tirto.id - Sejumlah ahli waris korban Lion Air JT610 tak kunjung mendapat kepastian pembayaran ganti rugi senilai Rp1,25 miliar dari maskapai dan asuransi penerbangan. Lima bulan usai kecelakaan, mereka justru terus didorong untuk menandatangani Release and Discharge (RnD) sebagai syarat pencairan ganti rugi.
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) sebagai regulator yang mengatur maskapai penerbangan Indonesia pun tidak bisa berbuat banyak, padahal Keberatan keluarga korban atas RnD itu sudah disampaikan jauh-jauh hari kepada Kemenhub.
Dalam pertemuan antara keluarga korban, Lion Air, dan pihak asuransi yang digelar pada Kamis, 21 Maret 2019, di kantor Kemenhub, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi hanya mendengarkan pendapat masing-masing perwakilan yang hadir.
Sontak, pertemuan tersebut jadi ajang tarik urat syaraf keluarga korban. Bukannya membela korban dalam audiensi itu, Kemenhub justru terkesan memberi ruang kepada maskapai milik Rusdi Kirana dan asuransi.
Anton Suhadi, salah satu keluarga korban yang mengikuti pertemuan itu menuturkan, kementerian ingin melihat terlebih dahulu apakah perjanjian tersebut sesuai dalam koridor Undang-undang asuransi dan peraturan otoritas jasa keuangan.
“Sehingga dalam pekan ini, kami [keluarga korban] masih diagendakan untuk ketemu dengan Menhub [Budi Karya],” kata Anton saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (26/3/2019).
Saat ini, sudah ada 68 ahli waris korban yang menandatangani RnD yang diajukan Lion Air.
Jumlahnya diperkirakan bertambah mengingat terdapat 27 ahli waris yang menyatakan siap dan setuju meneken RnD, serta 26 ahli waris lain yang tengah melengkapi berkas pendukung penandatanganan perjanjian tersebut.
Sementara keluarga korban yang menggugat ke pengadilan terkait belum terbayarnya ganti rugi tersebut mencapai 71 ahli waris. Selain itu, 3 dari 68 keluarga korban yang telah menandatangani RnD juga mengajukan gugatan dengan nama lain.
Menurut Anton, penandatanganan RnD bukan jalan keluar yang adil bagi keluarga korban. Sebab, setelah kesepakatan itu diteken, ahli waris tak boleh mengajukan tuntutan hukum apa pun kepada Lion Air maupun pihak asuransi.
Dalam Pasal 13 RnD tersebut, bahkan terdapat klausul yang mewajibkan ahli waris yang terikat RnD untuk membela maskapai dan asuransi apabila ada sengketa di pengadilan.
“Padahal dalam Permenhub No. 77 Tahun 2011, tidak ada klausul yang mewajibkan adanya perjanjian apa pun sebagai prasyarat cairnya ganti rugi atau kompensasi,” kata Anton menjelaskan.
Artinya, tanggung jawab Lion Air sebagai maskapai dalam hal ini bersifat mutlak dan tercantum dalam Permenhub Nomor 77/2011 yang mengatur soal tanggung jawab pengangkut angkutan udara (PDF).
Selain ganti rugi, Permenhub 77/2011 juga memastikan bahwa ahli waris juga dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi yang lebih besar dan jumlahnya tidak dibatasi.
Hal ini diperkuat dalam Pasal 23 beleid yang sama serta Pasal 180 UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Selain itu, Boeing sebagai produsen pesawat Lion Air JT610 juga tak bisa lepas tangan. Sebab, hukum aviasi Amerika Serikat menganut konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dan tidak membatasi besaran ganti rugi.
Pada praktiknya, besaran ganti rugi atau kompensasi yang diberikan juga bisa lebih besar dari ganti rugi dan santunan.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan perjanjian RnD yang disodorkan Lion Air kepada keluarga korban bertentangan dengan Permenhub 77 tahun 2011 dan UU Perlindungan Konsumen.
Ia bahkan mengatakan, perjanjian tersebut bisa dibawa ke ranah pidana.
“Di sana ada bentuk klausul baku, yaitu klausul perjanjian yang merugikan salah satu pihak. Lion dengan alasan apa pun tidak bisa menjadikan itu sebagai syarat memberikan kompensasi," kata Tulus.
Tulus justru mendorong Kemenhub memberikan sanksi yang tegas pada Lion Air karena membuat klausul yang menyudutkan keluarga korban agar mau menerima penundaan pembayaran ganti rugi.
Corporate Communications Strategic Lion Air, Danang Mandala Prihantoro belum mau memberikan penjelasan. Saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa, 26 Maret 2019, ia hanya menjawab singkat "terkait hal ini saya belum bisa berkomentar karena harus mengkoordinasikan dulu".
Soal pemberian kompensasi ini sebenarnya sudah pernah diungkapkan Rusdi Kirana, pemilik maskapai Lion Air, di Hotel Ibis, Cawang, Jakarta Timur, pada 30 Oktober 2018. Saat itu, Rusdi berkata pemberian ganti rugi akan diberikan sesuai dengan Permenhub No. 77/2011.
“Karena secara aturan, kan, memang harus [memberikan kompensasi]. Pesawat ini juga diasuransikan,” kata Rusdi kala itu.
Namun, faktanya hingga saat ini kompensasi yang dijanjikan belum cair dan masih terjadi tarik ulur.
Reporter Tirto juga telah berusaha menghubungi Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub, Polana B Pramesti untuk meminta penjelasan lebih lanjut soal masalah ini. Namun, hingga laporan ini dipublikasikan, ia belum memberikan pernyataan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz