasa dirugikan dengan penerapan kebijakan baru tersebut.
"Wilayah operasi kami menjadi berkurang. Otomatis operasi kami hanya dari jam 10 pagi dan sore saja," kata Denny saat ditemui reporter Tirto, di Panglima Polim, Jakarta Selatan.
Kebijakan ini bisa tidak memberatkan, kata Denny, bila Pemprov DKI memberikan pengecualian bagi pengemudi taksi daring.
"Harus ada tuntutan dari kami ke depannya. Agar semua pengemudi online dibebaskan dari ganjil genap," kata dia.
Hal senada diungkapkan Anton, kawan seprofesi Denny. Ia menganggap kebijakan perluasan ganjil genap yang akan diterapkan per 9 September 2019 sebagai bagian dari ujian hidupnya mengais rezeki.
"Namanya juga hidup, ada saja cobaannya. Besok-besok saya beli mobil dua deh, satu pelat ganjil, satu genap. Tapi uangnya dari mana, ya?" kata Anton sambil terkekeh.
Sejauh ini, Anton belum memikirkan cara menyiasati kebijakan perluasan ganjil genap ini. Sebab, ia baru dipusingkan skema insentif yang diberlakukan operator taksi aplikasinya.
"Belum terpikirkan, urus ini [skema insentif] dulu deh. Saya ikut saja sama anak-anak yang lain, yang penting demi penghidupan yang layak," kata dia.
Taksi Online Perlu Dikecualikan
Ketua sekaligus analis kebijakan transportasi Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan mengatakan posisi taksi online cukup dilematis. Sebab, moda transportasi model tersebut menggunakan pelat hitam, tidak seperti taksi konvensional yang menggunakan pelat kuning dan mendapat pengecualian.
Namun, kata Tigor, harus tetap ada alternatif yang bisa diupayakan bagi para pengemudi taksi berbasis aplikasi tersebut.
"Saya usulkan supaya taksi online gunakanlah stiker, yang digantungin. Supaya polisi tahu itu taksi online," kata Tigor.
"Sekarang tidak ada tanda, maka siapa yang bisa tahu mana taksi online, mana kendaraan pribadi," kata Tigor menambahkan.
Menurut Tigor, jika tanda tersebut tidak diberlakukan, maka tak ada pilihan lainnya, taksi aplikasi harus mematuhi kebijakan perluasan ganjil genap. Hal ini, kata dia, tentu membuat para pengemudi taksi online mengalami kerugian.
Hal senada diungkapkan pengamat transportasi dari Universitas Indonesia Tri Cahyono. Menurut dia, taksi berbasis aplikasi perlu diberlakukan penyesuaian dengan sistem ganjil genap yang diperluas.
"Pindah menjadi pelat kuning atau pasang stiker khusus seperti di beberapa taksi online luar negeri. Contoh juga taksi Bandara Soekarno-Hatta," kata Cahyono kepada reporter Tirto.
Selain itu, Cahyono juga menolak apabila sistem ganjil genap diterapkan untuk waktu yang lama. Sebab, kata dia, Pemprov DKI Jakarta harus memikirkan alternatif lain daripada penerapan ganjil genap ini.
"Yang lebih tepat electronic road pricing (ERP) dan uang yang ada digunakan untuk subsidi dan perbaikan angkutan umum dan fasilitas pendukungnya," kata Cahyono.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz & Mufti Sholih