Menuju konten utama

Keluarga Pengusaha Sawit dan Hobi Berburu di Balik Bukit Algoritma

Sebelum bertemu Budiman Sudjatmiko, keluarga Handoko menawarkan investasi lahan di Cikidang: beli kebun gratis rumah atau vila.

Keluarga Pengusaha Sawit dan Hobi Berburu di Balik Bukit Algoritma
Bangunan hotel tak terurus dan sepi pengunjung yang berada di lahan milik keluarga Handoko seluas 1.000 ha di Cikidang, Sukabumi. Lokasi ini disebut-sebut bakal dibangun Kawasan Ekonomi Khusus 'Bukit Algoritma', mimpinya jadi 'Silicon Valley' Indonesia. tirto.id/Adi Renaldi

tirto.id - Budiman Sudjatmiko terlihat semringah ketika berdiri di atas lahan seluas 888 hektare di Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, dalam video yang diunggah ke akun Twitter-nya pada 10 Februari lalu. Di sampingnya berdiri Dhanny Handoko, pemilik yang mengelola lahan tersebut lewat usaha keluarga PT Bintangraya Lokalestari. Di tempat itulah Budiman menyemai angan, membangun apa yang disebutnya ‘The Next Silicon Valley in Indonesia’ untuk mendorong revolusi informasi dan bioteknologi.

“Tempat kita ini memiliki keindahan, iklim, dan pemandangan yang sangat baik,” ujar Dhanny. “Kita percaya tempat ini bisa menyediakan ruang untuk tumbuh kembangnya pemikiran-pemikiran yang inovatif.”

Cikidang seperti daerah antah berantah. Kecamatan ini hanya didominasi perkebunan sawit dan beberapa hotel dan vila seperti Cikidang Hunting Resort dan Cikidang Plantation Resort.

Hampir pasti nama Cikidang Plantation Resort jarang ada dalam daftar liburan masyarakat luar Sukabumi. Namun, sejak sepekan terakhir, namanya kerap muncul di percakapan media sosial bersamaan gembar-gembor proyek yang dinamakan “Bukit Algoritma” oleh politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko, dulunya aktivis ‘98 di masa Orde Baru yang kini menjabat komisaris independen PT Perkebunan Nusantara V (Persero) di masa pemerintahan Joko Widodo.

Akses jalan menuju Cikidang Plantation Resort hanyalah jalan beton selebar dua meter yang remuk dihajar cuaca dan dilindas kendaraan. Jalan ini mengular menembus perkebunan sawit di kiri-kanan jalan. Tidak ada lampu penerangan ataupun penanda jalan.

Butuh tiga jam lebih dari Jakarta menuju tempat itu, melewati Kecamatan Cicurug yang dipenuhi pabrik dan membuat macet tiada ampun. Memasuki Cikidang, jalanan mulai berkelok menembus perbukitan yang sepi, dengan tanaman sawit menyembul di balik pembatas jalan.

“Awalnya orang pikir kami gila,” kata Dhanny, pemilik Cikidang Plantation Resort. “Diledekin karena dulu di sini enggak ada akses jalan. Enggak ada listrik. Tapi, pelan-pelan kami membangun semua.”

Berlokasi di ketinggian 700 mdpl diapit Gunung Gede, Gunung Salak, dan Gunung Halimun, berbatasan dengan lahan milik PTPN VIII, kebun sawit plus resort berburu dan agrowisata yang dibangun keluarga Handoko itu terkesan terbengkalai.

Di sekeliling kebun banyak bangunan tak terurus. Kondisi serupa saat memasuki halaman Cikidang Plantation Resort. Bangunan berlantai lima itu lebih mirip bekas peperangan dibandingkan tempat yang menawarkan pengalaman liburan. Daun-daun kering berserakan, rumput-rumput tumbuh liar. Hanya ada seorang satpam dan lima karyawan saat itu. Sudah beberapa tahun terakhir Dhanny tinggal di resort itu.

Bukit Algoritma

Vila tak terurus di lahan perkebunan dan agrowisata milik keluarga Handoko di Cikidang, Sukabumi. Lokasi ini disebut-sebut bakal dibangun 'Bukit Algoritma', mimpinya jadi 'Silicon Valley' Indonesia. tirto.id/Adi Renaldi

Tempat tetirah ini sepi sejak terjadi kecelakaan maut ketika bus pariwisata terperosok ke jurang dan menewaskan 21 penumpang pada 2018. Sejak itu bus pariwisata dilarang masuk ke jalur Cikidang oleh pemerintah setempat. Pandemi COVID-19 semakin membuat bisnis resort ini terpuruk.

“Kami sudah enggak menerima tamu secara daring,” kata Dhanny. “Enggak masuk aja hitungannya. Satu orang tamu pakai air dan listrik malah rugi, sementara tarifnya cuma Rp200-300 ribu per malam. Kalau untuk tamu rombongan masih kami layani.”

Bisnis Sawit & Agrowisata Keluarga Handoko

Dhanny, pria kelahiran November 1971, adalah anak pertama dari lima bersaudara. Dia menyebut latar belakang keluarganya sebagai wirausahawan yang merangkak dari nol. Dia adalah generasi kedelapan dari leluhurnya dari Tiongkok Daratan. Keluarganya dari Tangerang, Banten.

Bapaknya, Budi Handoko, kelahiran Oktober 1950, memulai karier bisnis sawit di Bengkulu pada 1990-an. Budi yang punya hobi berburu disebut-sebut menggagas wisata berburu di lahan seluas seribu hektare di Bengkulu bersama Menteri Transmigrasi kala itu AM Hendropriyono, eks Kepala Badan Intelijen Negara dan pensiunan jenderal yang kini jadi lingkaran dalam Jokowi.

Di bawah bendera PT Agro Bintang Dharma Nusantara, keluarga Handoko berekspansi hingga ke Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Perusahaan ini terdaftar pada 6 Agustus 2008 dan bergerak di bidang perdagangan kelapa sawit, perindustrian, dan pertanian. Budi duduk sebagai direktur, sementara Dhanny sebagai komisaris.

Pada 2012, media lokal sempat memberitakan aset pabrik pengolahan sawit milik PT Agro Bintang Dharma Nusantara di Kabupaten Paser diambil alih oleh PT Harapan Sawit Sejahtera. Alasan akuisisi ini masih belum jelas.

Pada 2002, anak perusahaan Budi, PT Bontang Transport dan PT Bintang Kaltim Transport, sempat tersandung kasus hukum dalam pengadaan transportasi kapal feri cepat di empat kabupaten di Kalimantan Timur. Budi diseret ke Pengadilan Negeri Balikpapan atas tuduhan tindak pidana merugikan negara senilai Rp3,2 miliar dari hasil patungan perusahaan daerah di Kabupaten Paser, Bontang, Balikpapan, dan Kutai Timur. PN Balikpapan memutus Budi melakukan perbuatan itu tapi tidak dipenjara sebab kasus tersebut masuk ranah perdata, sehingga bebas dari tuntutan pidana 15 tahun penjara. Putusan ini dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada 2007 yang membebaskan Budi dari semua tuntutan.

Budi lantas mengincar Jawa Barat bagian selatan untuk lokasi bisnis sawitnya pada 2009. Sebab, kata Dhanny, daerah ini berpotensi tapi tak terlalu dilirik oleh pengembang. Perusahaan milik Budi mengakuisisi lahan seluas 1.000 ha di Cikidang dari beberapa perusahaan swasta lokal seperti PT Bukit Baros Cempaka dan PT Pasir Kencana. Lahan itu semula perkebunan karet dan teh, lalu diubah oleh Budi menjadi kebun sawit.

“Karena perubahan iklim, kebun teh dan karet tak bisa bertahan,” kata Dhanny, yang sempat mengenyam pendidikan di California State University, Fresno. “Terlalu panas di sini sekarang.”

Tak cuma sawit, keluarga Handoko terobsesi dengan agrowisata. Ibaratnya, model bisnis ini bisa menangguk untung dari dua sektor: perkebunan dan pariwisata. Maka, pada 2018, Budi mendirikan PT Bintangraya Lokalestari. Latar belakang pendidikan keuangan yang dikecap Dhanny selama kuliah ingin ia terapkan di Sukabumi. Ia pun ditunjuk sebagai komisaris utama yang menangani bisnis agrowisata.

“Saya duduk di jajaran direksi tapi juga turun ke lapangan untuk perkara teknis,” kata Dhanny. “Sudah sejak kuliah saya kerja di sektor agrikultur dan peternakan.”

Lewat PT Kidang Gesit Perkasa, perusahaan pariwisata, keluarga Handoko membangun Cikidang Plantation Resort dan Cikidang Hunting Resort, yang letaknya cuma terpaut lima kilometer. Cikidang Hunting Resort, yang kini dikelola Bobby Handoko, adik Dhanny, dibikin demi memuaskan hasrat berburu Budi. Bahkan Bupati Sukabumi Marwan Hamimi pernah dijamu berburu di resort tersebut. Resort berburu yang terlihat tak terurus ini sempat menuai protes dari kalangan aktivis satwa pada 2019.

Bukit Algoritma

Lahan perkebunan sawit, berburu, agrowisata mlik keluarga Handoko, pemilik tanah 1.000 ha di Cikidang, Sukabumi. Lokasi ini disebut-sebut bakal dibangun Kawasan Ekonomi Khusus & 'Bukit Algoritma', mimpinya jadi 'Silicon Valley' Indonesia. tirto.id/Adi Renaldi

Dhanny mengklaim keluarganya kini mendapat izin mengelola lahan seluas 11.000 ha tersebar di delapan kecamatan di Sukabumi. Pada 2010, Budi sempat secara terbuka menawarkan investasi di kebun sawitnya hanya dengan modal minimal Rp275 juta. Dengan duit segitu, investor mendapatkan 5.000 meter persegi lahan sawit. Ada pula paket lahan seluas 5,5 ha yang dijual Rp1 miliar. (Dari jejak media sosial, resort dan lahan itu sempat dijual dengan harga Rp300 ribu per meter pada 2017, tapi minim peminat.)

Dhanny menampik perusahaannya disebut merugi dan tak berprospek. Menurutnya, penjualan itu semata karena perusahaannya menjalankan model bisnis kemitraan inti plasma sesuai arahan pemerintah.

“Peraturan pemerintah bilang setidaknya 20 persen lahan itu dikelola oleh mitra. Nah, kami mengejar kuota itu, kami menjual lahan dan mengajak mitra untuk bersama-sama menggarap lahan,” ujar Dhanny.

Bangunan yang mangkrak di sekeliling kebun, kata Dhanny, adalah bonus bagi para mitra yang berinvestasi. Ibaratnya, kata dia, beli kebun gratis rumah atau vila. Sayangnya, rencana ini tak selamanya mulus. Peminatnya masih segelintir, terbukti dari banyak bangunan terbengkalai. Dhanny menyalahkan akses jalan.

“Makanya saya berharap Tol Bocimi [Bogor-Ciawi-Sukabumi] segera beroperasi,” katanya. “Jika sudah beroperasi, akses makin mudah dan kami optimis peminat semakin banyak.”

Dhanny mengaku tak terlalu memusingkan profit. Ia bilang berbisnis harus melihat prospek jangka panjang. “Bisnis sawit itu paling tidak 10 tahun baru bisa optimal,” katanya.

Tahun ini, kata Dhanny, kebun sawitnya memasuki masa puncak produktif dan siap dipanen. Hasil dari kebunnya sempat dijual ke PTPN VIII sebagai mitra utama. Belakangan, karena embargo sawit di Eropa dan harga pasaran jatuh, ia harus menjual hasil kebunnya hingga ke Lampung.

Infografik HL Indepth Bukit Algoritma

Infografik HL Indepth Angan-Angan Bikin Silicon Valley Indonesia. tirto.id/Lugas

Bertemu Politikus Budiman Sudjatmiko dan Melahirkan Proyek ‘Bukit Algoritma’

Saat keluarga Handoko kesulitan mengembangkan lahan ekowisata dan berburu di Cikidang, jalan keluarnya bertemu dengan apa yang diimpikan politikus Budiman Sudjatmiko.

Budiman mendeklarasikan Inovator 4.0, sekumpulan pegiat inovasi digital dengan jargon “Kerja dan Membangun Indonesia dengan Data”, pada September 2018. Dhanny, yang hanya mendengar di media soal deklarasi tersebut, tertarik dengan konsep Inovator 4.0. Ia mengaku tak mengenal Budiman secara personal sebelumnya.

“Saya kenal dia lewat temannya temanlah,” kata Dhanny. “Karena tertarik lewat gagasan tersebut, saya minta dikenalkan. Dari obrolan itu muncul gagasan soal Bukit Algoritma.”

“Waktu itu saya cuma baca-baca di berita, Budiman mencari inovator. Maka, saya tawarkan ruang untuk tumbuh kembang. Dan tercapailah kesepakatan itu. Budiman sudah memperkenalkan investor-investor dan diaspora yang saat ini tengah belajar atau bekerja di luar negeri.”

Keduanya lantas bertemu di kantor pengacara Dhanny di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, sekira awal 2019. Budiman menyambut tawaran Dhanny.

“Di sana [Cikidang] sudah ada enam gedung, satu hotel, dan 120 rumah kebun. Jadi nanti ini kayak kampus, bukan industri,” kata Budiman kepada Tirto. “Jadi kami mengajak investasi sumberdaya manusia, tak cuma di perkotaan tapi juga ekosistem desa.”

Investor nantinya, kata Budiman, bisa membeli, menyewa, atau melakukan bagi hasil. Ia mengatakan saat ini sudah ada investor asal Kanada yang sudah menandatangani perjanjian. Ia menolak memberikan nama investor dengan alasan non-disclosure agreement.

Bukit Algoritma

Dhanny Handoko, keluarga pemilik lahan 888 ha di Cikidang, Sukabumi, lokasi yang mau dibangun 'Bukit Algoritma', impinnya jadi Kawasan Ekonomi Khusus 'Silicon Valley' Indonesia yang dipromosikan oleh politikus Budiman Sudjatmiko. Tirto.id/Adi Renaldi

Salah satu ilmuwan yang telah diajak oleh Budiman adalah Iding Achmad Haidir, ahli konservasi satwa liar dan keanekaragaman hayati yang baru saja lulus dari Universitas Oxford. Kepada Tirto, Iding menyambut baik tawaran Budiman untuk turut mengembangkan Bukit Algoritma.

“Saya waktu itu diajak teman saya yang dosen di ITB, katanya, ‘Ini ada yang mencari ilmuwan untuk membuat inovasi.’ Saya lalu ketemu Budiman dan setelah mendengarnya, saya sepakat dengan idenya,” kata Iding kepada Tirto.

Iding selama ini membandingkan, ilmuwan lulusan luar negeri yang pulang ke Indonesia hanya bekerja di sektor administratif di lembaga negara tanpa memakai ilmu yang telah dipelajari untuk berkontribusi terhadap sains. Ekosistem di ‘Bukit Algoritma’, menurutnya, bisa memberi ruang inovasi teknologi yang selama ini tidak didukung oleh industri.

“Pas saya di Oxford, saya diberi ruang sendiri untuk mengerjakan penelitian dan tidak setiap hari membuat laporan. Kalau di Indonesia, setiap hari Anda harus membuat laporan, rapat, tak ada ruang untuk berinovasi. ‘Bukit Algoritma’ ini jadi kesempatan untuk menjadi center of excellence.”

Membentuk Kerja Sama Operasional bernama PT Kiniku Bintangraya

Demi memuluskan proyek ‘Bukit Algoritma’, Budiman dan Dhanny sepakat mendirikan kerja sama operasional (KSO) antara PT Bintangraya Lokalestari dan PT Kiniku Nusa Kreasi bernama PT Kiniku Bintangraya.

PT Kiniku Nusa Kreasi mulai beroperasi pada 2018 dengan memusatkan diri pada industri elektronika, teknologi informasi, telekomunikasi dan pemasaran, termasuk akses yang baik dalam jaringan rantai pemasok komponen smartphone. Tedy Tri Tjahyono, menjabat Sekjen Inovator 4.0, duduk sebagai direktur sementara Budiman sebagai direktur utama. Selain kedua orang ini ada Dani Firmansyah dan Mariyanto selaku pemegang saham dan menjabat direktur dan komisaris.

Budiman mengatakan KSO baru dibentuk awal April tahun ini dan sudah didaftarkan di notaris. “Cuma belum didaftarkan ke Ditjen AHU saja,” jawabnya. “KSO ini nantinya yang akan jadi pengelola. Kiniku Nusa Kreasi yang akan mengelola dana investasi, sementara Bintangraya selaku pengelola lahan.” Saat ini hanya Budiman, Tedy, dan Dhanny yang mengisi jabatan direksi.

KSO ini telah menggandeng perusahaan konstruksi pelat merah PT Amarta Karya (AMKA). Keduanya telah menandatangani nota kesepahaman pada 7 April. Budiman mengaku telah menghubungi setiap BUMN yang bergerak di bidang konstruksi, tapi hanya Amarta Karya yang merespons dan tertarik dengan proyek tersebut.

Kendati menjadi salah satu BUMN tertua yang didirikan pada 1962, hasil nasionalisasi NV Constructie Werk Plaatsen De Vri'es Robbe Lindeteves, nama AMKA relatif tidak terlalu terdengar dalam kancah industri infrastruktur Indonesia.

Nikolas Agung, Direktur Utama PT Amarta Karya, kepada Tirto mengatakan perusahaan memang tengah “tidur dan mencoba bangkit.” Nikolas baru menjabat sebagai direktur selama enam bulan setelah sebelumnya di PT Wijaya Karya (WIKA). Ia mengaku baru bertemu Budiman lewat seorang kawan beberapa saat sebelum penandatanganan kontrak.

“[Kita] memang harus mulai memikirkan proyek teknologi tinggi. Proyek prestisius, proyek yang monumental. Ada kecocokan kami di situ. Saya berterima kasih sekali sama Budiman karena mempercayakan Amarta Karya untuk menjadi mitra utama dalam pembangunan Bukit Algoritma,” kata Nikolas.

Nikolas mengatakan dua hari setelah penandatanganan kontrak, tim Amarta Geospasial Solution telah melakukan pemetaan. “Kami sudah capture data, koordinat yang sesuai feasibility study awal. Dari situ kami sudah mulai mapping, jalannya, volume, jalan tol ke kawasan, termasuk kavling siap bangun, termasuk gedung-gedung. Kami sudah dapat koordinatnya,” jelas Nikolas.

AMKA nantinya, jelas Nikolas, bertugas membangun infrastruktur terkait dengan akses jalan dalam kawasan, pematangan lahan, penyiapan pembangkit listrik, jaringan listrik di lokasi proyek, air bersih, air kotor, manajemen sampah, dan beberapa gedung penunjang. Tahap pertama ini, klaimnya, bisa beres tiga tahun.

Saat ditanya kekhawatiran soal proyek bisa saja mangkrak, Nikolas mengaku optimis sebab KSO sudah memiliki lahan yang aman untuk pembangunan.

“Tinggal dijalankan saja,” katanya. “Kenapa saya berani bilang jalan? Karena perusahaan KSO Budiman sudah ada lahan clean and clear. Investasi ada, lahan clear, proyek maju terus.”

Bukit Algoritma

Vila tak terurus di lahan perkebunan dan agrowisata milik keluarga Handoko di Cikidang, Sukabumi. Lokasi ini disebut-sebut bakal dibangun 'Bukit Algoritma', mimpinya jadi 'Silicon Valley' Indonesia. tirto.id/Adi Renaldi

Budiman mengklaim dalam tiga tahun dana sebesar Rp18 triliun bisa masuk tanpa sepeserpun membebani APBN.

“Investor sudah kami carikan,” katanya. “Amerika, Eropa, Asia, Timur Tengah… itu banyak yang tertarik.”

“Sebentar lagi groundbreaking,” tambah Budiman. “Kemungkinan Mei 2021. Habis itu sudah ada startup yang akan masuk, mungkin setelah Lebaran.”

Adapun Dhanny Handoko juga sudah membuat angan-angan: “Nanti 60 persen untuk Bukit Algoritma, 40 persen untuk ruang terbuka hijau seperti perkebunan dan tanah pekarangan.”

=====

Reja Hidayat mengerjakan visualisasi jejaring orang-orang di balik proyek 'Bukit Algoritma'.

Baca juga artikel terkait BUKIT ALGORITMA atau tulisan lainnya dari Adi Renaldi

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Renaldi & Reja Hidayat
Penulis: Adi Renaldi
Editor: Fahri Salam