tirto.id - Enam bulan setelah kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 terjadi, sejumlah keluarga korban masih belum menerima ganti rugi.
Salah satu penyebabnya, setiap ahli waris korban yang mau mencairkan ganti rugi diharuskan untuk meneken perjanjian release and discharge (R&D). Perjanjian itu membuat keluarga melepaskan hak menuntut kepada pihak-pihak yang dianggap bertanggung jawab di kecelakaan Lion Air JT-610.
Sejumlah keluarga korban pun menilai Lion Air sengaja mengulur-ulur waktu pencairan ganti rugi senilai Rp1,25 miliar yang seharusnya dapat berlangsung singkat.
"Kami sudah jadi korban mendadak, tapi tanggung jawab maskapai itu hampir tidak ada. Semua diulur-ulur prosesnya sangat lama. Alasan terakhir dihadapkan dengan R&D untuk pencairan ganti rugi,“ kata Merdian Agustin, keluarga dari korban bernama Eka Suganda dalam konferensi pers di Penang Bistro Kuningan, Jakarta pada Senin (8/4/2019).
Merdian mengaku mewakili para keluarga korban yang kini menggugat Boeing di pengadilan Amerika Serikat. Dia menegaskan bersama sejumlah kekuarga korban lainnya memutuskan menolak untuk meneken perjanjian R&D yang diajukan Lion Air.
“Dokumen ini [R&D] menyamakan suami saya dan korban lainnya seperti bagasi. Kami sangat marah. Kami sudah kehilangan dan masih dipersulit,” ucap dia.
Pengacara kantor advokat Kailimang & Ponto, Harry Ponto mengatakan Lion Air tak memiliki dasar untuk membuat maskapai itu lepas dari tuntutan hukum.
Menurut Harry, Pasal 23 Permenhub Nomor 77 tahun 2011 dan Pasal 141 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2009 sudah cukup sebagai dasar hukum yang mewajibkan Lion Air memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti rugi kepada para keluarga korban.
“Undang-undang kita sangat jelas bahwa mereka wajib memberi ganti rugi dan tidak menghilangkan hak kalau ahli waris mau mengajukan tuntutan hukum,” ucap Harry.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom