tirto.id - “It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it. If you think about that, you'll do things differently.”
Kutipan dari Warren Buffet—investor terkemuka asal Amerika Serikat—di atas barangkali sedikit bisa menggambarkan kondisi yang sedang terjadi di Lion Air. Reputasi maskapai penerbangan yang berdiri sejak 20 tahun ini berada di ujung tanduk.
Maskapai milik keluarga Kirana ini memang tengah menghadapi masalah berat. Pada 29 Oktober 2018, pesawat Boeing 737 Max 8 milik Lion Air dengan nomor penerbangan JT610 jatuh di perairan dekat Tanjung Karawang, jatuh korban jiwa sebanyak 189 orang.
Pasca-kecelakaan tersebut, berbagai tindakan terus dilakukan Lion Air. Mulai dari memberikan informasi secara berkala, menghentikan pengoperasian pesawat B373 Max 8, memberikan kompensasi dan lainnya.
Selain sebagai wujud tanggung jawab, upaya Lion Air itu juga untuk mengembalikan reputasi Lion Air di mata pelanggan—meskipun tidak mudah mengingat citra maskapai sebelumnya juga tidak begitu bagus, yakni dicap sebagai maskapai yang gemar delay.
Upaya Lion Air mengembalikan reputasi terus berlanjut. Kali ini via pasar modal. Lion Air, dikabarkan akan mencatatkan saham perdana (initial public offering/IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun ini.
Menurut laporan Bloomberg, Lion Air atau PT Lion Mentari Airlines sedang bersiap untuk IPO di dalam negeri, sekaligus menjadikan rencana IPO tersebut sebagai upaya "membuka lembaran baru" usai krisis yang menimpa maskapai Oktober tahun lalu. Belum ada penyampaian resmi Lion Air kepada BEI soal rencana IPO. Corporate Communications Strategic Lion Air Group, Danang Mandala Prihartono belum menjawab konfirmasi dari Tirto. Namun, Lion Air sudah pernah ikut kelas persiapan menjadi emiten di BEI.
Laporan itu menyebutkan apabila tidak ada aral melintang, Lion Air mengincar target pendanaan sebesar US$1 miliar, dan menjadi nilai pendanaan terbesar ke-3 sepanjang sejarah di Indonesia, menurut data yang dikompilasi Bloomberg.
IPO Kurang Tepat
Setelah insiden kecelakaan, situasi Lion Air memang tidak bagus. Tidak sedikit penumpang yang tidak percaya lagi dengan keselamatan penerbangan Lion Air. Imbasnya, jumlah penumpang Lion Air turun 3-5 persen dari kondisi normal, sebulan setelah kejadian kecelakaan Boeing 737 Max 8 penerbangan JT610.
“Tapi apakah murni karena akibat dari kejadian itu atau tidak, kami masih cermati. Bisa saja karena pasarnya sedang turun,” kata Direktur Utama Lion Air Edward Sirait kepada Tirto pada 27 November 2018 silam.
Tekanan terhadap Lion Air sedikit mereda setelah pesawat Ethiopian Airlines jatuh pada 10 Maret 2019. Kebetulan, pesawat Ethiopian Airlines yang jatuh sama jenisnya dengan pesawat Lion Air yang jatuh pada Oktober 2018, yakni B737 Max 8.
Jatuhnya dua pesawat B737 Max 8 hanya berselang lima bulan, membuat tekanan bergeser ke pihak Boeing, selaku produsen Boeing 737 Max 8. Kondisi ini tampaknya menjadi momentum bagi Lion Air untuk melantai di bursa saham.
“Saya melihat IPO ini cuma sekadar manuver dari Lion Air, bukan strategi bisnis mengingat citra maskapai akhir-akhir ini kurang bagus,” tutur Direktur Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati kepada Tirto.
Pertanyaannya, apakah reputasi Lion Air akan membaik bisa benar-benar melakukan IPO?
Persepsi konsumen terhadap perusahaan terbuka biasanya lebih baik ketimbang perusahaan tertutup. Pasalnya, perusahaan terbuka wajib memenuhi standar yang berlaku, mulai dari tata kelola perusahaan, transparansi keuangan dan lain sebagainya.
Selain itu, standar perusahaan terbuka yang wajib dipenuhi itu juga diawasi secara ketat oleh berbagai otoritas secara berkala, mulai dari manajemen internal, perbankan, otoritas bursa, broker hingga para investor.
“Menjadi perusahaan terbuka tentu bisa membuat reputasi perusahaan lebih baik karena tata kelola perusahaan nantinya dijalankan dengan standar yang baik,” tutur Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia Suria Dharma kepada Tirto.
Namun, tidak menutup kemungkinan reputasi yang dibangun bila realisasi IPO terjadi, malah akan berakhir memburuk jika kinerja bisnis malah babak belur. Artinya, membangun reputasi tidak cukup hanya mengandalkan IPO.
Menyoal target pendanaan, Suria pesimistis target US$1 miliar bisa dikejar. Apalagi, bisnis angkutan udara saat ini belum bagus. Kinerja emiten maskapai seperti Garuda Indonesia, dan AirAsia Indonesia yang sudah melantai di bursa saja masih negatif.
Pada kuartal III-2018, PT Garuda Indonesia Tbk. membukukan rugi bersih sebesar US$110 juta, meski penjualan perseroan kala itu tercatat naik 4 persen dari US$3,11 miliar menjadi US$3,22 miliar.
Kondisi yang sama juga terjadi di PT AirAsia Indonesia Tbk. Maskapai dengan slogan ‘Now Everyone Can Fly’ membukukan rugi usaha sebesar Rp998 miliar sepanjang 2018, meski penjualan kala itu tercatat Rp4,2 triliun, naik 11 persen dari 2017.
Informasi yang diterima pasar mengenai Lion Air juga masih belum jelas, khususnya terkait dengan pesanan B737 Max 8 dari Lion Air. Pelaku pasar tidak tahu apakah pesanan pesawat itu berpotensi mengganggu keuangan Lion Air atau tidak.
Lion Air melakukan pemesanan pesawat B737 Max 8 sebanyak 217 unit dengan nilai pesanan sebesar US$22 miliar. Rencananya, pesawat tersebut akan dikirimkan mulai dari 2019 hingga 2035.
Sebanyak 10 pesawat B737 Max 8 sudah dioperasikan Lion Air--kini sementara waktu dikandangkan pasca-kecelakaan Ethiopian Airlines. Pemesanan pesawat buatan AS sisanya itu terpaksa ditunda, menyusul dua insiden Boeing 737 Max 8 dalam waktu berdekatan.
“Yang belum clear itu di antaranya apakah Lion Air sudah membayar uang muka atau belum untuk pesanan B737 Max 8 ? Kalau misalnya sudah, bisa berpotensi ganggu keuangan. Saya lihat berat kejar target US$1 miliar itu,” ujar Suria.
Editor: Suhendra