tirto.id - Keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air dengan kode registrasi PK-LQP dan nomor penerbangan JT-610 tujuan Jakarta-Pangkal mengeluhkan syarat pencairan uang santunan yang diajukan maskapai. Syarat itu adalah keluarga korban berhak mendapat uang santunan apabila mereka bersedia tidak menggugat ganti rugi kepada pihak Boeing selaku pabrik pesawat nahas tersebut.
Melalui firma hukum Wisner yang berkedudukan di Chicago, Amerika Serikat, ada tiga keluarga korban Lion Air PK-LQP yang telah mengajukan gugatan ke Boeing. Mereka menuntut ganti rugi senilai minimal USD 800 ribu per orang. Keluarga korban lainnya juga melakukan hal serupa melalui Firma Hukum Colson Hicks Eidson dan BartlettChen LLC serta Ribbeck Law Chartered.
Aturan Tak Melarang
Mengacu pada Pasal 3 ayat (2), Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011, keluarga korban Lion Air berhak atas uang santunan meninggal dunia senilai Rp1,25 miliar. Di luar santunan, Lion Air juga masih akan menambah kompensasi berupa uang bagasi dan kedukaan senilai Rp50 juta dan Rp25 juta.
Akan tetapi, pasal 23 Permenhub No. 77 Tahun 2011 itu tidak memuat sama sekali larangan mengajukan gugatan bila asuransi telah dicairkan. Bahkan, peraturan itu menyebutkan ahli waris dapat menggugat dan menuntut ganti rugi di luar angka yang telah ditetapkan.
Hal ini dibenarkan oleh Kepala Subbagian Peraturan Perundang-Undangan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Kemenhub, Fitri Indah Susilowati yang mengatakan keluarga korban yang mengajukan gugatan terhadap Boeing tetap berhak menerima pencairan asuransi.
"Di Permenhub No. 77 Tahun 2011 tidak ada aturan yang bilang kalau sudah dapat Rp1,25 miliar tidak bisa menuntut. Itu tidak ada,” ucap Fitri seperti dikutip dalam Tirto pada Kamis (20/12).
Fitri mengatakan upaya hukum merupakan hak masyarakat. Asalkan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku ia menilai simpang-siur masalah itu sudah terjawab melalui Permenhub No. 77 Tahun 2011.
Latief Nurban, salah seorang kerabat korban jatuhnya pesawat Lion air heran dengan syarat tidak boleh menggugat Boeing apabila uang asuransi ingin dicairkan. “Kenapa harus dikaitkan dengan tuntutan lain? Itu dua hal yang berbeda. Katanya kami enggak boleh menuntut ke mana-mana lagi (apabila santunan itu cair),” ucap Latief.
Latief tahu syarat itu setelah ia menerima dokumen pencairan asuransi. Di sana, kata Latief, memuat ketentuan yang melarang gugatan para ahli waris kepada Boeing.
Ketua Komisi V DPR RI yang membidangi infrastruktur dan perhubungan, Fary Djemy Francis mengatakan bahwa pencairan asuransi merupakan kewajiban maskapai sesuai UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pencairan itu kata Fary harus dilaksanakan dan tidak terkait dengan perjanjian lain.
Karena itu, Lion Air tidak dapat menerapkan perjanjian yang memuat larangan bagi keluarga korban menggungat Boeing setelah menerima asuransi. Terlebih ketika hal itu tidak disepakati oleh ahli waris korban. “Pencairan asuransi wajib dilaksanaan maskapai dan tidak terkat dengan perjanjain lain,” ucap Fary yang juga merupakan politikus Partai Gerindra ini.
Pendapat serupa juga diutarakan oleh Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David Tobing. Menurut David pemberian ganti rugi tidak menutup kesempatan ahli waris untuk menggugat ke pengadilan. Kriteria kerugian kata David baik materiil maupun immateriil, berbeda-beda bagi setiap orang. Tindak lanjutnya dapat dilakukan pada pengadilan negeri di Indonesia, penyelesaian arbitrase, dan penyelesaian sengketa lainnya.
Menurutnya, Permenhub yang mengatur besaran ganti rugi Rp1,25 miliar itu jauh lebih tinggi dibanding perjanjian yang dibuat antara Lion Air dan keluarga korban. Perjanjian yang tidak sesuai dengan peraturan di atasnya pun dinilai batal demi hukum.
“Rp1,25 miliar itu mengacu pada Permenhub No. 77 Tahun 2011 dan harus dibayar. Pasal 23-nya memperbolehkan keluarga menggugat lebih dari nilai itu. Artinya tidak boleh dibuat release and discharge. Kalau pun sudah sempet ditandatangani, gugur dengan sendirinya,” ucap David.
Melarang Berarti Melanggar
Lebih lanjutnya, David juga mengingatkan bila Lion Air berkeras menerapkan perjanjian itu, maka hal itu sudah merupakan pelanggaran. Kementerian Perhubungan kata David dapat menindak agar syarat itu ditiadakan.
“Kalau berkeras, dia (Lion Air) melanggar peraturan Menteri. Ini harus dibawa ke Menteri perhubungan dan ditindak agar tidak lagi mensyaratkan itu,” ucap David.
Corporate Communication Strategist Lion Air Danang Mandala belum mau berkomentar soal masalah di atas. Ia beralasan perlu mendiskusikan terlebih dahulu dengan divisi-divisi terkait dalam Lion Air.
“Terkait hal ini kami belum bisa memberikan keterangan dulu ya. Kami berkabar dulu dengan beberapa institusi yang ada di dalam Lion Air,” ucap Danang saat dihubungi reporter Tirto.
Danang juga menuturkan hingga Sabtu (22/12) ini, telah ada 23 ahli waris yang telah mencairkan asuransinya. Ia mengklaim mereka yang telah mencairkan asuransi sejauh ini tidak memiliki keluhan terkait proses yang harus ditempuh. Di samping itu, Danang juga menjamin bahwa Lion Air selalu siap membantu keluarga korban yang ingin mencairkan asuransi.
“Sampai saat ini enggak ada kendala ya. Kami sudah memaparkan penjelasan sesuai dengan aturan yang berlaku. Tentunya, kami akan sangat membantu sekali dalam proses pencairan ini,” ucap Danang.
Sebelumnya, pada Selasa (30/10/2018), pemilik maskapai penerbangan Lion Air, Rusdi Kirana menjamin dana kompensasi yang akan diberikan kepada keluarga korban sebagaimana tertuang dalam Permenhub No. 77 Tahun 2011. Ia juga menginginkan agar urusan pemberian dana kompensasi dapat dilakukan secepatnya.
“Karena secara aturan kan memang harus (memberikan kompensasi). Pesawat ini juga diasuransikan,” kata Rusdi seperti dikutip dalam Tirto.
Editor: Jay Akbar