tirto.id - Sehari usai jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta menuju Pangkal Pinang di Perairan Tanjung Karawang, Pendiri dan CEO Lion Air Group Rusdi Kirana menjanjikan memberi biaya hidup selama di Jakarta dan dana penguburan jenazah kepada keluarga korban.
"Kami berusaha mulai besok memberikan uang Rp5 juta untuk biaya hidup mereka di sini. Kalau ada jenazah yang ketemu, kami akan kasih uang Rp25 juta untuk penguburan. Ini semua di luar klaim asuransi, di luar klaim Jasa Raharja, di luar klaim asuransi kami," kata Rusdi kepada reporter Tirto di Hotel Ibis Cawang, Jakarta Timur, Selasa (30/10/2018) kemarin.
Duta Besar RI untuk Malaysia itu mengaku, pemberian dana itu sebagai usaha terbaik yang bisa ia lakukan, meski belum tentu cukup untuk meringankan keluarga korban.
Namun hingga kini, Lion Air belum menghitung biaya ganti rugi untuk korban. Direktur Umum Lion Air Edward Sirait menegaskan saat ini pihaknya masih fokus pada pencarian korban dan bangkai pesawat.
"Ya kami bicara itu [proses pencarian] dulu. Sekarang ini enggak kepikir apa-apa, kepikir nyari pesawatnya," kata Edward saat dihubungi reporter Tirto.
Terkait kompensasi, Edward hanya bisa mengatakan, Lion Air akan mengacu ke Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub). Sedangkan dalam Pasal 3 huruf a Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 (PDF), diatur mengenai ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal akibat kecelakaan ialah sebesar, Rp1.250.000.000 per penumpang.
Selain kompensasi dari pihak maskapai, Pelaksana Administrasi Jasa Raharja Ajie Syarif mengaku, pihaknya siap memberikan santunan sebesar Rp50 juta kepada keluarga korban yang berhak menerima santunan. Santunan itu akan diserahkan jika telah dipastikan penumpang Lion Air JT-610 tersebut meninggal dunia.
"Buat santunan. Satu orang Rp50 juta. Seluruhnya dapat," kata Ajie.
Hingga kemarin siang, Ajie memperkirakan sudah 110 keluarga korban yang menyerahkan data diri. Jumlah tersebut diperkirakan bertambah karena belum semua keluarga korban terdata.
Nantinya, PT Jasa Raharja memberikan santunan melalui RS Polri, sebagai pihak yang memastikan korban telah meninggal dunia.
Namun apakah rentetan uang pengganti nyawa yang hilang itu bisa menggantikan keberadaan korban yang meninggal? Bagaimana jika berkaca pada korban kecelakaan pesawat yang terjadi sebelumnya?
Kerugian Permanen Keluarga Korban
28 Desember 2014 menjadi hari yang mencemaskan bagi Adityas Warih. Pada hari itu, pesawat yang ditumpangi suaminya, Christophorus Nanang Priyo Widodo jatuh di perairan Selat Karimata.
Pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501, rute Surabaya menuju Singapura, dinyatakan hilang kontak sekitar pukul 06.17 WIB. Dalam perjalanan tersebut, kapal terbang itu mengangkut 155 penumpang dan 7 kru pesawat.
Kakak Widodo, Lukas J. Pramudiono menceritakan kepada saya, hingga saat ini keluarganya masih menuntut Air Asia memberikan kompensasi. Sebenarnya Air Asia telah menawarkan kompensasi sesuai Permenhub 77/2011, tapi Lukas dan puluhan keluarga korban lainnya tak setuju dengan besaran tersebut, apalagi penyebab kecelakaan itu murni kesalahan dari maskapai.
"Bukan kami enggak mau menghormati ketentuan yang sudah ditentukan pemerintah, tapi yang jadi masalah, alasan dari Air Asia itu maintenance yang dulu statusnya jelas-jelas adalah rudder-nya [bagian pesawat] itu ada bermasalah," ujar Lukas saat dihubungi reporter Tirto.
Lukas menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan tim KNKT, telah terjadi kerusakan yang berulang pada bagian rudder sejak November 2014. Seharusnya, maskapai mempertimbangkan untuk meng-grounded pesawat (tak bisa diberangkatkan) karena harus diperbaiki dahulu.
"Sekarang kan pihak keluarga seperti sudah hancur terus kemudian [maskapai] hanya [seperti] nyawa itu enggak ada harganya. Di situ kami tuntut apa perubahan yang harus dilakukan, kalau kayak gini terus, nah ini terbukti, sekarang Lion Air juga kayak gitu,” jelasnya.
Hingga saat ini, Lukas menyesalkan buruknya sistem manajemen transportasi komersial yang ada di Indonesia. Maskapai seolah ragu memberikan garansi bahwa pesawat tak akan jatuh saat terbang. Hal itu, kata Lukas, terbukti dari kacaunya perawatan dan kontrol yang dilakukan pemerintah dan maskapai.
Tak hanya itu saja, Lukas pun meminta pemerintah Indonesia dan maskapai untuk berpikir tentang masa depan dari keluarga korban. Terlebih jika diantara korban ada yang menjadi tulang punggung keluarga, seperti Widodo.
"Orang-orang yang ditinggal seperti adik ipar saya yang ditinggal suaminya, sementara dia harus membesarkan anaknya, sementara dia juga sekarang lagi sakit kanker," keluhnya.
"Dengan kompensasi yang ditentukan pemerintah Rp1,250 miliar, apa yang bisa kami lakukan dengan itu?" imbuhnya.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Dieqy Hasbi Widhana